Beberapa tahun telah berlalu sejak Amara pertama kali menginjakkan kaki di Panti Asuhan Mujahidin. Kini, dia telah menyelesaikan pendidikan tingkat dasarnya, usianya mendekati 12 tahun masa remaja awal yang membawanya ke tahap baru dalam hidupnya. Amara sudah bukan lagi anak kecil yang hanya menerima apa adanya. Kini, dia mulai memahami banyak hal tentang kehidupan, tentang bagaimana dunia di luar sana tak selalu penuh kebaikan, dan bagaimana terkadang nasib membawa seseorang pada jalan yang tak pernah diharapkan.
Setiap hari, usai kegiatan di panti, Amara akan duduk di tepi jendela yang menghadap ke jalan kecil yang menghubungkan panti asuhan dengan lingkungan sekitarnya. Dari tempat ini, dia bisa melihat anak-anak seusianya berlari dan bermain di bawah sinar matahari, tawa mereka terdengar ceria, meluncur bebas di udara, tanpa beban dan penuh kebahagiaan. Dia menyaksikan mereka digandeng oleh ibu-ibu mereka, diperhatikan dengan kasih sayang, atau didorong di ayunan oleh ayah-ayah mereka, dan hatinya perih menahan iri yang mendalam. Sering kali, ia bertanya pada dirinya sendiri, "Seperti apa rasanya memiliki keluarga yang utuh, yang bisa mendampingiku, mendukungku tanpa syarat?"
Pemandangan anak-anak lain bersama orang tua mereka selalu mengingatkannya pada perpisahan orang tuanya. Sejak hari itu, kehampaan besar menyelimuti hatinya, meninggalkan bekas luka yang tak kasat mata namun selalu terasa. Ia ingat dengan samar suara orang tuanya yang saling beradu argumen, bayangan mereka yang perlahan-lahan memudar, hingga akhirnya menghilang. Setelah itu, hidupnya adalah perpindahan tiada akhir, dari satu rumah ke rumah lain, dari satu keluarga angkat yang hanya peduli sesaat, ke panti asuhan yang menjadi pelarian terakhir. Setiap perpindahan menambah lapisan baru pada kesedihan di hatinya, seolah-olah hidupnya adalah serangkaian lembaran suram yang terpaksa ia baca berulang kali.
Di Panti Asuhan Mujahidin, Amara tumbuh dengan keheningan yang ia ciptakan sendiri. Teman-temannya sering kali melihatnya sebagai sosok pendiam, gadis kecil dengan tatapan mata yang jauh, seolah selalu berada di dunia lain. Para pengasuh panti, meskipun baik hati, tidak pernah benar-benar berhasil mendekati hatinya. Ada jarak tak kasat mata yang selalu ia pertahankan, sebuah dinding yang dibangunnya dengan susah payah untuk melindungi dirinya dari rasa sakit. Baginya, lebih baik seperti ini menyendiri dan mengamati dari kejauhan, daripada harus merasakan luka yang mungkin ditimbulkan jika ia membiarkan orang lain masuk ke dalam hidupnya.
Pada malam hari, ketika semua anak-anak telah tertidur dan keheningan menyelimuti seluruh panti, Amara sering kali terjaga di tempat tidurnya, memandangi langit-langit dengan tatapan kosong. Malam hari menjadi satu-satunya waktu di mana dia merasa sedikit bebas, di mana dia bisa melarikan diri dari kenyataan dalam mimpi-mimpinya. Di dalam mimpi, dia bisa membayangkan dirinya memiliki keluarga yang hangat, sebuah rumah yang nyaman, dan kehidupan yang jauh dari penderitaan. Dalam tidur, dia menemukan tempat perlindungan dari kenangan buruk yang selalu menghantui pikirannya saat dia terjaga.
Suatu hari, seorang pengasuh baru datang ke panti asuhan. Namanya Bu Rini, seorang wanita paruh baya dengan senyum lembut dan sorot mata penuh kasih. Berbeda dengan pengasuh-pengasuh lain, Bu Rini tampak tertarik untuk mengenal Amara lebih dekat. Dia sering mengajak Amara berbicara, menceritakan kisah-kisah masa kecilnya sendiri, dan tanpa paksaan, Bu Rini seakan menanamkan benih kepercayaan di hati Amara yang selama ini terkunci rapat. Awalnya, Amara hanya mendengarkan dengan tatapan curiga, namun seiring berjalannya waktu, dia mulai merasa nyaman berada di dekat Bu Rini.
Bu Rini menyadari bahwa Amara memiliki bakat terpendam. Suatu hari, ketika sedang membersihkan perpustakaan kecil di panti, Bu Rini menemukan Amara sedang membaca buku puisi yang usang. Ia mendekat dan dengan suara lembut, ia bertanya, “Kamu suka membaca, Amara?” Amara mengangguk pelan, matanya berbinar, walaupun hanya sekejap. Dia memang senang membaca, terutama buku-buku puisi yang jarang disentuh anak-anak lain. Dalam puisi, dia menemukan tempat berlindung lain, tempat di mana kata-kata bisa mengekspresikan perasaan yang sulit ia ungkapkan.
Melihat ketertarikan Amara, Bu Rini mulai sering membawa buku-buku dari rumahnya, memberikan bacaan baru bagi Amara yang tak pernah cukup kenyang dengan ilmu. Mereka sering duduk bersama di sudut perpustakaan, berdiskusi tentang berbagai hal, mulai dari cerita rakyat hingga pelajaran sekolah. Amara merasa bahwa kehadiran Bu Rini membawa warna baru dalam hidupnya. Ada kehangatan yang tulus dalam setiap kata dan perhatian yang diberikan oleh wanita itu. Untuk pertama kalinya, Amara merasakan bagaimana rasanya didengarkan tanpa dihakimi, dicintai tanpa syarat, dan dianggap penting oleh seseorang.
Namun, meskipun demikian, ada kalanya bayang-bayang masa lalu tetap menghantui. Amara masih sering bermimpi buruk tentang perpisahan orang tuanya, tentang keributan dan kata-kata kasar yang mereka ucapkan, serta tentang hari ketika ia akhirnya dibawa pergi ke panti asuhan. Dalam mimpi-mimpi itu, dia merasa seperti terperangkap dalam sebuah lingkaran gelap yang seakan tiada ujung. Ketika terbangun, Amara sering mendapati dirinya terisak, dengan hati yang terasa begitu berat. Dia masih menyimpan rasa bersalah yang tak ia pahami sepenuhnya seolah-olah segala yang terjadi adalah akibat dari keberadaannya.
Hidup di panti asuhan telah mengajarkan Amara satu hal penting: bahwa tidak ada luka yang tak bisa sembuh, selama dia terus berjalan maju. Di dalam hatinya, Amara menyimpan harapan kecil bahwa suatu hari nanti, dia akan menemukan tempat yang benar-benar bisa ia sebut rumah. Meskipun masa lalunya kelam, ia percaya bahwa masa depannya bisa lebih cerah. Setiap hari dia berusaha untuk tetap kuat, melangkah satu langkah lebih dekat menuju impian yang selama ini hanya ada dalam lamunannya di tepi jendela.
Saat Amara mencapai usia 12 tahun, ia merasa bahwa dunianya mulai berubah. Dunia di luar jendela yang selama ini hanya ia pandangi dari jauh, seolah mulai memanggilnya. Dia ingin merasakan kebebasan, ingin mengetahui seperti apa rasanya hidup di luar dinding panti yang membatasi langkahnya. Di dalam hatinya, ada tekad yang tumbuh perlahan, seperti api kecil yang menyala terang di tengah malam. Amara tahu, meski jalannya masih panjang dan penuh rintangan, dia akan menemukan caranya sendiri untuk keluar dari keterbatasan yang selama ini mengurungnya. Dalam diam, dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa suatu hari nanti, dia akan membuktikan bahwa meskipun kehidupannya sulit, dia bisa menjadi seseorang yang berarti.
Suatu malam, Amara bermimpi tentang sayap. Sayap yang besar dan kuat, yang tumbuh dari punggungnya, mengangkatnya dari tempat-tempat yang selama ini penuh dengan kekerasan dan derita. Dalam mimpinya, dia terbang tinggi melintasi awan, melihat ke bawah pada reruntuhan rumah-rumah yang telah lama ia tinggalkan. Dia melayang di atas pemandangan yang dipenuhi luka-luka dari masa lalunya, melampaui segala ketakutan dan rasa sakit. Di sana, di angkasa yang luas, dia merasakan kebebasan yang selama ini hanya menjadi khayalan udara yang sejuk, sinar matahari yang hangat, dan suara angin yang berdesir. Semua itu membuatnya merasa hidup.
Namun, seperti semua mimpi indah, pagi hari selalu datang terlalu cepat, membawa Amara kembali pada kenyataan pahit di sekitarnya. Dia terbangun dengan hati yang berat, seolah-olah sayap-sayap di mimpinya telah patah dan jatuh, meninggalkannya di dunia yang penuh kesendirian. Kendati demikian, mimpi itu memberinya harapan secercah harapan bahwa mungkin suatu hari nanti, dia akan benar-benar terbang, bukan hanya dalam mimpi, tetapi dalam hidupnya yang nyata. Di balik setiap tatapan kosongnya ke luar jendela, ada kerinduan yang besar untuk meraih kebebasan itu, dan Amara berjanji pada dirinya sendiri bahwa suatu hari, dia akan menemukan cara untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.