''Bangkit Dari Reruntuhan : Kisah Amara"(based on true story)

Julpiyana
Chapter #14

Memulai Hidup Baru

Amara memulai hari barunya dengan semangat yang tidak pernah pudar, meskipun tubuhnya sering kali terasa seperti medan pertempuran. Rasa sakit yang muncul tanpa peringatan sering kali menjalar dari tulang-tulangnya hingga ke kepalanya, seperti arus listrik halus yang terus-menerus mengingatkan bahwa ada sesuatu yang salah dalam tubuhnya. Kadang-kadang, rasa sakit itu datang saat ia baru bangun tidur, seperti sebuah beban yang tak tampak menekan punggung dan lehernya. Pada pagi-pagi seperti itu, bahkan untuk bangkit dari tempat tidur dan menyentuh lantai dingin dengan telapak kakinya merupakan perjuangan tersendiri. Namun, di balik segala rasa sakit itu, ada sesuatu yang tetap menyala dalam dirinya sebuah tujuan yang ia genggam erat-erat, sebuah mimpi yang memberikan arti bagi setiap napas yang ia ambil.

Amara bekerja keras bukan karena ia tidak punya pilihan lain, melainkan karena ia tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk mewujudkan impian yang selama ini ia tanam dalam hatinya. Ia tidak hanya bekerja untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk ayahnya sosok yang sangat ia rindukan, meskipun jarak memisahkan mereka selama bertahun-tahun. Amara selalu membayangkan suatu hari ia bisa kembali ke desa, tinggal bersama ayahnya di rumah kecil yang dikelilingi hutan dan sungai, di mana suara burung dan gemericik air menjadi teman sehari-hari mereka. Tetapi sebelum semua itu bisa terwujud, ada satu hal yang harus ia selesaikan: kuliah. Amara tahu betul bahwa pendidikan adalah kunci untuk memperbaiki hidupnya, sebuah jalan keluar dari kemiskinan dan ketidakpastian yang selama ini ia hadapi.

Setiap pagi, saat ia menyiapkan diri untuk berangkat kerja, Amara sering kali teringat pada masa kecilnya. Bayangan tentang ayahnya selalu muncul dalam pikiran, terutama saat ia merasa lelah dan nyaris kehilangan semangat. Ia ingat bagaimana ayahnya selalu berusaha memberikan yang terbaik untuknya, meskipun dalam keterbatasan. Setelah perceraian yang menghancurkan keluarganya, ayahnya berjuang sendirian untuk merawat Amara, meskipun kesehatannya sendiri semakin memburuk. Amara tahu, meskipun sang ayah sering kali berada di rumah sakit jiwa, bukan berarti ia tidak peduli padanya. Sebaliknya, itulah cara ayahnya bertahan di tengah tekanan mental yang ia alami setelah perpisahan itu. Kenyataan bahwa ayahnya berada dalam kondisi yang rapuh membuat Amara merasa lebih bertanggung jawab untuk bekerja lebih keras. Setiap lembar uang yang ia kumpulkan, setiap jam lembur yang ia jalani, semuanya dilakukan dengan satu tujuan,memberikan kehidupan yang lebih baik untuk ayahnya di masa depan.

Meskipun rindu pada ayahnya kerap menyelimuti pikirannya, Amara tidak pernah membiarkan perasaan itu mengganggu fokusnya. Ia sadar, setiap langkah yang ia ambil harus dipertimbangkan dengan matang. Kegagalan bukanlah pilihan bagi Amara. Setelah bertahun-tahun hidup terpisah dari sang ayah, rasa rindunya tidak pernah surut. Setiap kali ia memejamkan mata untuk beristirahat setelah hari yang panjang, bayangan ayahnya selalu muncul seorang pria tua dengan tubuh yang semakin ringkih, tapi dengan senyum yang selalu hangat ketika ia mendengar kabar dari putrinya. Amara tahu, ayahnya adalah alasan utama mengapa ia tidak boleh menyerah.

Di Jakarta, Amara menjalani kehidupannya dengan kesunyian yang mengakar dalam. Meskipun ia dikelilingi oleh ribuan manusia setiap hari di kampus, di kantor, di jalanan yang dipadati oleh kendaraan ia selalu merasa sendirian. Hubungan sosial yang ia miliki terbatas pada interaksi formal di kampus dan kantor. Setiap hari, ia berbicara dengan teman-teman sekelasnya di kampus, tapi tidak pernah lebih dari sekadar obrolan ringan tentang tugas atau mata kuliah. Di tempat kerja, ia bertegur sapa dengan rekan-rekan kerjanya, berbicara tentang pekerjaan, namun tidak ada percakapan yang menyentuh hatinya. Bagi Amara, membangun hubungan yang lebih dalam tampaknya adalah sebuah kemewahan yang tidak bisa ia nikmati.

Kerap kali, ketika ada kesempatan untuk membentuk hubungan yang lebih dekat, Amara memilih untuk menarik diri. Bukan karena ia tidak ingin berteman, melainkan karena ada semacam ketakutan yang selalu menghantui dirinya. Setiap kali ia merasakan keakraban mulai tumbuh, hatinya menjadi gelisah. Ada rasa takut yang begitu dalam, seolah-olah membuka diri kepada orang lain akan membuatnya rentan. Ia khawatir orang-orang akan melihat luka-luka batin yang selama ini ia sembunyikan, dan mereka akan menilai atau bahkan meninggalkannya begitu saja. Jadi, ia lebih memilih untuk menjaga jarak, membiarkan hubungan itu tetap dangkal dan sementara. Lagipula, selama ini ia telah belajar untuk hidup tanpa bergantung pada orang lain. Mengapa harus berubah sekarang?

Malam-malam yang dilalui Amara sering kali dihabiskan dalam kesunyian yang begitu pekat. Setelah pulang kerja dan menyelesaikan tugas kuliah, ia akan duduk di sudut kamar kosnya, merapikan barang-barang atau hanya sekadar merenung. Di saat-saat seperti itulah, kesepian sering kali menyergap dirinya dengan cara yang tak terduga. Meski ia tidak pernah menangis, Amara merasakan betapa kosongnya hidupnya saat itu. Seperti ada sebuah lubang besar yang tidak bisa ia isi dengan apa pun, meskipun ia mencoba dengan segala cara untuk mengabaikannya. Kesepian itu terasa seperti kabut tebal yang perlahan menyelimuti pikirannya, membuatnya sulit untuk berpikir jernih.

Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang membuat Amara terus bertahan: harapan. Harapan bahwa suatu hari nanti, semua kerja keras ini akan terbayar. Bahwa ia akan menyelesaikan kuliahnya, mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, dan akhirnya bisa kembali ke desa untuk merawat ayahnya. Ia selalu membayangkan momen ketika ia dan ayahnya bisa kembali hidup bersama, menghabiskan waktu di kebun kecil mereka, seperti yang dulu mereka lakukan saat Amara masih kecil. Setiap kali bayangan itu muncul, Amara merasakan kekuatan baru dalam dirinya, seolah-olah impian itu adalah cahaya kecil yang membimbingnya melalui kegelapan.

Lihat selengkapnya