''Bangkit Dari Reruntuhan : Kisah Amara"(based on true story)

Julpiyana
Chapter #16

Motivasi Dan Berani Bermimpi

Amara memiliki cita-cita besar yang ia genggam erat, sebuah impian yang telah terukir dalam hatinya sejak lama. Ia ingin menjadi seorang psikolog, seseorang yang mampu memahami, mendampingi, dan membantu orang-orang yang terjebak dalam kegelapan emosi dan pikiran. Keinginan ini bukan sekadar impian kosong, tetapi lahir dari pengalaman hidupnya sendiri, dari berbagai luka batin yang ia alami dan saksikan sepanjang perjalanan hidupnya. Amara paham betul betapa beratnya menghadapi kenyataan hidup, betapa sulitnya berdiri tegak di tengah ketidakpastian, merasa sendirian, dan terus-menerus tergoda untuk menyerah.

Oleh karena itu, ia memutuskan untuk mengambil jurusan Psikologi Klinis, sebuah bidang yang mempelajari tentang sikap,dan perilaku manusia secara mendalam. Amara ingin memahami lebih jauh mengapa seseorang bertindak, merasakan, dan berpikir seperti yang mereka lakukan. Ia ingin tahu apa yang membuat orang bisa terjebak dalam siklus kesedihan yang tampaknya tak berujung, mengapa beberapa orang bisa menemukan kekuatan untuk bangkit, sementara yang lain memilih menyerah. Dalam hatinya, Amara memiliki hasrat untuk menjadi seseorang yang bisa memberikan harapan kepada mereka yang telah kehilangan arah, untuk menyelamatkan jiwa-jiwa yang terpuruk seperti dirinya dulu.

Amara tidak bisa melupakan pemandangan teman-temannya yang perlahan-lahan terseret dalam arus pergaulan bebas dan perilaku yang merusak diri mereka sendiri. Baginya, ini bukan sekadar teori atau cerita yang ia baca di buku. Ia menyaksikan sendiri bagaimana beberapa temannya beralih ke narkoba, pesta-pesta liar, atau hubungan yang beracun, hanya untuk melupakan rasa sakit yang mereka rasakan. Mereka melakukan semua itu untuk melampiaskan kemarahan dan kekecewaan yang menggerogoti hati mereka, berharap rasa sakit itu akan hilang, meski hanya sesaat. Namun, apa yang mereka dapatkan hanyalah kekosongan yang semakin dalam dan penyesalan yang tak terbendung. Amara sering merasa getir melihat kehancuran teman-temannya, merasa seolah-olah mereka adalah cerminan dari dirinya sendiri, jika ia memilih jalan yang sama.

Namun, berbeda dengan mereka, Amara bertekad untuk tidak terjatuh ke dalam lingkaran yang sama. Meski kehidupannya penuh dengan tantangan dan ia sering kali merasa lelah, ia memilih untuk tetap teguh pada prinsip-prinsip yang ia yakini. Ia menolak ajakan-ajakan yang bisa membawanya ke jalan yang tidak baik, menghindari lingkungan yang berpotensi merusak dirinya. Setiap kali ia dihadapkan pada pilihan sulit, ia selalu mengingatkan dirinya bahwa ia memiliki tujuan besar, sebuah cita-cita yang ia kejar, dan ia tidak ingin mengorbankannya hanya demi pelarian sesaat.

Amara percaya bahwa meskipun masa lalu seseorang penuh dengan kepahitan, masa depan tetap bisa dibentuk dengan usaha, doa, dan pengharapan. Ia mengerti bahwa ia bukanlah korban dari takdirnya, tetapi ia adalah pemilik dari masa depannya sendiri. Keinginan untuk menjadi psikolog bukan hanya sekadar ambisi untuk dirinya sendiri, tetapi juga sebuah panggilan hati untuk membantu orang-orang lain yang pernah atau sedang merasakan penderitaan yang serupa dengan dirinya. Ia ingin menjadi tempat bagi mereka yang mencari pelipur lara, sosok yang bisa mendengarkan tanpa menghakimi, yang bisa memberikan pandangan dan harapan baru.

Amara membayangkan dirinya suatu hari nanti duduk di hadapan pasien-pasiennya, mendengarkan cerita-cerita yang mungkin terdengar mirip dengan kisah hidupnya sendiri. Ia ingin memahami dan membantu mereka menemukan kekuatan yang mungkin tersembunyi dalam diri mereka, kekuatan yang dulu ia temukan dalam dirinya sendiri di saat-saat yang paling gelap. Dalam hatinya, ia berharap bisa membuktikan bahwa meskipun hidup penuh dengan liku-liku dan rasa sakit, setiap orang memiliki potensi untuk bangkit, untuk menemukan kebahagiaan, dan untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik.

Ia sering membayangkan bahwa dengan menjadi psikolog, ia bisa membantu menciptakan dunia yang lebih baik, satu jiwa pada satu waktu. Ia ingin memberikan cahaya bagi mereka yang merasa terjebak dalam kegelapan, untuk menjadi pengingat bahwa mereka tidak sendirian. Di setiap sesi konsultasi yang ia bayangkan, Amara ingin menanamkan keyakinan bahwa harapan masih ada, bahwa perubahan mungkin terjadi, dan bahwa kebahagiaan sejati dapat ditemukan meskipun masa lalu penuh dengan luka.

Dengan tekad yang kuat, Amara terus melangkah menuju mimpinya. Setiap hari ia belajar dengan penuh semangat, memperdalam pengetahuannya tentang psikologi, tentang cara-cara untuk membantu orang lain memahami dan merawat kesehatan mental mereka. Ia tahu jalan ini tidak mudah, tetapi ia yakin bahwa semua ini adalah bagian dari takdirnya, bagian dari panggilannya untuk membuat perbedaan. Setiap buku yang ia baca, setiap teori yang ia pelajari, ia resapi dengan hati yang penuh harapan. Amara tidak sekadar ingin menjadi psikolog, ia ingin menjadi seorang penyembuh bagi jiwa-jiwa yang terluka, seseorang yang bisa memberi harapan baru bagi mereka yang merasa bahwa dunia telah meninggalkan mereka.

Amara tahu bahwa jalan hidupnya masih panjang dan penuh tantangan, tetapi ia tidak lagi merasa takut. Ia merasa siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang, karena ia memiliki tujuan yang kuat dan alasan yang jelas untuk terus berjuang. Dalam setiap langkahnya, ia membawa harapan bagi mereka yang membutuhkan, dan ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan pernah menyerah, sampai impiannya menjadi kenyataan.

Kehidupan di Jakarta yang keras telah membuka mata Amara pada kenyataan pahit yang dulu hanya ia dengar melalui berita atau cerita-cerita orang. Setiap sudut kota ini seolah menyimpan kisah-kisah yang tak terungkap, penuh dengan manusia yang berjuang untuk bertahan hidup di tengah kondisi yang nyaris tak manusiawi. Ketika Amara melangkah di sepanjang trotoar yang kumuh dan penuh sesak, ia melihat pemandangan yang meremukkan hatinya anak-anak kecil yang terpaksa hidup di jalanan, tanpa pendidikan, tanpa bimbingan, dan tanpa masa depan yang jelas. Mereka adalah wajah-wajah muda yang seharusnya berada di sekolah, belajar, bermain, dan bermimpi, tetapi malah terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan ketidakberdayaan.

Pemandangan anak-anak yang mengamen atau mengemis di sudut-sudut kota membuat hati Amara terasa seperti disayat ribuan pisau. Setiap kali ia melihat mereka, ada perasaan getir yang menghantui pikirannya, mengingatkan dirinya pada masa kecilnya yang juga tidak mudah. Anak-anak itu, dengan wajah-wajah kotor namun penuh semangat, membuat Amara merasa seolah ia sedang melihat bayangan dirinya di masa lalu. Seperti mereka, Amara pernah merasakan bagaimana rasanya hidup tanpa kepastian, tanpa orang yang bisa diandalkan. Setiap tatapan mereka seolah menyampaikan jeritan tak terdengar, permohonan yang tersembunyi, meminta belas kasihan kepada dunia yang tampak begitu acuh tak acuh.

Suatu pagi ketika Amara berjalan menuju kantor, ia melihat sepasang pengamen muda yang masih berusia belasan tahun, berdiri di pinggiran rel kereta, beriringan sambil membawa alat musik sederhana. Kedua remaja itu tampak lelah, wajah mereka menunjukkan keletihan yang tidak seharusnya dialami oleh anak seusia mereka. Namun tiba-tiba, salah satu dari mereka, seorang remaja laki-laki, mendorong temannya dengan kasar. Pertengkaran mereka semakin memanas hingga sang remaja laki-laki memukul rekannya dengan ukulele yang ia bawa. Suara keras benturan itu terdengar nyaring, dan anak-anak itu mulai saling berteriak, melontarkan kata-kata kasar. Orang-orang di sekitar hanya menoleh sesaat, lalu melanjutkan langkah mereka seolah tidak terjadi apa-apa. Tak ada satu pun yang peduli, tak ada yang melerai atau mencoba menghentikan perkelahian itu.

Lihat selengkapnya