Dan kini, semua ingatanku tentang pria bernama Einhard, hanya sebatas ingatan saja. Last day, I followed him. Menuju sebuah lapangan basket yang tidak jauh dari Apartemen tempatnya tinggal.
"Aku resign dari kantor hari ini, aku juga pindah rumah," Einhard diam. Ia tidak melihatku sama sekali, "Aku nggak tinggal di Jakarta lagi. Dan mungkin, aku akan nerusin webtoonku yang sempat stuck kemarin, jadi nggak ngantor lagi untuk sementara waktu."
Our meeting was not that special. Our meeting was whatever. Our farewell didn’t have any strong pains but. It will be sad.
Setelah hari itu, semuanya sungguh selesai. Akting pura-puraku juga selesai. “Jangan pergi.” itu kalimat bodohnya, saat mencoba merayuku untuk kesekian kalinya. Namun hanya itu yang dia katakan. Hingga detik terkahir langkahku menjauh, ia hanya diam.
Life becomes numb painful and familiar!
Selamanya kami hanya akan menjadi sebuah kenangan, dan akan terus menjadi masa lalu. Tak ada kata kembali, atau mengulang. Karena kami tak pernah memulainya. Jadi, untuk apa diulang.
Seperti membayangkan kopi, bisa asik bercinta dengan dasi. Terlihat mustahil, namun mungkin saja akan terjadi. Atau aku hanya seperti ampas kopi, yang akan mengering di cangkir setelah lama asik bercinta dengan udara. Ingatanku hari itu, kembali pada pertemuan kami untuk pertama kalinya- pertemuan yang tak pernah terduga- yang tak pernah kupikirkan sebelumnya akan menjadi sangat sakral untuk hatiku.
Life is about farewell meeting and familiar.
Sekalipun ia berkata, jangan pergi. Einhard tidak mengejarku. Ia diam, saat kakiku pergi menjauh darinya. Hari itu, membuatku mengingat lagi tentang pertemuan pertama kami.
Semua terjadi pada tahun 2005 silam. Sewaktu kami masih di sekolah dasar. Ia menjadi anak murid pindahan di sekolahku. Dan dia adalah anak laki-laki pertama yang bisa akrab denganku, yang agak introvert ini. Selain karena memang ia duduk disebelahku, kami pun ternyata bertetangga. Rumahnya tepat di depan rumahku. Caranya menyapaku, caranya tersenyum, hingga caranya berbagi bekal.
Banyak kenangan manis yang kami lalui. Menemaninya makan siang, menemaninya bermain di taman rumahnya yang luas, menemaninya belajar, mengerjakan PR bersama, menonton kartun, bisa dibilang setiap hari kami bertemu. Karena ke dua orang tuanya bekerja dan selalu pulang larut, jadilah Einhard selalu sendiri di rumah. Tidak jarang juga, Ibuku mengajaknya kerumah sembari menunggu orang tuanya pulang.
Anak itu, memang sudah kesepian dari kecil.
Sejujurnya, aku senang bisa melewatkan banyak waktu menyenangkan bersamanya.
Tapi, setelah kami bertumbuh, banyak hal yang tidak akan pernah sama lagi. Walaupun kami masih berteman baik. Tapi, pada dasarnya laki-laki dan perempuan memang agak sulit untuk "sekedar" bisa berteman, tanpa ada salah-satu yang menyimpan rasa.
"Kamu yakin, nggak mau tinggal di Apartemenku aja?"
"Iya, aku harus bertemu Ayah. Dan Ninik juga janji mau kesini. Setidaknya, aku harus ketemu beliau!"
Ninik adalah Ibu dari Ayahku. Beliau adalah orang pertama yang mengetahui tentang perilaku anaknya. Dan beliau juga yang membela Ibuku. Tapi semua berubah. Setelah Ayah dan Ibu akhirnya bercerai. Ninik jadi acuh pada Ibu. Ninik bilang, Ibu seharusnya bertahan. Jangan menyerah pada Ayah.
"Yaudah, terserah kamu aja. Tapi kalau ada masalah, kamu langsung telfon aku! Atau kerumahku aja langsung, passwordnya ulang tahun kita."
"Siapa memangnya yang mau kerumahmu?"
"Ya pokoknya, kalau ada masalah kamu harus hubungin aku! Jangan lari lagi!"
"Iya, cerewet banget deh. Btw, kamu langsung pergi, nggak masuk dulu?"
"Nggaklah, kapan-kapan aja. Ini waktunya kamu, sama Om ngobrol banyak. Aku nggak mau ganggu."
"Aku nggak yakin, bisa ngobrol sama Ayah tanpa bertengkar."
"Harus bisa, paksain aja! Dan di dalam akan ada keluarga baru Om Yudis, kamu harus sopan sama mereka. Jangan bikin ulah."
"Iya."
Sebelum pergi, Einhard memelukku dalam. Ia menepuk pundakku halus. Ia tidak mengatakan apapun, tapi aku bisa langsung faham. Dia sedang khawatir padaku.
"I'm fine, dude!"
"Tapi aku khawatir sama kamu, gimana dong? Bolehkan aku khawatir?
"Tumben amat."
"Bukan tumben, kamu aja yang nggak peka sama aku."
***
Di rumah, yang pernah menjadi tempatku tinggal. Kini, entah kenapa sangat terasa asing. Banyak yang tidak kukenal. Karena mereka semua adalah keluarga baru Ayah. Dan Ayah, tidak mencoba mengenalkan mereka padaku. Lagipula, mereka juga tidak begitu ramah, saat aku berusaha untuk mendekat. Terutama mertua Ayahku. Entah kenapa, wanita itu seperti yang diceritakan orang-orang tentang Ibu tiri. Menyeramkan!
"Kamu tidur di ruang tamu, soalnya semua Kamar di sini penuh. Karena kamar kamu, sudah jadi kamar cucuku."
"Iya Bu." kataku pasrah.
"Sekarang kamu kerja apa? Katanya kamu resign jadi desainer grafis di kantor Ayah kamu?"
"Iya. Sekarang saya freelance. Kerjanya di rumah aja, buat gambar."
"Oh gitu, bagus deh. Jadi kamu nggak perlu minta uang sama Ayah kamu kan?" ingat, jangan terpancing. Biarkan nyonya ini, mengatakan semaunya. Terserah!
"Saya nggak akan meminta sepeserpun uang Ayah saya! Tenang, Ibu bisa memiliki semuanya kok." kataku santai. Wajahnya yang sok ayu itu, berubah menyeramkan. Ia sepertinya marah denganku.
"Ayah kamu itu, suami anak saya. Jadi jangan harap, bisa macam-macam kamu."
"Iya saya tau, mana mungkin saya lupa. Dia selingkuhan Ayah saya, yang ternyata Hamil!"
Kali ini aku serius! Sungguh emosiku sudah memuncak, "Jadi, Ibu juga jangan main-main sama saya. Karena rumah ini, bukan punya Ayah. Tapi milik almarhum Ibu saya. Kalau Saya mau, kalian semua bisa saja, saya usir dari rumah ini!" nada suaraku, sengaja kukecilkan.
Wajahnya berubah. Dia seperti tidak terima dengan pernyataanku. Lalu pergi begitu saja.
***
Di rumah ini, pernah ada satu ruangan yang diberikan padaku sewaktu usiaku lima tahun. Itu adalah kali pertama, aku berani tidur sendiri tanpa mereka.
Ibu dan Ayah mengisi seluruh ruangannya dengan warna serba putih. Mereka memberiku tempat tidur yang nyaman, lemari yang besar, mainan yang banyak, dan buku-buku cerita yang tebal. Kamar itu, tidak pernah kurubah. Sekalipun usiaku sudah dua puluh dua tahun waktu itu, sebelum akhirnya aku mulai benci dengan kamarku sendiri. Semua karena ulah Ayah.
Dan kini, ruangan itu telah berubah. Tidak ada lagi tempat yang tersisa untukku di rumah ini. Seakan kedatanganku, hanya sebuah lelucon untuk mereka semua.
***
"Besok Ila kerumah Ninik aja. Udah lama, cucu nenek yang cantik ini nggak main kerumah. Lagian kamu bisa sakit kalau harus tidur di karpet terus."
"Iya Nik." Jawabku lemah.
Satu minggu berlalu, dan tidak ada yang berubah. Istri Ayah ditunda kepulangannya dari rumah sakit, karena ada komplikasi serius setelah persalinan. Jadi selama satu minggu ini, aku hanya berperan sebagai babu di rumahku sendiri. Semua pekerjaan domestik, aku yang kerjakan. Nyonya rumah ini, hanya sibuk mengomel dan mengadukan kelakuanku pada Ayah. Apa hidupku sudah mirip sinetron? Terlalu berlebihan memang. Tapi inilah yang terjadi!
"Iya Nik, tapi nggak besok ya. Ila mau tinggal di Apartemennya Einhard aja, di sana ada dua kamar." Nenek memelukku, beliau menangis. Dan tiba-tiba, "Maafin Ninik ya, maafin Ayah kamu juga," aku menggeleng. Tidak, beliau tidak harus meminta maaf padaku. Ini bukan kesalahannya.
"Nik," aku menggeleng lagi.
"Wajar, kalau kamu masih marah sama Ayahmu itu. Cuma, sekarang Ayah sudah punya keluarga barunya sendiri. Ayah sudah bahagia. Jadi, Ninik mau kamu juga harus bahagia!" aku kembali menghela nafas. Pelukan Nenek kulepas pelan, kemudian menggenggam tangannya.
"Bahagia Ila, sudah dibawa sama Ibu. Semua kebahagiaan Ila, dikubur bersama jasadnya Ibu, jadi Ila nggak faham lagi Nik, sama arti bahagia."
"Sssst, jangan ngomong gitu. Nggak baik."
Nenek kembali memelukku. Disela-sela percakapan kami, Ayah datang dengan menggendong anak laki-lakinya, adik tiriku. Beliau sangat memuja bocah kecil itu.
"Kamu, bawa kado untuk Ibu kan?"
"Kado?" hadiah maksudnya?
"Iya, kamu datang kesini, bawa hadiah untuk adik-adik kamu juga kan?" pria tua ini, sedang membicarakan hadiah untuk anak dan istrinya? Dariku? Apa hanya itu yang beliau pikirkan? Jadi, kedatanganku selama satu minggu ini, hanya untuk menunjukan pada orang banyak, kalau kami baik-baik saja? Atau justru untuk menunjukan pada mereka, kalau aku bukan lagi, bagian dari keluarga ini?
"Sayangnya, aku nggak bawa apa-apa untuk mereka." Ayah terdiam. Beliau menatapku dengan keras. Nenek menahan tanganku yang gemetaran.