0 (Nol) Mutlak

Sancka Stella
Chapter #3

Orang Orang Baru

“Kamu engga bisa kerja remote terus-terusan, sementara yang dicari sama Pak Beni ya kamu lagi, kamu lagi!”, wanita itu menghempaskan tas mungilnya ke atas sofa.

Please Aina, seminggu ini saja. Ya? Saya perlu pantau ketat tempat pelatihan karena sebentar lagi proses visitasi. Lagi pula, Amih, engga mungkin saya tinggal terus-terusan, kan?”

“Kamu hanya tinggal pilih satu!”, wanita yang dipanggil Aina menyilangkan tangannya didepan dada.

That’s not as easy as said, Aina.”

“Ya kamu engga bisa semaruk itu, Yo. Kamu engga bisa ambil semuanya dalam satu waktu. You exactly know that!”

“Ya, pada ujungnya kamu tahu apa yang akan saya pilih.”

“Apa?”

Aina mencoba menerka.

“Kamu.. mau resign?”

Lio mengangguk, melengos ke arah lain, mencoba untuk memikirkan apakah ia punya pilihan lain.

“Kamu sudah bisa menduganya.”

Kulihat Aina menatap dalam wajah Lio. Berakhir dengan menggigit bibir bawahnya. “Then you leave us? You leave.. me?

Aku memicingkan mata. ‘Tadi dia bilang Lio harus pilih salah satu. Sekarang malah mau menangis.. Nah, ini nih.. Wanita, wanita’, aku pun tak bisa paham.

Lio sepertinya berbicara dalam hatinya, sama sepertiku. Dan, jika aku menjadi Lio, tindakanku juga pasti sama. Memilih untuk diam.

“Lalu, bagaimana, kita?”Aina tidak bisa sabar menunggu jawaban Lio untuk pertanyaan sebelumnya.

Kita?’, aku heran. ‘Kita apanya?’

“Aina, sekarang prioritas saya adalah Amih. Dan usaha saya yang baru saya rintis. Kamu tahu kalau saya tidak mengurus Amih, Bonita dan Lucas akan tetap lepas tangan. Mereka sudah siapkan satu tempat di Sasana Damai. Mana mungkin saya tega?”

Dagu Aina tambah bergetar. “And am I not your priority anymore, Lio?”

‘Eh, apa? Apa? Ada apa ini?’

“Aina, saya harap kamu adalah satu-satunya orang yang bisa mengerti kondisi saya saat ini.”

“Kamu tau aku selalu mengerti kamu. Aku.. hanya berharap kamu punya giliran untuk mengerti aku sekarang. I’ve been waiting for you so long, Yo. Aku engga bisa lebih lagi dari ini.”

Lio diam lagi. Kali ini hanya berani menatap ujung mata Aina. Aku terka wanita ini mengambil peran cukup banyak dalam hidup Lio.

Atau mungkin, ku terka, hatinya.

Aina memainkan kuku cantiknya yang berkuteks pink salem dalam diam. Ia beberapa kali kedapatan menjentikkan ujung kukunya dan berujung agak nyeri.

D--don’t do that,” Lio menarik jemari Aina. “Kamu kebiasaan.”

Aina menelan ludah, melirik Lio gemas.

“Aku hanya menyampaikan pesan dari pak Beni. Aku kasih waktu untuk kamu bisa berpikir. Aku bisa kasih alasan untuk beberapa hari ke pak Beni tentang kamu.”

“Pertimbangkan lagi, Lio. Jika boleh, pertimbangkan.. aku.”

Lio mengatupkan bibirnya kencang. Aina melepas genggaman tangan Lio. Sebelum pergi, ia mengusap air yang sudah meleleh di sudut matanya. Aku melihat Lio tak berkutik sedikitpun, hanya matanya mengantarkan gadis itu keluar kamar.

Aku sepertinya jadi paham, untuk siapa Ia merapikan kemejanya dan menata rambutnya tadi pagi.

===

“Amih?”, Navi menghentikan kegiatan mengoleskan vaseline di lutut Amih. Ia terpana barang sebentar. Amih baru saja mengangkat lengan kirinya.

“Amih? Ayo Amih coba lagi, coba angkat lagi, Amih!”, Navi terlihat girang bukan main. Ia menutup vaseline di tangannya dan mengganti sarung tangan. Dalam beberapa menit kemudian, Ia mencoba menilai kekuatan otot Amih. Ia memandu Amih untuk menggerakkan tangannya seperti yang barusan wanita itu lakukan.

“Coba lagi, Amih. Pelan-pelan saja, coba angkat tangannya lagi seperti tadi, Amih.”

Mata Amih mengerjap-ngerjap. Bergerak ke kiri dan ke kanan. Seperti berusaha untuk melakukannya lagi. Tetapi, selanjutnya, tangannya hanya bergeser sedikit.

Navi mengangkat tangan Amih kurang lebih sepuluh senti dari bed. “Amih, sekarang Navi coba angkat tangan Amih pelan-pelan, ya. Amih coba tahan untuk tetap terangkat ya. Nanti Navi coba lepaskan pelan-pelan.”

Lihat selengkapnya