Karena kamar Amih tidak jauh dari Nurse Station, aku bisa mendengar keributan disitu pagi ini.
Ada suara Navi yang berkata “Selamat pagi!”, tetapi semua mengacuhkannya.
“Saya harus memastikan bahwa pemasangan kateter yang Suster Tiwi lakukan sesuai prosedur atau tidak,” nada Bu Sully mulai meninggi.
“Bu, yang dirugikan itu saya!”, suara Suster Tiwi terdengar getir. “Ini pelecehan!”
“Enak saja, adanya kamu yang keganjenan!”, seorang wanita menunjuk geram pada Suster Tiwi. Suster Tiwi balas melotot.
Bu Sully terlihat kesal, entah pada siapa. Navi terdengar menengahi. “Saya mengerti mungkin ibu kesal, tetapi alangkah baiknya kita dengar penjelasan baik dari ibu, maupun suster Tiwi.”
“Begini suster,” wanita itu mencoba menahan emosinya. “Suster ini,” dia menunjuk Tiwi. “Melecehkan suami saya dengan alasan pemasangan kateter! Dia keenakan memegang punya suami saya. Wajar suami saya jadi terangsang kan, Suster?”
“Enggak gitu, Nav. Aku based on prosedur. Masa iya penis nya engga kupegang? Gimana masukin selang kateternya, Nav?”
“Bohong suster! Kamu bohong!”, wanita itu menunjuk-nunjuk Tiwi, nada bicaranya makin keras. Beberapa keluarga pasien mulai bermunculan dari kamar, terlihat terganggu. Termasuk Lio yang kulihat sedang asik mendengarkan Spotify di ponselnya, sambil menunggui Amih. Ia beranjak meniggalkan kamar, mencari sumber keributan.
“Bapaknya malah pegang tangan ku, Vi. Engga mau kulepas,”lanjut Tiwi, tidak menggubris teriakan wanita itu. Nada bicaranya terlihat bergetar, tetapi mencoba ia kuatkan.
“You’re such a moron!, wanita itu berteriak lagi. “Kamu mengambil kesempatan!”
‘Bu, saya tidak—“
“Plak!”, sebuah tamparan keras mendarat di pipi Tiwi. Tiwi terlihat geram, masih mencoba menahan emosinya. Tetapi, pipinya sudah kadung memerah. Entah karena marah, entah karena tamparan barusan.
Ketika wanita itu hendak menampar Tiwi untuk kedua kalinya, ada tahanan yang menghalang. Jemari Navi. Jemari itu berukuran kecil tetapi kokoh. Membuat wanita itu urung mendaratkan telapaknya di pipi Tiwi.
“Suster tidak usah ikut campur!”, wanita itu giliran meneriaki Navi.
“Suster?”, suara seseorang memecah ketegangan mereka kala itu. “Punya plester?”
Navi yang pertama kali melirik laki-laki itu. Lio. Lio mengangkat alisnya sambil tersenyum. “Hai, Suster Navi. Lagi sibuk, ya?”
Bu Sully meminta Navi,” Tolong ambilkan plester dulu ya, Nav. Sebentar ya, pak,” kemudian Bu Sully berbicara pada Lio.
Lio menunggu Navi sampai menghilang di balik pintu ruang pengadaan.
“Ini sih, kalau.. Kalau saya boleh bicara," ujar Lio. “Kita kadang tidak paham karena kita awam bu.”
Wanita itu, masih dengan tangan terkepal, tapi sorot matanya mulai meneduh mendengar Lio bicara. “Saya kurang paham apa masalahnya, tapi, saya yakin ketika ibu butuh bantuan perawatan, rumah sakit ini satu-satunya pilihan, bukan begitu? Karena mereka memang merawat keluarga kita dengan benar, sesuai prosedur, ibu.”
Lio menoleh kepada bu Sully, “Mungkin ibu kepala ruangan bisa memperlihatkan prosedurnya.”
“Saya sudah bawa,” Bu Sully membuka bantek tebal yang sedari tadi berada di genggamannya. “Mari bu, kita bisa lihat bersama SOP pemasangan kateter untuk pasien laki-laki.”
Wanita itu melirik Lio barang sebentar, mencari peneguhan bahwa itu adalah langkah yang tepat.
Sepertinya ia bisa percaya pada Lio, karena status mereka sama: keluarga pasien.
Lio tersenyum. Matanya penuh kesungguhan. “Lihat saja dulu, ibu. Setelah itu kita bisa menentukan langkah selanjutnya.”
Bu Sully mempersilahkan wanita itu—yang belakangan aku tahu bernama Denisa—untuk duduk.
Setelah itu, tak terdengar lagi suara riuh rendah dari Nurse Station.
Yang ada hanya suara Navi yang berkata,”Nih.”
Kemudian, disambut jawaban Lio.”Thanks, ibu perawat.”
“Kamu.. Mas.. kuliah di jurusan apa? Manajemen komunikasi? Hubungan internasional? Public speaking?”