“Mari kita menikah, Nea,” ajakku suatu hari saat kami sedang berbaring di padang rumput. Dia merebahkan kepala di atas lenganku.
“Nea tidak mau, Bang. Nea takut,” lirihnya. Aku menarik tubuh Nea semakin dalam ke dekapan. Dia menurut. Dalam jarak sedekat itu, aku bisa mencium wangi khas tubuhnya.
“Apa? Apalagi yang masih saja kau takutkan, Nea?”
Nea terdiam. Matanya terus menerawang ke atas. Langit bertabur bulan bintang, tetapi bagik...