Masa kecil yang dialami Amara adalah mimpi buruk yang begitu mengerikan bagi seorang anak seusianya. Di usia lima tahun, ketika anak-anak seharusnya menikmati dunia bermain dan kebersamaan dengan orang tua, Amara harus menghadapi kekerasan yang tak terbayangkan. Setiap hari, hidupnya dipenuhi dengan ancaman fisik dan emosional. Paman yang seharusnya menjadi pelindung justru menjadi momok dalam hidupnya. Pukulan demi pukulan yang diterima Amara dengan tongkat besi membuat tubuh kecilnya dipenuhi lebam. Kulitnya yang halus berubah menjadi biru-biru akibat kekerasan yang diterimanya, seolah tubuhnya menjadi saksi bisu dari penderitaan yang tidak pernah dia pahami. Pada usia yang begitu muda, ia tidak mengerti mengapa semua ini harus terjadi padanya.
Amara lahir dari keluarga yang pada awalnya terlihat normal, namun semuanya berubah ketika orang tuanya bercerai. Perpisahan itu terjadi ketika Amara masih sangat kecil, bahkan terlalu kecil untuk mengerti apa artinya kehilangan keluarga. Sejak usia lima tahun, ia sudah harus berpisah dari ayahnya, sosok yang kemudian menjadi kenangan samar-samar di benaknya. Ibunya, yang mungkin juga sedang berjuang dengan perasaan patah hati dan tekanan hidup, memutuskan untuk memisahkan Amara dari ayahnya dan membawanya ke rumah neneknya. Bersama dengan nenek dan kedua paman yang tinggal di rumah itu, Amara menjalani kehidupan yang penuh kesengsaraan.
Berpisahnya Amara dengan ayahnya membawa perubahan besar dalam kehidupannya. Ibunya, yang kini menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga, harus bekerja lebih keras untuk mencukupi kebutuhan mereka. Perhatian yang dulu tercurah penuh untuk Amara, kini mulai berkurang, bukan karena ibunya tak lagi peduli, tetapi karena kesibukan yang semakin menyita waktu. Amara, yang masih kecil dan membutuhkan kasih sayang serta pengawasan, sering kali harus dititipkan pada pamannya. Sayangnya, sang paman bukanlah sosok yang baik bagi Amara. Ia kerap memukuli Amara tanpa alasan yang jelas, membuat gadis kecil itu semakin terpuruk dalam kesepian dan ketakutan.
Suatu hari, karena kelalaian ibunya, Amara mengalami kejadian yang hampir merenggut nyawanya. Sungai di dekat rumah mereka terkenal dengan alirannya yang deras, terlebih saat musim hujan. Pada satu kesempatan, ketika ibunya terlalu sibuk dengan pekerjaannya, Amara terjatuh ke dalam sungai yang saat itu tengah meluap. Air sungai mengalir dengan cepat, menggulung tubuh kecil Amara dan membawanya menjauh dari tepi. Beruntung, ada seseorang yang kebetulan melihatnya dan segera menolong, sehingga Amara berhasil diselamatkan dari arus yang ganas. Ini bukanlah kali pertama Amara nyaris celaka di sungai itu.
Ada satu kejadian lain yang lebih menegangkan. Kala itu, Amara benar-benar terbawa hingga ke tengah sungai, tempat arusnya paling kuat. Orang-orang di sekitar hanya bisa menyaksikan dengan ngeri, merasa tidak mungkin lagi menyelamatkan gadis kecil itu. Namun, entah bagaimana, Amara tetap berhasil keluar dari bahaya. Tak ada yang bisa menjelaskan bagaimana ia bisa bertahan di tengah arus yang begitu kuat, dan sejak saat itu, penduduk kampung mulai memberikan julukan kepadanya: anak ajaib. Mereka percaya bahwa Amara dilindungi oleh kekuatan yang tak terlihat, karena tak ada anak lain yang bisa selamat dari bahaya sungai seperti yang dialaminya.
Meski selamat, kejadian-kejadian tersebut meninggalkan luka yang mendalam di hati Amara. Ia tumbuh dengan perasaan terabaikan, merindukan kasih sayang yang dulu ia dapatkan dari keluarganya. Namun, di balik semua kesulitan itu, ada kekuatan yang tak pernah pudar dalam dirinya. Amara terus bertahan, mengandalkan ketabahan yang terbangun sejak kecil, menghadapi segala cobaan hidup dengan keteguhan hati yang luar biasa.
Julukan anak ajaib itu menjadi pengingat bagi Amara, bukan hanya tentang peristiwa-peristiwa berbahaya yang pernah ia lalui, tetapi juga tentang kekuatan yang ada dalam dirinya, kekuatan untuk bertahan dan terus berjalan, meski dunia di sekelilingnya sering kali terasa tak adil.
Di rumah neneknya, kehidupan yang ia jalani jauh dari kata aman. Pamannya yang kecanduan alkohol sering kali membuat onar. Ia juga dikenal sebagai pencuri, membuat keluarga mereka dipandang rendah oleh masyarakat sekitar. Ketika mabuk, paman Amara sering melampiaskan amarahnya pada siapa pun yang ada di dekatnya, dan sayangnya, Amara yang kecil sering kali menjadi korban utama. Setiap pukulan, setiap kekerasan yang diterimanya menjadi hal yang sangat mengerikan. Bahkan pernah suatu kali, Amara hampir kehilangan nyawanya jika tidak ditolong oleh tetangga yang mendengar suara tangisnya dari luar rumah.
Kehidupan yang penuh dengan kekerasan dan penghinaan ini membuat Amara tumbuh dengan rasa takut yang mendalam. Tidak hanya fisik, tetapi jiwanya juga terluka. Setiap kali dia dipukul atau dilecehkan, hatinya yang polos dan tak bersalah semakin hancur. Makan nasi berulat dan menerima perlakuan yang tidak pantas menjadi bagian dari rutinitas harian Amara. Dia tidak pernah merasakan kasih sayang yang tulus dari orang-orang di sekitarnya, hanya pukulan dan caci maki.
Pada tahun 2003, kehidupan Amara berubah lagi ketika dia mendengar kabar dari neneknya bahwa dia akan diadopsi. Kabar ini datang tiba-tiba, dan Amara yang masih kecil tidak benar-benar mengerti apa arti adopsi. Yang dia tahu hanyalah bahwa dia akan meninggalkan rumah yang penuh dengan penderitaan ini dan akan tinggal bersama orang tua baru. Di dalam hatinya, terselip harapan bahwa kehidupan yang lebih baik mungkin sedang menunggunya. Namun, saat itu, Amara tidak benar-benar paham apa yang sedang terjadi.
Ingatan Amara tentang proses adopsi itu samar-samar. Yang dia ingat hanyalah dia bertemu dengan dua orang yang memintanya untuk memanggil mereka dengan sebutan "ayah" dan "ibu." Amara dengan polos mengikuti perintah mereka, berharap bahwa orang-orang ini benar-benar akan menjadi keluarga barunya. Namun, harapan itu segera sirna ketika ternyata mereka hanya membawanya ke panti asuhan. Panti asuhan itu bernama Panti Asuhan Mujahidin. Bukan keluarga baru yang dia dapatkan, melainkan kehidupan baru di panti asuhan bersama banyak anak lain dengan berbagai peraturan yang harus diikuti.
Tinggal di panti asuhan tidak mudah bagi Amara, tapi setidaknya dia terbebas dari kekerasan yang selama ini menghantui hidupnya. Di sana, dia menjalani kehidupan yang cukup teratur, meskipun tidak ada kehangatan keluarga. Kehidupan di panti asuhan penuh dengan aturan. Setiap hari, anak-anak harus bangun pagi, membersihkan panti, belajar, dan pergi ke sekolah. Amara mencoba beradaptasi dengan rutinitas ini, meskipun di dalam hatinya, dia selalu merindukan sebuah keluarga yang bisa menyayanginya.
Setelah Amara pindah ke panti asuhan, hidupnya perlahan berubah. Di panti, Amara belajar untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Meskipun ia berusaha tampak tegar di depan anak-anak lain dan para pengasuh, dalam hatinya ia merasakan kesepian yang mendalam. Ia sering merindukan kehangatan keluarganya, terutama kedekatannya dengan ibunya yang dulu begitu ia sayangi. Setiap malam, saat anak-anak lain sudah terlelap, Amara merenung di pojok kamarnya, memikirkan nasib keluarganya yang berantakan. Hubungan dengan ibunya terasa semakin jauh, dan perasaan tidak dipedulikan mulai menghantui pikirannya.
Waktu berlalu, dan Amara terus bertanya-tanya mengapa ibunya tak kunjung mengunjunginya di panti. Selama di sana, ia berharap setiap kali pintu panti diketuk, itu adalah ibunya yang datang menjenguknya. Namun, hari-hari berlalu tanpa tanda-tanda kehadiran sang ibu. Bahkan, surat atau pesan pun tak pernah ia terima. Hingga suatu hari, tanpa diduga, kabar mengejutkan datang dari salah seorang tetangga lama yang kebetulan berkunjung ke daerah tempat panti tersebut berada.