0 (Nol) Mutlak

Sancka Stella
Chapter #1

Monmon: Sebuah Jenama

November 2014.

Hari baru, disinilah aku.

Navi, dengan wajah setengah mengantuknya, memijit tombol alarmku yang sedari tadi berbunyi “tin-tun-tin-tun”. Gadis itu mengecek kabel yang menghubungkanku dan alat oxymeter yang dipakai pada jari “Amih”—begitu sebutan mereka—ternyata terlepas. Navi menghubungkannya kembali, dan layarku segera menunjukkan hasil saturasi Amih yang sebenarnya, 95%. Memang jarang lebih tinggi dari itu, tetapi sepertinya tidak menjadi masalah untuk Navi dan perawat-perawat yang lain. Navi kemudian mengecek denyut nadi Amih yang sedang tertidur. Ia meraba pergelangan tangan Amih pelan, tidak sampai membuat Amih terbangun.

“Oke, Monmon. Aman. Masih pukul 02.00. Tidur lagi ya,” Navi menepukku pelan. Jika saja aku punya mulut, ia pasti bisa melihat seringaiku. Aku tidak pernah tidur, dia pasti tahu itu. Aku harus tetap terbangun sampai subuh berganti senja, sampai senja letih berjaga.

Pagi harinya, Navi kembali mengontrol kamar Amih dan kamar-kamar pasien lain.

“Selamat pagi, Navi,” dokter Brian menaruh segelas kopi di depan Navi. “Kamu harus membuka mata, paling tidak sampai operan selesai,” dokter Brian mengedipkan mata jahil.

“Sepertinya sebentar lagi saya harus ngadep bu Sully nih dok, bawa surat resign,” kelakar Navi. Ini adalah jaga malamnya yang kedua. Ia tidak bisa lebih letih dari ini.

Dokter Brian menimpali, “Yakin mau resign? Emang yakin ada dokter di rumah sakit lain yang bakal ngasih kamu kopi tiap jaga malam?”

“Ada dong. Dokternya merangkap owner coffee shop,” Navi terkikik.

“Ya itu mah saya, dong,” dokter Brian mesem saja.“Eh, gimana bu Mia?”

“Semalaman Amih tidur. Sebentar lagi monitornya sudah bisa dilepas, dok. Tanda-tanda vitalnya stabil,” jelas Navi.

Aku menyetujui pernyataan Navi. Amih sudah lebih baik. Sudah lebih segar, dan tidak gelisah di malam hari. Meskipun, Amih baru bisa membuka mata, belum bisa melakukan gerakan aktif. Makan Amih masih dibantu oleh NGT, dan masih memakai oksigen. Masih memakai aku, pula. Ini sudah hari ketiga sejak hari pertama aku dan Amih bertemu.

Aku teringat hari pertama pertemuan kami.

“Saturasi turun, hipotensi, nadi teraba lemah, 132x/menit, respirasi rate 32x/menit, akral dingin,” Navi menelepon dokter Brian dengan terburu-buru.

“Tadi di IGD sudah stabil kok Nav, makanya kita transfer,” suara dokter Brian sayup-sayup terdengar olehku, cemas. “Saya kesitu sekarang.”

Telepon ditutup. Navi melirik padaku selintas. Gadis itu tahu apa yang harus dilakukannya: menyiapkan alat intubasi dan menaikkan aliran oksigen. Ia menyiapkan peralatan untuk pengambilan darah arteri, kalau-kalau diminta.

Dokter Brian datang sesaat kemudian.

Ia melihat kesadaran Amih menurun, jemarinya dingin. Nafasnya kian pendek dan dangkal.

“Intubasi, ETT nomor 7,5,” perintah dokter Brian.

Mereka bekerja kurang lebih satu jam. Tepat pada pukul 22.00, Amih sudah diintubasi, darah sudah diambil. Alat sudah dibereskan.

Dan sejak saat itu, aku terpasang disamping Amih. Kali ini giliran tugasku untuk menjadi penyampai informasi keadaan Amih kepada tenaga medis. Mulai dari detik ini, tiap setengah jam sekali, Navi akan melihatku dan mencatat angka-angka yang tertera di layarku. Aku hanya harus memastikan layarku memberikan hasil yang akurat. Itu saja.

Mari ku kenalkan sekilas tentang Navi.

Navi adalah seorang perawat primer. Perawat primer adalah perawat utama yang melakukan perawatan kepada pasien sejak pasien tersebut masuk ke ruang perawatan, sampai dengan pasien tersebut pulang ke rumah. Aku melihat Navi pertama kali ketika dipercaya oleh bu Sully untuk menjaga pasien dengan tingkat ketergantungan total, artinya pasien-pasien dengan penurunan kesadaran atau memakai alat bantu medis yang jamak. Itulah kali pertama aku melihatnya. Pada hari-hari berikutnya, kami sering saling menatap. Ketika Navi melihat layar di monitorku, aku mempunyai kesempatan memandang wajah Navi. Ia memijit tombol-tombolku. Mencatat. Kadang tersenyum melihatku, kadang mengerutkan alis. Kadang hanya melihatku sesaat, kemudian--dengan langkah agak berlari--menuju Nurse Station untuk menelepon seseorang.

Itulah Navi. Cerita tentangnya akan kulanjutkan kapan-kapan.

Seseorang membuka tirai Amih. Navi agak terkejut.

“Maaf, suster. Sedang tindakan ya?" laki-laki itu kikuk. Merasa bersalah, ia segera menutup kembali tirai. Aku masih melihat bayangan laki-laki itu dari balik tirai. Berdiri disana. Navi menyelesaikan tugasnya pagi ini. Ia melakukan pembilasan pada selang NGT setelah selesai memberikan Amih makanan cair. Ia membersihkan pangkal NGT dan hidung Amih, dan merekatkan selang NGT di sisi hidung yang lain. Tak lupa, dengan tekun Navi membersihkan gigi, gusi, dan lidah Amih dengan kassa. Ia selalu melakukan kegiatan itu. Aku pernah ditempatkan di ruangan lain, dan masih jarang perawat yang melakukan oral hygiene tiap empat jam sekali seperti Navi.

“Mih, sudah bersih. Sudah kenyang juga, kan. Istirahat ya, sekarang,” Navi merapikan selimut Amih yang tipis, serta melipat selimut malam. Ia melirikku sekilas, kemudian tersenyum mendapati angka-angka baik di monitorku. Ingin rasanya aku hanya menunjukkan angka-angka baik saja, agar Navi terus bisa tersenyum padaku.

“Eh, sudah, Ners?”, laki-laki tadi--yang masih kikuk--bertemu pandang dengan Navi. Navi mengangguk ramah. “Mau jenguk Ibu.. Mia?”, tanya Navi. Laki-laki itu giliran mengangguk. “Suster yang merawat Am--Ibu Mia ya?”

“Kami juga memanggil beliau Amih, pak,” Navi tersenyum. “Kata anaknya, beliau senang dipanggil begitu. Betul. Saya yang merawat Amih. Bapak siapanya, ya?”

“Oh, saya, anaknya.”

“Anak..nya?”

Laki-laki itu mengangguk.

Aku mengerti pikiran Navi. Selama ini yang sering berkunjung memang hanya Lucas dan Bonita. Ini anaknya yang mana lagi, astaga.

“Lio,” laki-laki itu mengulurkan tangan. Alih-alih menjabat tangan laki-laki itu, Navi mencari sesuatu. Ah, aku tau apa yang Navi cari. Itu Navi, itu! Di pojok nakas.. ya,ya, memang tempatnya baru berpindah. Tadi ada office boy baru yang memindahkannya kesana! Ayo Navi, hand sanitizernya di pojok-kanan-nakas! Nah, nah, sedikit lagi. Lihat sana!

Navi menemukannya. Ia menemukannya!

Navi--tetap memakai prosedur cuci tangan dengan banyak langkah itu, untuk membersihkan tangannya. Laki-laki itu, dengan setia, menunggu Navi selesai. Tangannya belum ia turunkan jua.

“Enggak pegal?”, Navi tertawa kecil. Laki-laki yang menyebutkan dirinya Lio, menggeleng. “Engga. Ya, paling bentar lagi panggil fisioterapis,” ia mengulum senyum.

Akhirnya, keduanya tertawa bersama.

“Ners Navi,” Navi menjabat tangan Lio, memperkenalkan diri.

“Navi? Oh, kayaknya saya kenal. Temannya hijau sage sama hijau basil, ya?”

Navi menaikkan alis. Lio terkekeh lagi. “Jokes bapak-bapak banget ya, I know.”

“Baik. Silahkan ya, Pak Lio. Keburu jam kunjungnya habis.”

Just Lio. Meskipun pakai joke bapak-bapak, tapi kayaknya umur kita enggak beda jauh.”

“Mas, mungkin, ya,” usul Navi.

Sounds better,” Lio tersenyum.

Navi menunjukkan gestur berpamitan, sebelum Lio memanggil.

Lihat selengkapnya