Di sebuah kota yang terbuat dari cermin pecah, saya berdiri di tengah alun-alun yang berderit. Langit di atas kepala bukan biru, melainkan lautan tinta yang tumpah, mengalir perlahan ke cakrawala, menetes ke pipi-pipi bangunan yang compang-camping. Waktu di sini seperti jam pasir yang terbalik: butir-butirnya jatuh ke atas, tapi saya tetap terperangkap di dasar, kaki terpaku pada tanah yang terbuat dari bayang-bayang.
Saya pernah punya tema...