“Kamu benar.” Aku menoleh ke kanan. “Seandainya ayahku mampu dan mewujudkan impianku sekolah di tempat elit itu, mungkin aku enggak akan bertemu denganmu.”
Lelaki tujuh belas tahun yang duduk setengah meter dariku tertawa renyah. “Apa bagusnya bertemu denganku? Sudah miskin, tukang telat, mata duitan pula,” katanya. Semakin tergelak setelah menyelesaikan ucapannya.
Aku melemparinya dengan rumput yang baru kucabut di depanku. “Jangan...