“Luka tekan ini bisa terjadi di beberapa tempat, terutama pada pasien yang tirah baring seperti Amih. Contohnya pada ujung pinggul, lutut, jari kaki, telinga, bahu, pangkal kaki, punggung, bokong, siku tangan, serta betis,”Navi menjelaskan pada Lucas yang duduk di samping tempat tidur Amih. “Cukup gunakan lotion atau vaseline untuk mencegah atau mengurangi penyebaran luka tekan ini Pak, jika sudah terjadi.”
Lucas, seperti biasa, tidak merespon. Lirikan matanya hanya beralih dari ponselnya ke arah Navi, sebentar. Lalu kembali menatap layar ponselnya.
Navi mengoleskan tumit Amih dengan lotion sambil bertanya, “Ada penjelasan yang kurang bapak pahami?”
Lucas melihat Navi dengan tatapan matanya yang tajam. “Untuk apa?”
Navi hendak menanyakan balik maksud pertanyaan Lucas, sebelum akhirnya Lucas melanjutkan. “Untuk apa kamu selalu memberikan informasi ini dan itu kepada saya?”
Ku lihat Navi sedikit terperanjat mendengar pertanyaan Lucas.
“Kamu mau saya melakukan itu semua?,”Lucas bernada geram. “Kamu bercanda.”
“Bapak bisa menginformasikan hal ini kepada perawat yang nan--”
“Kamu selalu berbicara seolah-olah saya punya banyak waktu,” Lucas memotong perkataan Navi.
Ia pergi dengan ponselnya. Meninggalkan Navi dengan vaseline yang masih ada di genggaman tangannya.
Navi terpatung barang beberapa detik. Menatap Amih. "Amih, enggak apa-apa. Mungkin lucas sedang sibuk. Nanti dia kesini lagi kok, menjaga Amih."
Setelah selesai melakukan rutinitas pada Amih, Navi merapikan alat dan mencuci tangan. Navi melengok ke pintu keluar, Lucas belum kembali.
Ketika berjalan melewati hall, Navi melihat Lucas. Sedang berbicara dengan seseorang.
“Kapan pinternya sih, lu?” Lucas memasukkan tangannya kedalam saku celana. “Bodoh.”
Navi melihat Lio yang hanya diam.
“Kita pindahkan Amih minggu depan. Titik.”
“Tik.. tik.. tik.. bunyi hujan di atas genting,” Lio malah menyanyi. Melihat Lucas yang semakin geram, Lio memasang raut muka serius. “Bercanda, Bang.”
“Beri gue waktu tiga minggu lagi. Tiga minggu lagi, bisa gue pastikan Amih pulang ke rumah kita, Bang.”
“Sinting.”
“Kalau lu sama Bonita enggak mau jaga disini, lu bisa please hiring asisten rumah tangga, buat jagain Amih di rumah sakit. Gue janji akan sering datang.”
“Lalu keluarga Amih datang dan lu lapor tentang gue dan Bonita.”
“Dan warisan jatoh ke tangan anak bego kayak elu. No way.”
“Arisan? Kapan ngocoknya?”, Lio berkelakar lagi.
“Kapan seriusnya hidup lu?”
Lio terkekeh. “Santai sih, Bang. Kaku amat. Senyum dulu dong biar ga keriput.”
Lucas menepuk pipi kanan Lio, tidak keras, tapi juga tidak pelan. Aku yakin itu terasa cukup nyeri.
“Sadar,” Lucas berdesis di dekat wajah Lio dan pergi.
Lio, dengan pipi merahnya, menghela nafas dalam. Terpatung disana.
Navi masih disitu, entah harus berbuat apa.
Tak perlu waktu yang lama untuk Lio bisa menemukan keberadaan Navi. Bahunya tegak seketika.
Navi terkesiap sendiri, melihat dirinya yang kedapatan sedang memperhatikan Lio.
“Hai, Suster Navi,” Lio melambaikan tangan.
“Hai, Bapak Lio,” Navi terbata. Hening di udara setelahnya.
“Suster.. sudah makan?”
“Saya.. belum sempat.”
“Habis shift, boleh enggak saya ajak makan siang.. bareng?”, tiba-tiba Lio menawarkan diri.
“Makan siang, di?”
“Mie ayam di food court bawah? Saya sudah coba. Rasanya enak.”
“Mm. Boleh.”
Lio tersenyum lebar. Tak ada sedikitpun wajah muram setelah barusan berselisih dengan abangnya, Lucas.
Mendung diluar sana, aku merasakannya. Aku memikirkan sesuatu saat ini. Tentang food court, Lio, Navi, dan kemungkinan-kemungkinan bahan pembicaraan yang terjadi diantara mereka berdua.