Tidak ada yang spesial pada hari ini, aku hanya sedang bersantai di Starbucks yang berada tidak jauh dari tempat tinggalku, sambil menikmati secangkir kopi pahit hitam.
Bermenit-menit lamanya, aku terpaku dengan wangi semerbak dan pahitnya kopi. Suasana yang tenang, membuatku betah lama-lama berdiam diri. Bahkan buku yang sejak tadi kubawa, hanya tergeletak begitu saja tanpa ada niat untuk kusentuh. Laptop yang sejak tadi sudah hidup, sedang menuju web pencarian, sudah kuketik apa yang ingin kucari, namun berhenti di tengah jalan. Bukan karena wifi yang lamban, tapi aku yang memang sengaja melambat.
Sungguh, aku sedang tidak berminat pada kegiatan apapun saat ini. Minatku sekarang, hanya berdiam diri sambil bernafas.
Rupanya, kejadian tempo lalu di rumah Ayah cukup membuatku terkejut. Aku tidak menyangka, kalau Ayah akan berani menemuiku lagi setelah perkara kado yang tidak kubawa untuk Anak dan Istrinya. Seharusnya Ayah sudah sangat shock dengan keberanianku yang mampu membalas ucapannya. Tapi pria tua itu belum menyerah, ia terus saja mengusik hidupku.
Kabar baiknya, hadiah yang kukirimkan itu mampu menampar wajah Ayah dengan keras. Aku harap, beliau akan mengingat kejadian ini selamanya. Ayah tidak sepantasnya melupakan Ibu! Aku, tidak akan mampu merelakan hal itu.
🎵🎸 You already left me, your heart has left me
Even your body has left me as well
I don’t know how to hold onto you- someone please tell me how?
DAVICHI (다비치) - Don't say Goodbye
**
"Jadi, kamu yang kirim Bunganya ke rumah?" Ayah mendatangiku dengan sukarela di Apartment Einhard. Beliau tidak datang dengan salam, namun suara tingginya yang terdengar agak kesal dan marah-marah tentunya. Wajahnya langsung serius. Ia bahkan tidak sempat duduk. Hanya berdiri di depan pintu. Sambil bertolak pinggang.
"Ayah marah, karena Bunga itu yang kukirim sebagai hadiah?" aku bertanya dengan sangat hati-hati. Tapi dengan nada yang cukup sarkas.
"Kamu keterlaluan." aku tertawa lega.
"Artinya, Ayah masih mengingat kesalahan besar itu. Kesalahan, yang tidak akan pernah bisa Ibu maafkan. Aku lega mendengarnya."
Einhard sengaja membiarkan kami berdua berbicara, ia sedang berdiri di balkon sembari melihatku dengan tatapan khawatir. Anak ini, tau bagaimana harus bersikap. Ia memberiku ruang untuk bergerak. Dan sekarang, justru Ayah yang berniat mengurungku.
"Jangan libatkan siapapun untuk urusan kita."
Aku mendekati Ayah, untuk melihat wajah beliau dengan jelas, "Dan Ayah, tidak bisa mengatur rasa amarahku pada kalian. Jadi jangan coba." Ayah terdiam, sesungguhnya aku tau betul siapa Ayahku ini. Beliau tidak akan berani menemuiku lagi, kalau bukan karena perempuan itu yang memaksanya.
Semua percakapan kami berakhir. Beliau pergi tanpa pamit. Dan Einhard langsung menghampiriku. Ia terdiam sejenak. Tangannya terbuka lebar, "Mau pelukan gratis?" katanya datar. Aku langsung menghambur. Seketika tangisku pecah begitu saja. Bermenit-menit lamanya, aku tenggelam pada aroma Parfum yang bercampur dengan wangi asli tubuhnya. Seperti Vanila manis, dengan campuran bau angin musim semi. Aku yakin, Feromon ini yang menggoda banyak wanita di ranjang. Sudah berapa banyak wanita yang berhasil ia pikat sengaja dengan wangi selembut ini?
"Feel better?"
"Hmm." tentu, hanya kujawab dengan gumaman saja. Aku terlalu malas, untuk membuka mulutku saat ini. Pelukannya terlalu nyaman. Dan pada akhirnya, aku kembali terjebak.
Einhard melepas pelukannya pelan, "Balkon?" aku hanya mengikuti langkahnya. Kami duduk di balkon, sambil bercinta dengan cola kalengan.
"La, kamu udah ngelakuin hal apa untuk diri kamu sendiri, akhir-akhir ini?"
"Aku?"
"Iya, kamu." Einhard menatapku sambil melempar kaleng colanya yang kosong, menuju tong sampah.
"Kalau kamu?" kutatap wajahnya, Einhard hanya tersenyum, "Malah balik nanya, kamu Non. Jawab aja sih pertanyaan aku."
"Entahlah, rasanya semua yang kukerjakan, tidak berjalan dengan baik."
"Jangan terluka terlalu dalam ya."
"Kalau kamu sendiri? Apa yang kamu lakukan untuk diri kamu sendiri?" kali ini, aku sungguh bertanya dengan serius.
"Jemput kamu di stasiun. Bisa meluk kamu waktu nangis, nemenin kamu ke kebun Tante, berduaan di balkon macam sekarang ini."
Einhard kembali menatapku. Tak ada senyum jahil seperti biasanya. Hanya aroma agak canggung yang menguar. Kupalingkan mataku buru-buru menuju langit.
"Your confession, to much flashy dude."
"Ya, setidaknya aku udah nyoba."