Amara mulai merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya. Setiap pagi, saat ia terbangun, tubuhnya seolah tak mau bekerja sama. Sendi-sendi yang seharusnya bergerak dengan mudah kini terasa kaku dan berat, seakan-akan mereka dililit rantai yang tak terlihat. Tulang-tulangnya serasa dihimpit dari dalam, membuat setiap gerakan sederhana, seperti meraih segelas air atau berjalan ke kamar mandi, menjadi tantangan tersendiri. Kadang-kadang, sensasi dingin menyelinap tanpa peringatan, membuat tubuhnya menggigil meski cuaca di luar begitu hangat. Dia berusaha menepis rasa dingin itu dengan menarik selimutnya lebih erat, tapi tetap saja, getaran tak terkendali itu tak mau pergi.
Namun, yang paling mengganggu Amara adalah rasa sakit yang kerap menyerang kepalanya. Sakit kepala ini bukanlah sakit biasa yang bisa disembuhkan dengan tidur atau obat pereda nyeri. Rasa sakit itu datang seperti badai, menyerbu tanpa ampun, memaksa Amara untuk berhenti sejenak dari segala aktivitas, bahkan bernapas pun terasa menyakitkan. Kepalanya seakan diperas, dipukuli oleh tangan tak terlihat yang terus-menerus menghantam, membuatnya meringis. Dalam keputusasaan, pernah beberapa kali Amara mencoba membenturkan kepalanya ke dinding, berpikir bahwa mungkin rasa sakit itu akan berkurang jika ia mengalihkan perhatiannya ke rasa nyeri fisik yang lain. Tapi apa yang ia harapkan tidak terjadi. Sakitnya tetap ada, menembus lebih dalam, memotong kesadarannya dengan ketajaman yang menyiksa. Setiap detik dari serangan itu terasa seperti siksaan tanpa akhir, membuatnya merasa kecil, rapuh, dan tidak berdaya.
Tidak hanya itu, reaksi alergi misterius juga mulai menghantui tubuhnya. Kulitnya seringkali memerah dan gatal, namun ia tidak pernah bisa menemukan apa yang menjadi pemicu alergi tersebut. Setiap kali reaksi itu muncul, Amara merasakan panas di bawah kulitnya, seperti ada api kecil yang menjalar, membuatnya ingin menggaruk hingga kulitnya terkelupas. Dan kelelahan perasaan itu tidak pernah meninggalkannya. Pada hari-hari tertentu, tubuhnya terasa seperti ditarik ke bawah oleh gravitasi yang jauh lebih kuat daripada biasanya. Ada kalanya ia terjaga selama 24 hingga 48 jam tanpa sedikit pun rasa kantuk, namun pada hari-hari berikutnya, ia bisa saja tertidur sepanjang hari dan tetap merasa lelah saat terbangun. Semua ini membuat setiap hari terasa semakin sulit dijalani.
Meski Amara telah lama mencoba mengabaikan gejala-gejala tersebut, akhirnya ia menyerah pada kenyataan bahwa tubuhnya membutuhkan bantuan. Dengan tubuh yang semakin lemah dan rasa sakit yang semakin menyiksa, Amara memutuskan bahwa sudah waktunya untuk memeriksakan dirinya ke dokter. Meski ia khawatir tentang biaya berobat, ia merasa sedikit lega karena memiliki BPJS, meskipun di dalam hatinya, ia takut kalau perawatannya nanti mungkin memerlukan biaya yang tak mampu ia tanggung. Rasa cemas ini tak pernah benar-benar pergi, mengintai di balik setiap harapan kecil yang ia pegang.
Dengan niat yang kuat, Amara meminta izin dari tempat kerjanya untuk pergi berobat. Kebetulan, salah satu teman kosnya, seorang gadis bernama Dian, menawarkan diri untuk menemaninya ke puskesmas. Amara, yang merasa canggung untuk meminta bantuan, dengan rasa syukur menerima tawaran Dian. Bersama-sama, mereka berangkat pagi-pagi buta, hanya dengan membawa kartu BPJS dan sedikit doa yang Amara bisikkan dalam hatinya. Satu hal yang jelas, ia tidak punya uang sepeser pun di kantongnya.
Sesampainya di puskesmas, pemandangan antrean pasien yang menunggu giliran membuat Amara sedikit tertegun. Ada begitu banyak orang di sana, masing-masing membawa masalah kesehatan yang berbeda-beda. Beberapa tampak lesu, sementara yang lain terlihat marah atau frustrasi karena harus menunggu lama. Namun, Amara menenangkan diri, memutuskan untuk bersabar. Waktu berjalan perlahan saat mereka menunggu giliran. Amara berusaha fokus pada napasnya, menghitung setiap tarikan napas untuk menjaga pikirannya tetap tenang.
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya giliran Amara tiba. Ia dipanggil masuk ke ruang konsultasi, di mana seorang dokter perempuan menyambutnya. Dokter tersebut, yang bernama Dokter Charisa, terlihat ramah dan menyenangkan. Dengan senyum yang tulus, ia mempersilakan Amara duduk dan mulai bertanya tentang keluhannya. Sikap Dokter Charisa yang tenang dan penuh empati membuat Amara merasa sedikit lebih nyaman, sesuatu yang jarang ia rasakan saat berbicara dengan orang asing. Perlahan, Amara mulai menceritakan semua keluhan yang ia alami rasa sakit di tulangnya, sakit kepala yang terus-menerus, alergi yang tidak jelas, dan kelelahan yang membuatnya seperti tidak lagi mengenali tubuhnya sendiri.
Dokter Charisa mendengarkan dengan seksama, mencatat setiap detail yang Amara sampaikan. Setelah mendengarkan seluruh cerita Amara dan melakukan serangkaian pemeriksaan, Dokter Charisa mulai menjelaskan hasil diagnosanya. Amara mendengarkan dengan penuh perhatian, tapi apa yang ia dengar membuatnya terdiam.
Dokter Charisa mengatakan bahwa meskipun Amara merasakan gejala fisik, sebenarnya ada akar lain dari semua itu. Amara didiagnosis menderita beberapa gangguan mental yang telah berkontribusi pada kondisi fisiknya saat ini. fibromyalgia"adalah beberapa dari diagnosa yang diberikan. Semua gejala yang Amara rasakan, mulai dari sakit kepala hingga rasa sakit di tulangnya, sebenarnya adalah manifestasi dari trauma yang tertimbun dalam dirinya selama bertahun-tahun. Trauma masa kecil, tekanan hidup, dan beban emosional yang tak pernah ia selesaikan telah mengendap di dalam tubuh dan pikirannya, mengakibatkan berbagai gangguan fisik yang kini ia rasakan.
Mendengar penjelasan itu, Amara merasa bingung. Ia tidak pernah menyangka bahwa luka-luka batinnya, yang ia pikir sudah lama ia lupakan atau setidaknya ia kubur dalam-dalam, ternyata masih hidup dalam dirinya dan sekarang menyerang tubuhnya. Sulit bagi Amara untuk menerima kenyataan ini, namun ia tahu bahwa penjelasan dokter masuk akal. Selama ini, ia selalu berusaha untuk kuat, menekan segala rasa sakit emosionalnya, tetapi kini tubuhnya tidak lagi mampu menanggung beban itu.
Amara merasa seolah-olah sebuah dunia baru telah terbuka di hadapannya dunia di mana fisik dan mental saling berkaitan erat. Dan dalam dunia ini, ia menyadari bahwa untuk sembuh, ia tidak hanya harus mengobati tubuhnya, tetapi juga jiwanya.
Kondisi mental Amara yang selama ini rapuh ternyata tertutupi oleh sikap luarnya yang tampak tegar. Selama bertahun-tahun, ia membangun dinding yang kokoh di sekeliling dirinya, seolah-olah menolak semua hal yang dapat membuatnya terlihat lemah. Ia percaya, mungkin terlalu dalam, bahwa menjadi kuat berarti tidak pernah menunjukkan air mata, tidak pernah membiarkan orang lain melihat apa yang ada di balik dinding yang ia bangun dengan hati-hati. Di depan orang lain, terutama keluarganya, Amara selalu berusaha tampil sebagai seseorang yang bisa diandalkan, seseorang yang tahu bagaimana menghadapi masalah tanpa meminta bantuan orang lain. Sikap ini begitu mengakar dalam dirinya, sejak ia masih anak-anak.
Ia ingat, ketika orang tuanya bercerai, usianya baru menginjak 5 Tahun. Saat itu,Amara belum mengerti apa itu perceraian Amara kecil sering kali merasa kesepian, merasa di abaikan oleh orang-orang yang mencintainya.. Saat itulah ia belajar untuk menahan segala kesedihannya sendiri, menyembunyikan tangisannya, dan berpura-pura semuanya baik-baik saja. Seolah amara kecil itu mengerti bahwa hidup nya tidak boleh menjadi beban bagi siapa pun.Seiring berjalannya waktu, Amara menginjak remaja terbiasa menekan perasaannya. Setiap luka, setiap ketakutan, setiap kekecewaan ia simpan jauh di dalam hatinya, tertutup rapat oleh senyum palsu dan kata-kata penghibur yang sering ia lontarkan pada dirinya sendiri. "Aku bisa melewati ini," kata Amara setiap kali ia merasa dunianya mulai berantakan. "Aku harus kuat. Tidak ada yang akan membantu, jadi aku harus menghadapi ini sendirian." Kalimat itu terus menerus ia ulang dalam pikirannya, seakan-akan kekuatan adalah satu-satunya hal yang ia butuhkan untuk bertahan.