Mendapatkan pekerjaan di Jakarta bukanlah sesuatu yang mudah, terutama bagi pendatang seperti Amara yang harus menghadapi persaingan ketat dengan penduduk asli, yang banyak di antaranya juga tengah berjuang mencari pekerjaan. Kota metropolitan ini, yang dari luar tampak gemerlap dan penuh peluang, ternyata menyimpan kenyataan yang jauh lebih keras dan tak terduga. Di balik gedung-gedung pencakar langit dan jalan-jalan yang sibuk, tersembunyi kehidupan yang penuh perjuangan, di mana ribuan orang berusaha untuk bertahan hidup, bekerja keras, namun sering kali tetap terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang tampaknya sulit dihindari. Persaingan kerja tak hanya ketat, tetapi juga tanpa henti, di mana setiap kesempatan diperebutkan oleh banyak orang dengan kualifikasi yang sering kali lebih tinggi dan pengalaman yang lebih panjang. Amara, sebagai seorang pendatang yang baru saja tiba dengan mimpi untuk membangun masa depan yang lebih baik, segera menyadari bahwa realitas di kota besar ini jauh berbeda dari apa yang ia bayangkan sebelumnya.
Maka, ketika Amara akhirnya mendapatkan tawaran pekerjaan pertamanya, ia merasa seolah-olah diberi secercah harapan di tengah tekanan yang menghimpitnya setiap hari. Pekerjaan itu adalah sebagai sales bahan kain, sebuah posisi yang tidak pernah ia bayangkan akan ia tempuh. Jauh dari cita-cita masa kecilnya atau harapan yang ia tanamkan selama ini, namun Amara tetap menerimanya dengan hati yang terbuka, penuh rasa syukur, meskipun di balik rasa syukurnya itu terselip kekhawatiran yang tak bisa ia abaikan. Bagaimana tidak? Gaji yang ditawarkan sangat kecil, bahkan hanya cukup untuk membayar uang kos, tanpa sisa yang berarti untuk memenuhi kebutuhan lainnya. Setiap hari, ia harus memikirkan dengan hati-hati bagaimana mengelola uang yang begitu terbatas, agar cukup untuk makan dan biaya transportasi pulang pergi.
Setiap pagi, Amara harus bangun lebih awal dari matahari, mempersiapkan diri dengan semangat yang terpaksa ia bangkitkan meski lelah kerap menghantuinya. Dengan langkah cepat, ia berjalan menuju halte atau stasiun, berharap bisa sampai di tempat kerjanya tepat waktu, meskipun perjalanan di tengah keramaian Jakarta yang padat sering kali memakan waktu berjam-jam. Di sepanjang jalan, ia selalu dihantui oleh kekhawatiran, apakah uang yang ia miliki cukup untuk bertahan hingga akhir bulan. Tidak ada ruang bagi kenyamanan atau kemewahan, apalagi hiburan. Semua terasa begitu ketat dan terbatas, hidup dari hari ke hari hanya berusaha untuk bertahan. Setiap keputusan kecil apakah harus mengeluarkan uang untuk makan siang atau memilih berjalan kaki agar menghemat ongkos menjadi bagian dari keseharian yang berat. Di balik senyum yang ia paksakan, tersimpan beban yang begitu berat, namun ia terus berusaha, berharap suatu hari nanti, kerja keras dan pengorbanannya akan membuahkan hasil yang lebih baik.
Amara mencoba menyesuaikan diri dengan ritme pekerjaannya, mengunjungi toko-toko di pasar, membawa sampel-sampel kain yang beratnya sering kali membuat tangannya lelah. Dengan ramah, ia menawarkan produk-produk tersebut, berharap bisa menarik minat pembeli, namun sering kali hasil yang ia dapat tidak sebanding dengan usaha yang ia lakukan. Komisi yang dijanjikan terasa begitu kecil, seakan tidak mencerminkan kerja keras yang ia curahkan. Ketika pulang, tubuhnya terasa letih, namun pikirannya terus berputar, memikirkan bagaimana nasibnya ke depan. Meskipun pekerjaan itu jauh dari ideal, ia tetap bersyukur karena setidaknya ia memiliki sumber pendapatan, meski kecil, di tengah banyaknya orang yang masih mencari pekerjaan tanpa hasil.Akan tetapi meskipun Amara bekerja dengan gigih, hasilnya sering kali mengecewakan. Setiap kali ia berhasil menjual kain, komisi yang diterimanya sangat kecil. Rasanya tidak sebanding dengan waktu, tenaga, dan biaya yang ia keluarkan untuk berkeliling dari pagi hingga sore. Tak jarang, uang yang ia dapatkan hanya cukup untuk menutupi ongkos transportasinya hari itu.
Amara mulai merasa frustasi. Setiap hari, ia berjuang di tengah panasnya jalanan Jakarta, mengorbankan waktu dan tenaga, namun hasilnya tetap tidak bisa mencukupi kebutuhan dasarnya. "Untuk apa bekerja keras jika hasilnya hanya membuatku semakin terpuruk?" gumamnya dalam hati. Semakin hari, beban itu semakin terasa berat, dan Amara mulai memikirkan langkah selanjutnya. Setiap kali ia menghitung penghasilannya, perasaan kecewa dan tidak berdaya semakin merayap di benaknya. Gaji yang ia terima bukan hanya kecil, tapi hampir tak cukup untuk hidup. Apalagi jika ia ingin melanjutkan kuliah sebuah impian yang semakin terasa jauh.
Akhirnya, Amara sampai pada kesimpulan bahwa pekerjaan ini tidak bisa terus dijalani. Ia merasa seperti berlari di tempat, tidak ada kemajuan yang berarti, hanya kelelahan tanpa hasil. Setiap hari yang ia jalani terasa seperti pengorbanan yang sia-sia, dan Amara tahu ia tidak bisa membiarkan ini terus berlanjut. Setelah merenung panjang, ia memutuskan untuk mengundurkan diri.
"Lebih baik berhenti sekarang daripada terus terjebak dalam situasi yang hanya akan semakin menyulitkanku," pikir Amara. Keputusan ini tentu tidak diambil dengan mudah, tapi ia merasa itu adalah pilihan terbaik. Meski tidak ada jaminan bahwa ia akan segera mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, Amara yakin bahwa tetap bertahan di pekerjaan ini hanya akan membuatnya semakin jauh dari tujuannya.
Meninggalkan pekerjaan ini seperti menanggalkan beban yang selama ini menghimpitnya, meskipun masa depan tetap penuh dengan ketidakpastian. Namun, Amara percaya bahwa ia akan menemukan jalannya-jalan yang akan membawanya lebih dekat pada impiannya, meskipun untuk sementara harus melewati jalan yang lebih sulit.
Setelah memutuskan untuk berhenti bekerja sebagai sales, Amara merasa dirinya harus melakukan sesuatu agar tetap bisa bertahan di Jakarta. Tidak ingin berlama-lama terjebak dalam kebingungan, ia memutuskan mencoba peruntungan di dunia bisnis. Dengan uang tabungan yang tersisa, Amara mulai berjualan tas dan pakaian, berharap ini bisa menjadi jalan keluar dari kesulitan finansialnya. Namun, kenyataan berbicara lain. Bisnisnya tidak berjalan seperti yang diharapkan. Tas-tas dan pakaian yang ia jual tidak terjual dengan baik. Bahkan, modal yang ia keluarkan tak kunjung kembali.