Di Panti Asuhan Anugrah, Amara perlahan mulai menerima keadaan yang dihadapinya. Trauma yang dulu begitu menghantui, kini sedikit demi sedikit berhasil diatasi. Sudah hampir lima tahun Amara tinggal di panti tersebut. Selama itu, ia mulai mampu membuka diri, bermain bersama teman-teman, dan merasakan kasih sayang yang tulus dari mereka. Walaupun sesekali terjadi kesalahpahaman atau konflik kecil, Amara sudah belajar untuk menanganinya dengan baik. Kebersamaan di panti membuatnya merasa diterima dan tidak lagi terasing, meski ada masa-masa sulit yang harus ia lalui.
Saat Amara naik ke kelas dua di sekolah menengah atas, tiba-tiba kakaknya datang lagi mengunjunginya. Kakak perempuannya, yang bernama Mery, sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak yang masih berusia tiga tahun. Kedatangan Mery memberi harapan baru bagi Amara, meskipun ada perasaan campur aduk yang meliputi hati gadis itu. Mery membawa kabar yang mengejutkan, menawarkan Amara untuk tinggal bersama keluarga suaminya. Kakaknya meyakinkan Amara bahwa kerabat suaminya bersedia membiayai pendidikan Amara hingga ke jenjang perguruan tinggi.
Meskipun begitu, dalam hatinya Amara masih ragu. Ia belum sepenuhnya yakin apakah tawaran itu adalah pilihan terbaik untuknya. Namun, situasi tak memberikan banyak ruang bagi keraguannya. Seminggu setelah kedatangan Mery, tiba-tiba Amara sudah dibuatkan surat pindah sekolah tanpa persetujuannya. Tanpa ada pilihan lain, mau tidak mau Amara harus mengikuti ajakan kakaknya, meskipun hatinya masih penuh dengan tanda tanya.
Akhirnya, hari yang berat itu tiba. Amara harus meninggalkan Panti Asuhan Anugrah, tempat di mana ia telah menghabiskan bertahun-tahun hidupnya, juga harus meninggalkan sekolahnya. Tidak hanya itu, ia bahkan harus pindah dari satu kabupaten ke kabupaten lain. Hari itu, di benak Amara, tercatat sebagai hari penuh kesedihan. Ia harus berpisah dengan teman-teman yang sudah menjadi seperti keluarganya di panti, juga teman-teman sekolah yang telah menemani perjalanannya meraih prestasi. Padahal, Amara adalah salah satu murid berprestasi di sekolah lamanya, sebuah kenyataan yang membuat perpisahan ini semakin sulit diterima.
Perjalanan pindah ini ditemani oleh kakak iparnya, Jerry, yang merupakan suami kakaknya, Mery. Mereka berangkat menuju rumah kerabat suaminya, di mana Amara akan tinggal sementara. Sesampainya di sana, Amara diperkenalkan kepada seorang wanita paruh baya yang dipanggil Tante Eni. Wanita itu tampak ramah dengan senyuman yang hangat, memberikan kesan bahwa ia akan memperlakukan Amara dengan baik. Tante Eni, yang usianya sekitar lima puluh tahun ke atas, menyambut Amara dengan sikap yang lembut dan penuh perhatian.
Di tengah percakapan, Tante Eni memberitahu Amara bahwa ia akan melanjutkan sekolah di sekolah swasta yang bernama Sekolah Pelita Menyala. Amara merasa gugup, tetapi juga bersemangat dengan gagasan bersekolah di tempat baru. Namun, ia menyadari bahwa adaptasi ini tidak akan mudah. Ia harus menyesuaikan diri dengan teman-teman baru, dengan lingkungan baru, dan juga dengan sistem pembelajaran yang tentu saja berbeda dari sekolah lamanya.
Pada awalnya, kehidupan Amara di rumah Tante Eni berjalan cukup baik. Tante Eni mengajarinya cara mengurus sapi-sapi yang dimiliki keluarga itu. Dia menunjukkan bagaimana memberi makan sapi dan mengatur waktu kerja dengan baik. Jam kerja Amara masih terbilang wajar, sehingga ia tetap memiliki cukup waktu untuk belajar dan berangkat ke sekolah tepat waktu. Segalanya terasa normal dan teratur, seolah-olah masa depan yang lebih baik sedang menantinya.
Namun, itu hanya berlangsung di awal. Seiring berjalannya waktu, sikap Tante Eni mulai berubah. Perlahan-lahan, beban kerja yang diberikan kepada Amara semakin bertambah. Amara mulai merasa bahwa dia diperlakukan tidak sebaik yang dia kira pada awalnya. Tugas-tugas yang awalnya sederhana, seperti memberi makan sapi, mulai berkembang menjadi lebih berat dan memakan banyak waktu. Semakin hari, waktu belajar Amara semakin terkikis, dan ia mulai merasa tertekan. Tante Eni tidak lagi bersikap sehangat di awal, dan tuntutan yang diberikan terasa semakin memberatkan.
Ini adalah awal dari penderitaan baru bagi Amara, meskipun tema penderitaannya kali ini berbeda. Kehidupan di rumah baru ini mulai terasa penuh tekanan, dan Amara merasa seperti terjebak di dalamnya.
Amara sering kali tidak mendapatkan makanan yang layak di rumah. Tidak ada yang peduli untuk membelikannya buku sekolah, dan untuk mencatat pelajaran, ia harus mengandalkan belas kasihan teman-temannya, meminjam selembar dua lembar kertas dari merekaHari-hari Amara diisi dengan pekerjaan berat yang tampaknya tak berkesudahan. Tante Eni kini memiliki semakin banyak sapi, dan tanggung jawab untuk merawat mereka sepenuhnya jatuh pada Amara. Setiap pagi, bahkan sebelum fajar menyingsing, tepat pukul dua pagi, Amara harus berangkat untuk mencari umpan sapi. Makanan sapi yang diperlukan sangat banyak, setiap harinya Amara harus membawa setidaknya empat karung besar umpan agar cukup untuk sapi-sapi tersebut. Ia mengendarai motor tua dengan medan yang sulit. Tidak jarang, Amara terjatuh dan mengalami luka-luka fisik, baik karena kecelakaan kecil saat mengendarai motor maupun saat mencari rumput untuk sapi.
Namun, ia tidak punya pilihan. Jika ia terlambat menyelesaikan pekerjaannya, ia tidak akan sempat pergi ke sekolah tepat waktu. Setelah selesai mencari umpan sapi, Amara harus mengerjakan pekerjaan rumah seperti mengepel dan mencuci. Rutinitas itu benar-benar melelahkan, hingga ia merasa tulang-tulangnya mulai remuk setiap harinya. Rasa lelah yang tak tertahankan ini mulai mempengaruhi prestasinya di sekolah; nilai-nilainya yang dulu baik, kini terus merosot.
Lambat laun, tubuh Amara mulai menunjukkan dampak dari beban berat yang tak seharusnya ia tanggung. Tubuhnya semakin kurus, kulitnya penuh luka, dan pakaiannya selalu kotor. Dahulu, Amara adalah gadis yang dikenal bersih dan rapi. Orang-orang di sekitarnya selalu memuji betapa terawatnya penampilan Amara. Namun kini, penampilannya semakin jauh dari elok. Di usianya yang baru menginjak 16 tahun, seharusnya ia berada di masa pertumbuhan yang sehat, tetapi beban fisik yang ditanggung setiap hari membuat tubuhnya kian lemah. Tubuhnya yang dulu segar kini tampak ringkih, seolah semangat yang ada di dalamnya perlahan-lahan terkikis. Kelelahan tidak hanya menghancurkan fisiknya, tetapi juga mencuri harapannya.
Suatu hari, saat Amara dalam perjalanan untuk merumput, sebuah kejadian membuatnya semakin tersadar betapa rapuhnya dirinya. Ia sedang berjalan di sepanjang jalan yang sunyi ketika tiba-tiba sebuah motor melaju cepat dan menabraknya. Pengendaranya adalah seorang pria berbadan besar, dengan wajah yang tidak menunjukkan belas kasihan sedikitpun. Alih-alih menolong, pria itu hanya melotot sebentar pada Amara, lalu pergi meninggalkannya begitu saja. Amara jatuh tergeletak di tanah, dengan kakinya masih terjepit di bawah ban motor. Ia berusaha sekuat tenaga untuk berdiri dan mengangkat motornya sendiri, meski rasa sakit di kakinya begitu terasa.
Dengan susah payah, Amara meraih ponselnya sebuah Nokia tua yang masih setia menemaninya. Layar ponsel menunjukkan pukul dua dini hari. Amara mencoba mencari pertolongan, namun tidak ada satu pun yang bisa dihubungi. Sambil duduk di tepi jalan, kakinya masih terasa sakit, dan hatinya penuh ketakutan. Ia mengira pria itu telah benar-benar pergi, tetapi tiba-tiba terdengar suara motor lain dari kejauhan. Amara tertegun melihat pria tadi kembali dengan membawa beberapa orang. Mereka tampak seperti rombongan yang tidak berniat baik. Hatinya berdegup kencang, dan dalam batinnya, Amara berdoa dengan sungguh-sungguh. "Tuhan, biarlah mereka tidak melihatku," bisiknya penuh harap.
Anehnya, rombongan itu seperti tidak menyadari keberadaan Amara. Mereka berkeliling, tampak mencari sesuatu, tetapi tak satu pun dari mereka menoleh ke arahnya. Bahkan ketika mereka berjalan sangat dekat, tak seorang pun bertatapan mata dengan Amara. Ia hanya bisa duduk terdiam, menahan napas, bersembunyi di balik motor yang terjatuh. Lima belas menit berlalu, namun bagi Amara, rasanya seperti seumur hidup. Hingga akhirnya, rombongan itu pergi, meninggalkan jalanan yang kembali sunyi.