Selama 5 tahun wajahnya semu. Masih sembunyi bersama kabut malam itu. Setiap sabtu malam kuterima sekotak coklat. Kadang-kadang bunga, gelang, atau selembar puisi. Tidak jarang juga daun kering, sayap burung, bahkan remahan biskuit sisa gigitannya.
"Manis. Eh bukan! Kamu belahan jiwaku. Eh salah! Kamulah calon ibu dari anak-anakku. Maaf maaf, maksudku lebih dari itu. Kamu adalah hidup dan matiku." Jelasnya melalui telepon genggamku yang jadul.
Sela...