Teras itu tak pernah berubah. Kursi tua masih bersandar ke dinding, berderit pelan setiap kali Pak Didik duduk. Secangkir kopi dan sepotong roti tawar menemani paginya yang hampa. Kadang, ia menyiapkan dalam dua cangkir dan dua piring. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk siapa pun yang mungkin akan datang. Namun, hingga kopi dingin dan roti kering, tak pernah ada yang menyentuhnya.
Dulu, teras itu penuh suara. Bu Nani menyiram bunga sambil berse...