“Maaf,” kataku pelan, seakan ada seseorang di ruangan yang bisa mendengarnya.
“Maaf kalau aku tidak menjadi apa yang kamu mau.”
Kalimat itu keluar begitu saja, seperti sesuatu yang sudah lama menunggu di tenggorokan.
Dalam ruminasi, kamu berdiri di hadapanku tenang, lembut, dan selalu lebih baik daripada kenyataan.
Versi kamu yang ini menggeleng pelan. Senyumnya samar, nyaris menenangkan.
“Kamu tidak perlu berubah,” katanya.
Dan seperti bia...