Setelah lebih dari tiga tahun hidup tenang di kampung, menemani ayahnya yang semakin menua, Amara mulai merasa hatinya bergejolak, seolah ada sesuatu yang belum terselesaikan dalam hidupnya. Di tengah kesederhanaan yang selama ini ia nikmati pergi ke hutan bersama ayahnya, mengajar anak-anak di sekolah desa, dan menikmati udara segar pedesaan Amara tak bisa menampik keraguan yang kian hari makin mengusik pikirannya. Ia sering memandangi sungai yang mengalir di dekat rumah, bertanya-tanya ke mana aliran itu akan membawanya jika ia memilih untuk tidak berdiam di tempat yang sama.
Pikiran-pikiran tentang masa depan kerap menghantuinya saat malam tiba. Ia menyadari bahwa meskipun ia mencintai kehidupannya di desa, ada mimpi-mimpi yang belum sempat ia wujudkan. Ia ingin melanjutkan pendidikan, mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, dan memiliki kesempatan untuk benar-benar mengubah hidupnya. Tetapi, bagaimana caranya jika ia hanya mengandalkan gaji kecil sebagai guru honorer, yang sering kali datang terlambat dan tidak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari?
Suatu sore, telepon dari Jakarta mengubah segalanya. Gurunya, yang dulu pernah mengajarnya, menelepon dengan suara penuh kehangatan. "Amara, ada pekerjaan yang lebih baik untukmu di Jakarta. Gajinya lebih layak, dan ada prospek jangka panjang di sana. Kalau kamu mau, saya bisa bantu dengan biaya tiket pesawat. Ini kesempatan besar untukmu."
Mendengar tawaran itu, Amara merasa hatinya tersentak. Sebuah kesempatan untuk merantau, bekerja di kota besar, dan mungkin bisa mengumpulkan uang untuk kuliah seperti yang selalu ia impikan. Namun, di balik itu semua, ada perasaan takut yang tak bisa ia abaikan. Bagaimana mungkin ia meninggalkan ayahnya yang sudah tua, terutama setelah semua yang mereka lewati bersama? Bagaimana mungkin ia meninggalkan tempat yang selama ini ia sebut sebagai rumah, dengan segala ketenangan dan kedamaian yang telah mereka ciptakan?
Selama beberapa hari setelah telepon itu, Amara tak henti-hentinya merenung. Setiap malam, sebelum tidur, ia berdoa meminta petunjuk. Ia tahu bahwa ini adalah keputusan besar yang akan mengubah hidupnya selamanya. Namun, ia tak bisa mengabaikan kenyataan bahwa kehidupannya di desa sangat terbatas, baik secara ekonomi maupun dalam hal pengembangan diri. Ia merasa seolah-olah potensi dirinya terkubur di bawah rutinitas harian yang tak pernah berubah.
Akhirnya, dengan tekad yang terkumpul dari hari-hari panjang penuh perenungan, Amara memberanikan diri untuk berbicara dengan ayahnya. Suatu malam, ketika mereka selesai makan malam dan duduk di teras rumah yang menghadap ke kebun, Amara menghela napas panjang. "Yah," katanya perlahan, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. "Amara ingin bicara soal masa depan. Bagaimana kalau Amara pergi merantau ke Jakarta?"
Ayahnya menoleh perlahan, menatap Amara dengan mata yang tampak letih namun penuh kasih. "Kenapa, Nak?" tanyanya lembut, meski Amara bisa melihat bahwa ayahnya sudah tahu ke mana arah pembicaraan ini.
"Amara mendapat tawaran pekerjaan di sana, yang lebih baik. Amara bisa mengumpulkan uang untuk kuliah, Yah. Amara ingin berkembang, dan rasanya di sini, Amara hanya jalan di tempat."
Hening sejenak. Hanya suara jangkrik malam yang menemani percakapan mereka. Ayahnya menundukkan kepala, merenung dalam diam sebelum akhirnya berkata, "Ayah sudah menduga ini akan terjadi suatu hari nanti." Suaranya pelan, penuh dengan perasaan yang tertahan. "Kamu anak yang cerdas, Amara. Ayah selalu tahu bahwa potensi besar ada dalam dirimu, dan kamu butuh tempat yang lebih luas untuk mengembangkannya."
Amara menatap ayahnya, air mata menggenang di sudut matanya. "Tapi, Yah, bagaimana dengan Ayah? Amara tidak ingin meninggalkan Ayah sendirian."