Seiring dengan bertambahnya tugas-tugas kuliah yang menumpuk, dan mendesak untuk segera diselesaikan demi menjaga ritme studinya yang konsisten, Amara mulai merasakan ketidaknyamanan yang semakin mengusik dalam dirinya terkait keberadaannya di rumah Bu Ati. Meskipun ketidaknyamanan ini sama sekali bukan disebabkan oleh kurangnya perhatian atau kebaikan hati dari Bu Ati seorang wanita yang selama ini telah begitu murah hati dalam menerima dan memperlakukan Amara dengan penuh kasih sayang serta kesediaan memberikan tempat tinggal dan dukungan moral tanpa pamrih tetapi lebih karena Amara merasa bahwa waktu yang ia miliki untuk memenuhi tugas-tugas kuliahnya yang semakin kompleks dan menuntut perhatian penuh semakin terbatas. Hal ini membuatnya tidak lagi mampu membantu pekerjaan rumah tangga seperti yang biasa ia lakukan sebelumnya. Kebutuhan akademiknya kini menjadi sangat banyak dan membutuhkan dedikasi yang besar, sehingga Amara kerap kali dihantui perasaan bersalah yang mendalam karena merasa tidak bisa lagi memenuhi ekspektasi Bu Ati, yang selama ini begitu baik hati menampungnya tanpa syarat.
Amara, yang senantiasa menjunjung tinggi kejujuran, memiliki integritas yang kokoh, dan juga rasa hormat yang mendalam terhadap orang-orang di sekitarnya, mulai merenungkan langkah yang sebaiknya ia ambil untuk mengatasi kebimbangan ini tanpa mengabaikan tanggung jawabnya kepada Bu Ati. Setelah berpikir matang-matang, dan mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang mungkin terjadi, ia akhirnya memberanikan diri untuk berbicara langsung dengan Bu Ati mengenai kegundahan yang telah lama menghantuinya ini. Dengan penuh kehati-hatian, rasa hormat yang tak tergoyahkan, serta kesungguhan yang tulus, Amara mengutarakan niatnya untuk mencari pekerjaan freelance atau pekerjaan lain yang tidak menuntutnya untuk bekerja pada hari Sabtu hari yang sangat ia butuhkan untuk menghadiri perkuliahan tatap muka, sebuah keharusan yang menjadi bagian integral dari proses pendidikannya dan sangat penting bagi masa depannya. Amara berharap, dengan langkah yang dipikirkan secara cermat ini, ia tidak hanya bisa tetap fokus pada kewajiban kuliahnya tetapi juga tetap menjaga hubungan baik dan tidak mengecewakan Bu Ati yang selama ini telah dengan penuh keikhlasan memberikan tempat tinggal serta dukungan yang begitu berarti bagi kehidupannya.
Percakapan yang terjadi antara Amara dan Bu Ati kemudian berlangsung dengan penuh emosi dan kehangatan, di mana Bu Ati, meskipun mendengarkan keputusan Amara dengan seksama, tidak langsung menyetujuinya. Dengan nada lembut namun sarat dengan ketegasan dan kekhawatiran yang tulus, Bu Ati mencoba mengajak Amara untuk kembali mempertimbangkan keputusannya. "Amara," ucap Bu Ati dengan penuh perhatian, "apakah kamu benar-benar yakin? Ibu khawatir jika kamu memutuskan untuk keluar dari sini, kamu akan mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan yang stabil, dan hal itu bisa sangat mempengaruhi kuliahmu. Ingatlah, jika kamu tidak memiliki pekerjaan yang dapat mendukungmu secara finansial, dari mana kamu akan mendapatkan uang untuk biaya kuliahmu? Ibu hanya ingin memastikan bahwa kamu tidak mengambil langkah yang akan menyulitkan dirimu sendiri," tutur Bu Ati, menunjukkan kekhawatirannya yang tulus demi masa depan Amara.
Kata-kata Bu Ati terus berputar dalam pikiran Amara. Meskipun Amara keras kepala dalam hal keputusan hidupnya, ia tetap menghargai nasihat yang bijaksana dari orang-orang di sekitarnya, terutama dari seseorang yang begitu berjasa seperti Bu Ati. "Baik, Bu, saya akan pikirkan semuanya matang-matang," jawab Amara dengan suara lembut, namun tekadnya tetap tak tergoyahkan.
Beberapa hari kemudian, setelah merenung panjang, Amara merasa mantap dengan keputusannya. Dia tahu bahwa jalan yang akan dia tempuh tidak mudah, tetapi ini adalah langkah yang harus diambil demi masa depan yang lebih baik. Dengan penuh rasa hormat, Amara menyampaikan keputusan akhirnya kepada Bu Ati. Tentu saja, Bu Ati sedih, namun ia tak bisa berbuat banyak untuk mengubah pikiran Amara, terutama karena ia sudah mengenal sifat keras kepala Amara yang sulit untuk digoyahkan.
Hari perpisahan pun tiba. Dengan hati yang berat, Amara harus mengucapkan selamat tinggal kepada Bu Ati, wanita yang telah membantu dan mendukungnya seperti seorang keluarga. "Terima kasih, Bu. Terima kasih untuk semuanya. Saya tidak tahu bagaimana saya bisa membalas semua kebaikan Ibu," kata Amara dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu bahwa tanpa bantuan Bu Ati, ia mungkin tidak akan bisa melanjutkan kuliah sejauh ini.Bu Ati meraih tangan Amara ,ini ada uang dan Bu Ati menyebutkan jumlah nya yang terdengar cukup banyak buat Amara.Dengan mata berkaca-kaca, Amara menggenggam uang yang diberikan Bu Ati, merasakan hangatnya kasih yang terpancar dari setiap lembar uang itu. Uang tersebut bukan hanya simbol dari dukungan finansial, tetapi juga bukti nyata dari ketulusan hati seseorang yang tak memiliki ikatan darah dengannya. Amara menunduk, menyembunyikan senyum getirnya, merasakan betapa berartinya setiap kata dan nasihat yang diberikan oleh Bu Ati di detik-detik perpisahan ini.
Bu Ati, dengan nada suara lembut yang selalu menenangkan, berbicara dengan penuh kelembutan, “Amara, hidup ini tidak selalu mudah. Akan ada masa-masa sulit yang menantimu di luar sana. Namun, jangan pernah ragu pada dirimu sendiri. Kamu adalah gadis yang kuat, dan penuh tekad. Jangan biarkan apapun menghalangimu untuk mencapai impianmu. Dan ingatlah, apapun yang terjadi, kamu selalu bisa pulang ke sini. Kata-kata tersebut mengalir ke hati Amara, menembus relung terdalam jiwanya, seolah menjadi suara yang akan selalu bergema di benaknya di masa-masa mendatang. Ia menatap Bu Ati dengan penuh haru, menghargai momen ini sebagai tanda kasih terakhir yang akan selalu ia kenang. Perasaan terima kasih membanjiri hatinya, membentuk satu kenangan indah yang akan ia simpan dalam sanubarinya selamanya.