1'

Maulida Ajeng Priyatnomo
Chapter #2

Pertemuan di Tangga Gedung Olahraga


“Ola Ola yeah, TIM kami terhebat! Ola ola yeah, TIM kami no debat! Ola ola yeah, kaki ringan seperti kapas! Ola ola yeah, kemenangan ibarat napas! YO YO YO!” Yel-yel salah satu kelompok menggema. Tepuk tangan riuh, peluit marak, bahkan teriakan semangat memburu, membuat gedung olahraga semakin menggema. Hingar bingar. Balon warna-warni sudah diterbangkan.

Jadwal pertandingan dilaksanakan selama lima hari untuk seluruh cabang. Dibagi menjadi dua kelompok. Awal atau jam pagi dilaksanakan pertandingan bidang olahraga kelompok. Terakhir atau jam siang dilaksanakan pertandingan bidang olahraga individu. Hari ini, hari pertama pertandingan sepak bola semi final segera dilaksanakan. Aku ikut menonton bersama teman-teman asrama sembari menunggu pertandingan olahraga kami.

Gedung Olahraga kali ini besar sekali. Berbentuk lingkaran dengan hiasan kelopak bunga besi di atasnya. Seperti bunga cempaka, bisa menutup dan membuka secara otomatis. Kursi seperti biasa, semakin meninggi ke belakang, ditambah ada layar besar di empat titik agar penonton paling atas bisa melihat jelas jalannya pertandingan. Tak hanya itu, sorot lampu yang begitu megah, berwarna putih, kuning, sesekali bisa mengeluarkan merah, sebagai peringatan.

Aku duduk paling atas dengan teman satu kamar. Panggil saja Sitta. Kami memang tidak begitu akrab, Sitta sering keluar kamar menonton bersama drama korea, aku memilih mendekam di dalam kamar membaca novel petualangan. Ya, sesekali sih ikut menonton, tapi tidak dengan menjerit-jerit.

Reihan juga bertanding hari ini. Pertama dari pertandingan jadwal siang, setelahnya cabang atletik lompat tinggi galah. Dia duduk di depan, berjarak dua larik dari bangkuku. Tertawa bersama teman-teman cowok. Akhir-akhir ini aku sering memperhatikanya. Ternyata, dia gampang berbaur.

“Tidak bisa, tidak bisa TIM KAMI PALING OKE, PALING KECE, PALING CEPAT, PALING PATEN MERAIH KEMENANGAN! WUUUU!” Yel-yel kembali menggema di gedung. Lebih riuh lagi, karena memakai terompet. Benar-benar niat mereka. Bahkan membawa spanduk besar foto-foto pemain, and hah? Apa itu? Foto cowok tinggi, ya tampan seperti perfilman korea, dengan memakai kaos olahraga khas sepak bola. Nama Cemsed tertampang besar. Di bold, diberi glitter, mantap.

“Cemsed, aaa semangat Cemsed!”

“Cemsed! Mau kau hitam kepanasan, hatiku untukmu,”

“Cemsed, aduh senyummu manis sekali!”

“Cemsed! Berikan tendangan dengan kibaran rambut kerenmu itu!”

“Cemsed! Aku setia menunggu tanda tanganmu!”

Aku memicingkan mata, menatap cewek seusiaku berteriak lantang, sembari mengibarkan foto si Cemsed itu tinggi-tinggi. Aku menatap ke bawah. Si Cemsed itu melambaikan tangan. Langsung, cewek-cewek berteriak histeris. Aku menggaruk kepala, iya sih tampan tanpa filter no kaleng-kalenglah. Reihan menatap ke belakang. Mengacungkan jempol ke arah dirinya. Aku mengangkat alis menggelengkan kepala, tidak mengerti. Dia tertawa, mengangkat bahu, menatap ke depan lagi.

Manusia absurd.

Kedua tim sepak bola berbaris memanjang di lapangan. Tim kanan dengan baju berwarna hitam dan tim kiri memakai baju berwarna oranye. Mereka saling memegang dada kanan. Lantunan lagu terdengar. Lagu mars sekolah masing-masing. Suasana hening. Hikmat. Tim pendukung ikut bernyanyi. Selesai, tepuk tangan riuh kembali, terompet berkumandang, pertandingan sepak bola segera dimulai!

*****

“Persiapan untuk lomba cabang atletik lari jarak jauh di mohon berkumpul di bawah. Sekali lagi, persiapan untuk lomba cabang atletik lari jarak jauh segera berkumpul di bawah. Terima kasih!” Pembawa acara memberikan pengumuman. Pertandingan sepak bola selesai dengan kemenangan tim berbaju oranye. Yel-yel mereka mengudara, mengelukan idola mereka.

Reihan berdiri sejenak. Menatap belakang ke arahku. Dia berjalan bukannya ke bawah, palah naik menghampiriku. Tersenyum simpul, memberikan botol air mineral.

“Kamu itu yang mau lari, bukan aku!” Aku mengangkat alis. Tentu saja, mati-matian menahan degup jantungku.

Dia tertawa kecil. “Justru itu, saat nanti aku menang, berjalan cepatlah ke bawah, serahkan air itu untukku. Bagaimana?” Dia menaik-turunkan alisnya.

Aku menatapnya heran. “Kenapa kamu tidak bawa saja botol ini?”

Dia menggeleng. Pipinya sedikit merona. “Baik, aku tunggu botol mineral itu darimu,”

Lihat selengkapnya