''Bangkit Dari Reruntuhan : Kisah Amara"(based on true story)

Julpiyana
Chapter #6

Mengenal Percintaan Dan Perpisahan

Hubungan Amara dengan Mark dimulai ketika mereka duduk di bangku sekolah menengah atas, dan kisah cinta mereka terasa seperti sebuah dongeng yang sempurna, meskipun tidak ada yang benar-benar sempurna di dunia nyata. Pertemuan pertama mereka terjadi di sebuah momen yang biasa namun istimewa di mata Amara. Saat itu, Amara masih tinggal di panti asuhan Anugrah, sebuah tempat yang penuh dengan kehidupan sederhana namun hangat, di mana anak-anak yatim piatu atau terlantar dirawat dengan kasih sayang oleh para pengurus panti. Meskipun panti asuhan ini sederhana dan jauh dari gemerlap kehidupan kota besar, bagi Amara, panti tersebut adalah tempat di mana ia menemukan ketenangan dan rasa kebersamaan dengan teman-teman sebayanya. Namun di balik semua kehangatan itu, ada kekosongan yang selalu mengintai di hatinya, perasaan kehilangan yang dalam karena jauh dari orang tua dan keluarga kandung.

Amara sering merenung tentang hidupnya di panti asuhan. Kehidupan yang ia jalani mungkin terlihat sulit bagi orang luar, namun bagi Amara, itu adalah sebuah perjalanan yang membentuk karakternya. Setiap hari adalah pelajaran tentang kesabaran, ketabahan, dan pengertian. Ia belajar untuk mandiri di usia yang sangat muda, melakukan banyak hal sendiri tanpa mengandalkan orang tua seperti kebanyakan anak lainnya. Meski demikian, Amara tetap merasa bersyukur. Di antara anak-anak panti lainnya, ia dikenal sebagai sosok yang ceria, pintar, dan mudah bergaul. Namun, tidak ada yang tahu bahwa di balik senyumnya yang selalu menghiasi wajahnya, ada luka di hatinya yang belum sembuh sepenuhnya.

Ketika Amara pertama kali bertemu dengan Mark, ia tidak menyangka bahwa pertemuan itu akan mengubah hidupnya. Mereka bertemu di sekolah, sebuah institusi yang menjadi penghubung bagi anak-anak panti dengan dunia luar. Mark bukanlah seseorang yang Amara kenal sebelumnya, namun pertemuan mereka seakan-akan sudah ditakdirkan. Saat itu, Amara sedang berada di perpustakaan sekolah, salah satu tempat favoritnya untuk melarikan diri sejenak dari hiruk-pikuk kehidupan di panti. Ia duduk di sudut ruangan, tenggelam dalam buku-buku yang penuh dengan cerita tentang dunia yang jauh berbeda dari dunia kecilnya. Tiba-tiba, Mark datang menghampirinya, meminta izin untuk duduk di sebelahnya. Momen itu mungkin tampak sepele bagi banyak orang, namun bagi Amara, itu adalah awal dari sesuatu yang besar.

Mark, seorang siswa yang cukup menonjol dan memiliki pesona tersendiri, perlahan-lahan menarik perhatian Amara. Ia tidak memiliki wajah tampan yang mencolok seperti kebanyakan anak-anak populer di sekolah, namun ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Amara merasa nyaman. Mark memiliki suara yang lembut namun tegas, serta senyuman yang selalu tampak tulus. Ia juga memiliki bakat luar biasa dalam musik, terutama dalam bernyanyi dan bermain alat musik. Amara sering terpesona melihatnya bermain gitar atau piano di acara sekolah, meskipun Mark tidak pernah mencari perhatian. Mark adalah tipe orang yang lebih suka menyendiri dan menjalani hidupnya dengan tenang, namun justru itulah yang membuat Amara semakin tertarik padanya.

Pertemuan demi pertemuan terjadi secara alami. Mereka sering kali berbincang setelah jam sekolah, berbagi cerita tentang kehidupan masing-masing. Amara menceritakan kehidupannya di panti asuhan, tentang kesulitan yang ia hadapi, dan bagaimana ia merindukan keluarganya yang jauh. Mark mendengarkan dengan penuh perhatian, tak pernah sekalipun menyela atau menghakimi. Ia adalah pendengar yang baik, seseorang yang Amara bisa ajak bicara tanpa merasa dihakimi. Dalam percakapan mereka, Amara menemukan bahwa Mark juga memiliki cerita hidup yang penuh dengan perjuangan. Ia bukan berasal dari keluarga kaya, dan keluarganya harus bekerja keras untuk bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Keterbukaan dan kejujuran mereka satu sama lainlah yang membuat hubungan mereka semakin dekat.

Seiring waktu berlalu, perasaan di antara mereka tumbuh perlahan namun pasti. Mark mulai menunjukkan perhatian lebih pada Amara, mengirimkan pesan-pesan singkat yang manis, dan selalu mencari waktu untuk bisa bertemu dengannya meskipun hanya sebentar. Amara, yang selama ini hidup dalam kesendirian emosional, merasa bahwa kehadiran Mark adalah seperti cahaya yang menyinari hidupnya yang sepi. Ia mulai merasakan perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Cinta yang murni dan sederhana, tanpa tuntutan atau ekspektasi berlebihan. Bagi Amara, hubungan mereka terasa seperti sebuah dongeng, meskipun ia tahu bahwa kehidupan tidak selalu seindah dongeng.

Di antara kesibukan sekolah dan kehidupannya di panti asuhan, Amara dan Mark selalu menemukan cara untuk tetap terhubung. Mereka sering kali menghabiskan waktu bersama di perpustakaan atau di taman sekolah, berbicara tentang impian dan harapan mereka di masa depan. Mark sering kali bermain gitar untuk Amara, menyanyikan lagu-lagu yang penuh makna, seolah-olah setiap lirik yang dinyanyikan adalah kata-kata yang ia tujukan langsung untuk Amara. Bagi Amara, momen-momen itu adalah saat-saat yang paling ia nantikan setiap harinya. Di sisi Mark, ia merasa damai, merasa dicintai, dan merasa bahwa kehidupannya tidak lagi kosong.

Namun, takdir berkata lain ketika Amara harus pindah sekolah dan tinggal terpisah dari panti asuhan. Ini bukan keputusan yang mudah baginya, tetapi demi masa depannya, Amara harus meninggalkan tempat yang telah menjadi rumah sementara baginya. Kepindahannya membawa jarak yang memisahkan mereka, namun hubungan mereka tetap bertahan. Mereka mulai menjalani apa yang sering disebut sebagai long distance relationship (LDR), sebuah hubungan jarak jauh yang tidak mudah, namun Amara yakin bahwa cinta mereka cukup kuat untuk menahan semua cobaan.

Malam-malam mereka diisi dengan telepon panjang sebelum tidur. Mark selalu menanyakan bagaimana hari-hari Amara, dan Amara, meski berada jauh di tempat baru, merasa tenang karena mendengar suara Mark. Mereka juga sering berdoa bersama, meminta restu Tuhan agar hubungan mereka tetap kuat meski jarak memisahkan. Bagi Amara, momen-momen sederhana itu adalah sumber kebahagiaannya. Ia merasa bahwa hubungan mereka adalah salah satu hal paling berharga dalam hidupnya.

Lihat selengkapnya