"Love me like orfeus, Love me like the little mermaid did,"
(2020)
Cinta. Entah apa yang terjadi pada hidupku, saat kata itu muncul seketika. Enam belas tahun sudah, aku mengenal Einhard. Dari satu hingga sepuluh, aku merasa sudah berada di angka sepuluh, dalam mengenalnya. Tapi nyatanya, angka sepuluh itu bukanlah sebuah jaminan kau akan mengenal seseorang dengan benar dan baik. Aku baru menyadarinya, belum lama ini.
Dan setelah itu pertanyaan baru akhirnya muncul? Sudah dengan benarkah, aku mengenalnya selama ini? Karena empat tahun lalu, aku pernah dengan sengaja melupakannya. Aku pernah dengan sengaja, menghindarinya. Akupun membuang semua kenangan manis kami, dengan sengaja! Dan saat itu, aku berhasil melupakannya. Namun sekarang, ia kembali mencari-cari alasan agar aku terus berdiri sejajar dengannya lagi.
Seperti kisah kidung asmara Eurydike dan Orpheus. Selama apapun kau bercinta dengan kekasihmu, semuanya akan hancur hanya dengan satu kesalahan kecil. Yaitu, rasa tidak percaya. Itulah yang dilakukan oleh Orpheus pada kekasih yang dicintainya itu. Kisah mereka harus berakhir seperti gelembung yang pecah di udara. Kematian memisahkan mereka berdua, dan Orpheus tidak bisa menerima semua kepahitan itu dengan lapang dada. Hingga detik terakhir, pria malang itu masih saja menangisi kepergian Eurydike.
Hingga satu hari, rupanya keajaiban datang. Ia tidak sengaja menemukan kekasihnya di Neraka. Jelas, tanpa berfikir panjang ia langsung memohon pada Hades untuk bisa membawanya keluar dari tempat itu. Tanpa diduga, sang Hades mengijinkannya. Namun dengan satu syarat. Bukan syarat yang sulit, namun bukan hal yang mudah juga. Bukan Hades namanya, kalau beliau tidak licik. Ia menguji kesetiaan seorang Orpheus untuk kali terkahir. Anggap saja, ini kado permintaan maaf dari seorang Hades yang telah membuat anak-anaknya terluka karena cinta.
“Orpheus, biarkanlah Eurydike berjalan megikutimu. Namun, pantang bagimu untuk melihat ke belakang. Ke arahnya. Selama kau berada dalam kegelapan, biarkan Eurydike mengikuti jalanmu. Kalau kau melanggarnya, maka gadismu akan tetap berada di sini, dengan jiwa-jiwa yang sudah mati.”
Bukanlah kalimat Hades sudah sangat jelas? Jangan lihat ke belakang. Tapi sayangnya pria malang ini, melakukan kesalahan fatal. Ia memutar tubuhnya, hanya untuk memastikan jiwa Eurydike masih mengikuti langkahnya. Pepatah memang benar. Malang tidak akan pernah bisa kau tolak. Ketidaksabaran Orpheus membuat Eurydike menghilang, untuk kedua kalinya.
Kisah ini mengingatkanku pada Pangeran Eric, yang meninggalkan Ariel untuk gadis lain. Secepat kesimpulan akhir dari si Mermaid, yang memustuskan untuk bunuh diri, karena bekas patah hati yang masih saja mengambang di jutaan gelembung air lautan. Menyakitkan bukan?
Untuk kedua kalinya, Orpheus kehilangan Eurydike. Pria malang itu, menatap nanar kesalahannya. Dan kembali dengan perasaan hancur, yang sedang berjibaku dengan kata pengandaian. Seandainya, aku tidak melihat ke belakang. Apa yang akan terjadi, pada takdir kami? Seandainya, aku terus percaya dengan Eurydike mungkinkah ia tidak akan menghilang?
Sungguh, aku tidak pernah berharap, kisah mereka akan menimpa kisah cintaku juga. Tapi nyatanya, kisah kami hampir serupa namun tak sama. Aku memang aku. Bukan Little Mermaid yang akan mati karena patah hati. Aku juga bukan Eurydike yang kesal dengan Orpheus karena tidak mempercayai langkahnya.
Bahkan Einhard tetap saja menjadi Einhard. Bukan Orpheus, yang rela mati demi demi kekasihnya. Bukan juga Pangeran Eric, yang akan meninggalkan Ariel demi gadis lain. Einhard, hanya pria gila yang mencoba memaksa jalanku untuk beralih padanya. Namun ia hanya setan tak bertelinga yang mampu berbicara keras, tapi lupa bagaimana caranya untuk mendengar. Itulah Einhard si bingu. Pria dingin, yang sulit sekali untuk bisa kusentuh hadirnya, namun iya nyata saat bersamaku.
**
"Welcome home, La."
"Kamu nggak perlu repot jemput, aku bisa naik taksi."
"Nggak repot!" Einhard mengambil koperku dengan paksa. Ia menggeretnya dengan pelan. Langkahnya sangat ringan siang ini, tidak seperti empat tahun lalu, saat kami berpisah.
"Kamu nggak mau tinggal di Jakarta lagi apa La?"
"Belum kepikiran," pertanyaan yang selalu ia tanyakan padaku. Dan jawabanku masih sama.
"Sekalipun kamu jauh dari rumah, sekalipun kita tidak lagi sejalan. Kau masih tetap harus berada dihadapanku!"
"Jalan berbeda?" seketika aku berhenti, menatapnya dengan ragu.
“Iya!" katanya lantang.
"Jadi menurutmu, ketika aku memutuskan untuk mencoba hal lain dalam hidupku, itu karena aku ingin berbeda jalan denganmu?" pria bodoh ini, memang tidak akan pernah peka pada keputusanku!
"Bukankah sudah jelas, kau berhenti bekerja karena marah padaku. Kau bahkan pindah rumah, karena ingin menghindariku!" selama ini, Einhard tidak pernah meninggikan suaranya padaku. Sekesal apapun ia dengan pertengkaran kami, ia akan mengalah. Tapi, kali ini terasa berbeda.
"Memangnya kita apa?" ia diam. Seperti biasa, sifat congkaknya itu selalu muncul disaat begini.
"Tidak tau." jawaban yang sudah bisa kutebak alurnya. Kami tidak akan pernah bisa berlanjut. Tahap rasa cinta kami, memang hanya sampai disini saja. Tidak akan pernah bisa berkembang jauh. Seperti tidak ada masalah, Einhard akan selalu kembali padaku. Ia memiliki caranya sendiri, agar aku tetap bisa berada sejalan dengan langkahnya. Sekalipun sekarang aku tidak lagi tinggal di Jakarta. Kami tidak lagi satu kantor. Dan rumah kami tidak lagi bersebelahan, ia tetap bisa menarikku kembali. Dan inilah buktinya, aku kembali ke Jakarta.
"Aku cuma dua minggu di Jakarta, itu juga karena Ayah yang minta. Istri Ayah, mau melahirkan. Ayah mau kita anak-anaknya semua kumpul. Jadi, aku ke Jakarta bukan karena kamu!"