1'

Maulida Ajeng Priyatnomo
Chapter #4

Museum Sonobudoyo

Pagi hari mendadak ribut.

 Sepedaku sudah lama tidak dipakai. Ban bocor semua. Menyebalkan bukan? Padahal aku sudah rapi memakai baju terbaik, mengucir rambut serapi mungkin, memakai tas selempang berwarna merah muda, eh, ban sepeda bocor semua.

“Salahmu sendiri tidak menyiapkan dari kemarin!” Ibu berseru sebal.

Aku menghela napas keras. Terus bagaimana ini? Masa aku membonceng Reihan? Mukaku merona. Tidak mau ah! Membonceng Ruki? Ya sudahlah, terpaksanya begitu. Iya, Ruki ikut. Dia tahu Reihan mengajakku, tidak mau aku di-modus-in oleh Reihan, dia harus ikut. Lagipula, justru ramai Ruki ikut. Nilai tambahnya ibuku pasti mengizinkan.

KRING KRING!

Aku keluar dari rumah setelah berpamitan pada ibu. Ruki mengangukan kepala, menghormati ibu. Dia sudah di depan gerbang. “Ayo!”

Aku mendekat ke Ruki. “Maaf ya, sepertinya aku harus memboncengmu,”

“Hah? Kau itu berat!” Ruki mendengus.

“Enak saja! Kau itu yang berat!” Aku tidak terima.

“Ya, ya, terserahlah. Kau dulu yang membonceng atau aku?”

“Aku di depan!”

“Yas, siap!”

Berangkatlah kami. Reihan menunggu di ujung jalan, aku yang memberi usul. Bisa mati aku ibu tahu. Sebenarnya juga tidak masalah. Namun, aku jamin ibu pasti akan meledekku habis-habisan. Aku mengayuh setengah ngebut. Takut Reihan sudah menunggu.

Dari kejauhan, sepeda gunung berwarna abu-abu metalik terparkir di ujung jalan. Seseorang duduk di sebelahnya. Pasti itu Reihan. Dia memakai kemeja berwarna abu-abu polos, di dalamnya memakai kaos berwarna putih, sepatu kets, dan tas kecil di depan dadanya. Tampan.

“Hei,” sapa Reihan. Dia terdiam sejenak saat melihatku. Eh? Apakah aku salah kostum? Memakai baju kuning dengan jaket jeans, rok sampai bawah lutut berwarna senada dengan jaket, tas selempang merah muda, dan rambut terkuncir ke belakang. Apakah penampilanku salah?

Muka Reihan sedikit merona. Cengar-cengir. “Kenapa Ruki membonceng? Tidak kuat mengayuh sepeda, ya?”

“Enak saja kamu! Justru Damay yang nebeng aku!” Ruki melotot ke Reihan. Dia mana terpesona, susah sekali menaklukan hati sahabatku yang satu ini.

Reihan tertawa. “Astaga, santai saja kali Ki, lama-lama mata kau nanti seperti peer, bisa keluar masuk sendiri,”

Aku tertawa. “Yuk!”

“Memang ke mana?” Reihan mulai meledek.

“Loh? Katanya mau ke museum apa itu yang baru di dekat Keraton,” Ruki menggaruk kepala.

“Museum Sonobudoyo. Iya Ki, santai kali, kamu serius banget orangnya,” Reihan meledek lagi.

Ruki mendengus, melengos. Aku mulai mengayuh sepeda. Reihan menjajari di sampingku. Hari ini cerah, tapi tidak terlalu panas juga. Hari Minggu, hari yang ramai bagi jalanan Yogyakarta. Ibu penjual sate bersiap memakai sepeda lengkap dengan gerobak di belakang, bapak penyanyi jalanan membawa gitar, anak-anak memakai sepatu roda berlarian siapa yang paling dulu sampai di titik nol kilometer.

Para pelancong terlihat juga. Berpakaian rapi, bergerombol, bahkan ada yang memakai baju warna baju senada. Selfie, wefie, dan memotret gedung-gedung kuno yang bersejarah di sekitar titik nol kilometer Malioboro. Aku selalu menyukai kotaku ini. Kota ‘klasik’ dengan tampilan megah tidak tertinggal.

Mobil-mobil tetap berjalan. Motor melaju teratur. Di sebelah kiri jalan, andong berjalan. Sesekali ringkikan kuda terdengar. Lalu lalang dan keramaian perbincangan orang yang menikmati suasana Yogyakarta, membuat kota ini menjadi ‘heboh’ sepanjang masa. Bahkan, turis selalu ada di kota ini, berkunjung.

Reihan berbelok ke kiri, aku mengikutinya. Menuju daerah sekitaran Alun-Alun Utara atau bahasa jawanya, Alun-Alun Kidul. Kamu akan disuguhi lapangan luas dengan adanya pohon beringin dua di tengah lapangan. Jalan lurus berbeton lingkaran menyatu, menuju ke gerbang utama Keraton. Konon, mitosnya, kalau kamu bisa melewati kedua beringin itu dengan mata tertutup, cita-citamu akan tercapai. Ya namanya juga mitos, terserah mau percaya atau tidak.

Lihat selengkapnya