''Bangkit Dari Reruntuhan : Kisah Amara"(based on true story)

Julpiyana
Chapter #12

Berdamai Dengan Masalah: Di Terima Bekerja

Pagi itu, langit Jakarta masih remang-remang ketika Amara membuka matanya lebih awal dari biasanya. Embusan angin lembut menyelinap masuk melalui celah jendela kamarnya yang kecil, menggelitik kulitnya yang mulai berkeringat karena hawa pagi yang mulai menghangat. Mata Amara masih terasa berat, seolah kelelahan dari malam sebelumnya belum sepenuhnya hilang. Namun, meski tubuhnya terasa lemah, hatinya penuh dengan harap. Ada desiran semangat yang berbeda pagi ini. Hari ini adalah hari yang telah lama dinantikannya hari di mana ia akan menjalani wawancara kerja yang mungkin bisa mengubah jalan hidupnya.

Selama ini, hidup Amara penuh liku-liku. Ia datang dari pedalaman yang jauh, dari sebuah desa kecil di Kalimantan Barat yang hanya bisa dijangkau dengan perahu melalui sungai yang penuh batu-batu tajam. Berpindah ke Jakarta adalah keputusan besar yang ia ambil dengan tekad kuat, meski tahu bahwa tantangan yang menunggunya akan sangat besar. Namun, takdir membawa Amara ke kota besar ini, dengan harapan bisa menemukan kehidupan yang lebih baik, tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk ayahnya yang ia tinggalkan di desa. Panggilan wawancara dari perusahaan ini menjadi harapan yang sudah ia nanti-nantikan sejak lama. Ini adalah titik awal yang bisa membuka banyak peluang, dan ia bertekad untuk tidak menyia-nyiakannya.

Amara menggeser selimut tipis dari tubuhnya dan segera bangkit dari tempat tidur. Hari masih gelap, tetapi ia tahu ia harus memulai persiapan lebih awal agar tidak terlambat. Tidak ada yang ingin Amara lakukan selain memastikan semuanya berjalan sempurna hari ini. Ia pergi ke kamar mandi kecil yang terletak di sudut kamarnya, air dingin dari kran membasahi wajahnya yang tampak lelah namun penuh tekad. Sesekali, Amara berhenti sejenak, menatap bayangan dirinya di cermin. Pikirannya berkecamuk, campuran antara rasa percaya diri dan ketakutan.

Setelah selesai mandi, Amara kembali ke kamarnya dan mulai memilih pakaian dengan hati-hati. Setelan yang sudah disiapkannya semalam ia angkat dari gantungan blus putih yang masih tampak bersih dan rapi serta rok pensil hitam yang ia beli beberapa bulan lalu setelah menyisihkan sedikit uang dari pekerjaannya sebagai guru les. Sepatu hitam yang agak usang tapi bersih ia keluarkan dari lemari kecil. Meskipun pakaian ini bukanlah yang termewah, Amara merasa bahwa dengan ini, ia bisa tampil profesional dan percaya diri. Penampilan sangat penting dalam wawancara, pikirnya.

Setelah berpakaian, Amara berdiri di depan cermin besar di sudut kamarnya. Rambutnya yang hitam legam ia tata dengan rapi, mengikatnya ke belakang dalam bentuk sanggul sederhana. Sedikit make-up ia poles di wajahnya bedak tipis untuk meratakan warna kulit, sedikit lipstik merah muda untuk memberikan warna di bibirnya yang pucat. Saat melihat pantulan dirinya, Amara merasa bahwa ia sudah siap, meski di dalam hatinya ada keraguan yang tidak dapat dihilangkan.

Saat bersiap, doa-doa terus ia panjatkan dalam hati. “Tuhan, bantu aku hari ini. Berikan aku kekuatan dan keberanian untuk menghadapi apa pun yang terjadi,” gumamnya. Amara bukanlah orang yang sering meragukan keputusannya, tetapi kali ini, ia merasa sedikit lebih cemas. Mungkin karena ia tahu bahwa peluang ini adalah sesuatu yang sangat berharga. Hidupnya selama ini penuh dengan perjuangan, dari membagi waktu antara bekerja dan belajar, hingga menjaga hubungan jarak jauh dengan Ayah nya , serta perasaan bersalah karena meninggalkan ayahnya yang sering sakit-sakitan. Namun, ia percaya bahwa Tuhan memiliki rencana yang lebih besar, meski ia tidak selalu bisa memahaminya. Setiap langkah yang ia ambil hari ini adalah bagian dari rencana besar itu.

Amara menghela napas panjang sebelum akhirnya mengangkat tas kerja kecil yang berisi CV dan dokumen-dokumen penting lainnya. Waktu menunjukkan pukul enam pagi, dan meskipun wawancaranya dijadwalkan jam sembilan, ia tahu betapa sulitnya perjalanan di Jakarta. Lalu lintas yang padat, jalan-jalan yang macet, serta cuaca panas selalu menjadi tantangan tersendiri di kota ini. Ia tak ingin mengambil risiko terlambat. Maka, dengan keyakinan yang ia kumpulkan, ia melangkah keluar dari kamar kos kecilnya, meninggalkan keheningan pagi menuju jalanan kota yang mulai sibuk.

Ketika sampai di jalan raya, hiruk pikuk Jakarta mulai terasa. Suara kendaraan menderu, klakson bersahut-sahutan, dan orang-orang berlalu lalang dengan wajah-wajah sibuk. Amara berdiri di halte bus, menunggu transportasi umum yang akan membawanya ke tempat wawancara. Sepanjang perjalanan, ia terus memandangi jam di pergelangan tangannya. Setiap detik terasa begitu lama, sementara bus yang ia naiki bergerak lambat di tengah kemacetan. Amara mencoba menenangkan dirinya, meskipun kekhawatiran mulai merayapi pikirannya. Waktu terus berjalan, dan Jakarta pagi itu seakan tidak bersahabat. Berkali-kali bus berhenti terlalu lama di lampu merah, dan kemacetan membuat perjalanan terasa seperti tidak pernah berakhir.

Keringat mulai membasahi dahinya, meskipun pagi itu belum terlalu panas. Pikirannya dipenuhi bayangan akan kemungkinan buruk bagaimana jika ia terlambat? Bagaimana jika penampilannya terlihat berantakan? Rambut yang tadi ia tata rapi, sekarang mulai kusut. Blus putihnya yang semula bersih dan rapi kini tampak sedikit kusut akibat duduk lama di dalam bus. Meski begitu, Amara berusaha untuk tidak terlarut dalam kekhawatirannya. Ia menguatkan diri dengan doa, meminta ketenangan hati dan pikiran agar bisa melalui hari ini dengan baik.

Setelah hampir satu setengah jam perjalanan yang terasa melelahkan, akhirnya bus yang ditumpangi Amara berhenti di depan gedung tinggi tempat perusahaan itu berada. Ia segera turun, mengatur napas, dan melangkah masuk ke gedung dengan semangat yang kembali ia kumpulkan. Di depan pintu masuk, Amara berhenti sejenak, menarik napas panjang dan menatap gedung megah yang berdiri kokoh di depannya. Gedung itu tampak begitu besar dan mencolok, simbol kemewahan dan kesuksesan yang seakan jauh dari jangkauannya. Tapi di sinilah ia sekarang, berdiri dengan segala harapan dan impian yang menggantung di pundaknya.

Namun, saat melangkah masuk ke dalam lobi gedung, perasaan minder tiba-tiba menyelimutinya. Matanya menangkap pemandangan beberapa kandidat lain yang sedang menunggu giliran wawancara. Mereka tampak rapi, berpenampilan profesional, dengan senyum percaya diri yang terukir di wajah mereka. Beberapa di antara mereka tampak lebih berpengalaman, dengan latar belakang pendidikan yang mungkin lebih tinggi daripada Amara. Di tengah-tengah orang-orang itu, Amara merasa dirinya kecil dan tak berarti. Ia hanyalah seorang gadis sederhana dari desa terpencil, lulusan SMA yang harus bekerja keras hanya untuk bisa bertahan di Jakarta. “Apa aku layak berada di sini?” gumamnya dalam hati.

Rasa minder itu mulai menjalar ke seluruh tubuhnya, membuat jantungnya berdebar lebih kencang. Namun, Amara tahu ia tidak boleh menyerah. Ia telah melalui begitu banyak hal untuk sampai ke titik ini, dan menyerah sekarang bukanlah pilihan. Dengan tekad yang kuat, ia mencoba menepis rasa takutnya, kembali mengingat tujuannya dan perjuangan yang telah ia lalui selama ini.

Amara berjalan menuju meja resepsionis, memperkenalkan dirinya, dan diberi arahan untuk menunggu di ruang tunggu bersama kandidat lainnya. Meskipun perasaannya campur aduk, Amara duduk dengan tenang, berusaha menjaga penampilan dan ketenangannya. Saat namanya dipanggil, ia berdiri dengan kepala tegak, berusaha menanamkan dalam pikirannya bahwa ia mampu, bahwa ia layak berada di sini. Wawancara ini adalah kesempatan emas yang tidak boleh ia sia-siakan, dan ia bertekad untuk memberikan yang terbaik.

Dalam hatinya, Amara kembali berdoa, lebih intens dari sebelumnya. Hari ini bukan sekadar hari wawancara biasa ini adalah momen yang penuh dengan doa, harapan, dan impian yang selama ini ia pendam. Ia sadar, bahwa setiap langkah yang ia ambil, setiap jawaban yang keluar dari mulutnya, semuanya akan membawa dampak besar pada masa depannya. Maka, dengan penuh keyakinan, Amara menyerahkan semuanya kepada Sang Pemilik Hidup. Ia percaya bahwa apapun yang akan terjadi hari ini, itu adalah bagian dari rencana besar Tuhan untuk hidupnya.

Saat Amara memasuki ruang wawancara, ia disambut oleh tiga orang dari tim HRD, dua wanita dan seorang pria, yang duduk dengan raut wajah profesional. Di samping mereka, seorang user yang nantinya akan menjadi atasannya, memandangnya dengan pandangan tenang namun tajam. Jantung Amara berdebar lebih cepat. Ini adalah saat yang ia tunggu-tunggu, tapi rasa gugup tidak bisa sepenuhnya dihindari. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya, dan duduk dengan sopan di kursi yang telah disediakan.

Suasana di dalam ruangan terasa formal namun tidak sepenuhnya kaku. Dinding kaca besar di satu sisi ruangan memperlihatkan pemandangan gedung-gedung tinggi di luar sana, seolah-olah mengingatkan Amara akan kerasnya persaingan di dunia kerja. Sebuah meja besar memisahkan Amara dari tim pewawancara, yang duduk dengan sikap profesional. Amara merasa seperti seorang pejuang yang berdiri di medan perang, berusaha menunjukkan yang terbaik dari dirinya, meskipun ada ketidakpastian yang menggantung di udara.

Lihat selengkapnya