''Bangkit Dari Reruntuhan : Kisah Amara"(based on true story)

Julpiyana
Chapter #11

Di Teror

Saat berbaring dengan tubuh terasa berat, Amara merasakan matanya perlahan-lahan terpejam, hampir tenggelam dalam tidur yang begitu didambakannya setelah hari-hari panjang penuh kelelahan dan tekanan. Ruangan di sekitarnya terbungkus dalam keheningan, hanya ditemani oleh deru napasnya yang pelan. Di antara kepenatan dan kesedihan yang menghantui pikirannya, tidur tampak seperti satu-satunya pelarian yang tersisa, meskipun begitu singkat dan rapuh.

Namun, di saat yang hampir menyentuh batas antara sadar dan lelap, ponselnya tiba-tiba berdering. Suara itu memecah keheningan seperti retakan yang menyakitkan di tengah kedamaian yang baru saja ia rasakan. Deringnya begitu nyaring, menusuk telinganya, mengusir sisa-sisa ketenangan yang berhasil ia dapatkan. Amara mendesah pelan, mencoba mengabaikan suara itu, berharap bahwa jika ia diam cukup lama, dering itu akan berhenti dengan sendirinya. Tapi harapannya tidak terkabul.

Deringan yang terus berlanjut memaksa Amara membuka matanya. Seolah tak ada ruang untuk melarikan diri dari kenyataan, ponselnya bergetar berulang kali di meja kecil di samping tempat tidur. Dengan berat hati, dan perasaan enggan yang mendalam, Amara akhirnya meraih ponsel yang tergeletak di sebelahnya. Ia melihat layar yang bersinar dalam gelap, namun tidak ada nama yang familiar terpampang. Sebuah nomor tak dikenal. Sesaat ia ragu, namun rasa penasarannya mengalahkan kewaspadaannya.

Dengan jari yang terasa kaku, Amara akhirnya menggeser layar untuk menjawab panggilan itu. Begitu panggilan terhubung, suara dari seberang terdengar jelas dan dingin, menusuk seperti pisau yang tak tampak. "Kamu masih ingat saya, kan?" suara itu berbicara dengan nada yang tenang tapi mengancam. "Saya yang menginterview kamu di Starbucks."

Seketika, tubuh Amara membeku. Suara itu... suara yang selama ini ia coba lupakan, tapi gagal. Itu adalah suara pria yang nyaris menghancurkan dunianya. Ingatan tentang kejadian itu interview palsu yang berubah menjadi ancaman menerobos masuk ke dalam pikirannya seperti banjir, menenggelamkan setiap usaha yang selama ini ia lakukan untuk melupakan.

Rasa takut menyelimutinya, begitu dingin dan begitu kuat. Dengan tangan gemetar, tanpa berpikir panjang, Amara segera menutup teleponnya. Ponsel itu ia lempar ke sisi tempat tidur, seakan dengan begitu ia bisa menjauhkan dirinya dari ancaman yang baru saja kembali muncul di hadapannya. Tapi ketenangan yang ia harapkan tidak datang.

Tak butuh waktu lama sebelum ponsel itu kembali berdering, mengguncang ketenangan semu yang ia coba ciptakan. Setiap detik yang berlalu terasa seperti ancaman yang semakin nyata, seolah suara itu bisa muncul di kamarnya kapan saja. Kegelapan yang dulu terasa nyaman kini berubah menjadi cengkeraman ketakutan. Dering ponselnya menjadi seperti detak waktu yang mengukur seberapa cepat kepanikannya bertambah besar.

Amara merasa terperangkap. Ia duduk di atas tempat tidurnya dengan napas tersengal, jantungnya berdegup begitu kencang hingga dadanya terasa sakit. Suasana di kamar yang semula damai berubah drastis menjadi tempat yang sempit dan penuh ancaman. Ia menatap ponsel yang masih berdering tanpa henti, seolah ponsel itu menjadi simbol dari ketakutannya yang tak kunjung hilang.

Pikirannya kacau, tak mampu berpikir jernih. Ia tidak tahu harus berbuat apa, tak tahu kepada siapa harus meminta bantuan. Tangannya gemetar saat memegang ponsel, tetapi ide untuk memblokir nomor tersebut tidak terlintas sama sekali di benaknya. Ketakutan telah menguasai seluruh pikirannya, menenggelamkan logikanya. Yang ia rasakan hanyalah kepanikan yang semakin hari semakin sulit ia kendalikan.

Amara memeluk lututnya, tubuhnya menggigil bukan karena dingin, melainkan karena ketakutan yang tak terelakkan. Suara telepon yang berdering seolah menjadi irama yang menekan, setiap detaknya menambah tekanan pada hatinya. Kejadian di Starbucks yang selama ini coba ia lupakan kini kembali menghantuinya. Ia ingat betul bagaimana pria itu, dengan sikap yang awalnya ramah, perlahan berubah menjadi ancaman. Senyum palsu di wajah pria itu berubah menjadi tatapan licik, membuat Amara merasa terjebak.

Waktu itu, ia berhasil melarikan diri. Dengan keberanian yang entah datang dari mana, Amara berhasil kabur dari situasi yang hampir membahayakan dirinya. Namun luka dari kejadian itu masih ada, tersembunyi di balik usahanya untuk tampak kuat. Dan kini, luka itu terbuka kembali, dipicu oleh suara yang seharusnya tak pernah ia dengar lagi.

Dering telepon berhenti sesaat, memberikan jeda yang amat singkat bagi Amara. Tapi hanya beberapa detik kemudian, dering itu kembali mengisi ruangan, kali ini disertai dengan pesan masuk yang membuat Amara semakin terhantam oleh ketakutan.

Ia melihat layar ponselnya menyala, memunculkan pesan baru: "Mari Bertemu dan Bicara."

Pikiran Amara serasa dipenuhi oleh awan gelap yang semakin tebal. Kepanikannya memuncak, tetapi tubuhnya terasa lumpuh, tidak bisa bergerak, tidak bisa berpikir jernih. Ketakutan itu begitu menguasai dirinya hingga napasnya semakin pendek dan terengah-engah. Baginya, ancaman itu bukan lagi sekadar kata-kata di layar, melainkan kenyataan yang semakin mendekat, seperti bayangan gelap yang merayap dari sudut ruangan, siap menelan seluruh keberaniannya.

Lihat selengkapnya