Cuaca yang cerah.
Hari Minggu yang tidak menyenangkan. Biasanya hari libur, kuhabiskan waktu mendekam di kamar atau ruang tamu. Membawa dua atau tiga buku. Bersandingkan jus segar rasa strawberry, favoritku. Sehari penuh, membaca tiga novel selesai.
Sayangnya, tidak untuk minggu ini. Sibuk. Ibu mondar-mandir membawa dua kardus besar dari depan rumah. Membawa bahan-bahan yang ibu pesan secara online. Sudah nyaman duduk, suara ibu melengking, meminta tolong. Aku menghela napas pelan, baiklah. Kututup novel kesukaan, beranjak dari kursi menuju dapur.
Pesanan ibu banyak sekali hari ini. Membuat salah satu makanan khas Jawa Tengah. Kalian pernah mendengar makanan daerah clorot? Tekstur kenyal dengan rasa gula jawa. Uniknya, pembungkus clorot memakai janur muda, dilitkan ke atas sampai menjadi kecil. Mirip terompet bentuknya. Cara memakannya sebenarnya bebas, tapi bagi orang jawa, ditekan ujung kecil bawah clorot, maka akan keluar sendiri, tinggal makan.
“Damay, iris gula jawanya yang tipis-tipis!” Ibu menyuruhku sembari memarut kelapa. Aku mengangguk. Kebiasaan, ibu selalu memilih cara tradisional daripada cara praktis. Padahal, blender ada, santan kemasan banyak tersedia. Kata ibu, cita rasanya berbeda.
Aku melongok keluar. Kenapa tidak ada tukang POS? Inikan hari Minggu.
“Ruki mau datang?” Ibu mengelap keringat. Aku menggeleng, fokus menatap keluar sembari mengiris gula jawa.
“Pacarmu mau datang?”
Aku melotot. “Aku tidak punya pacar!” Mukaku merona.
Ibu nyengir. Memarut kelapa lagi. “Oh, Damay sudah punya pacar?”
“Anu, eh, tidak Bu, jangan salah paham, Damay bukan yang Ibu pikirkan, eh maksudku memang tidak—”
“Ibu percaya sama Damay,” Ibu tersenyum.
Suara parutan menjadi jawabanku yang tidak bisa berkata.
“Paling ya cinta monyet!” Tambahnya sambil tertawa kecil.
Aku menatap gula jawa sebal. Ya masa, monyet tidak salah, disalah-salahin?
“Sudah belum mengiris gula jawanya?” Ibu menatapku.
Aku mengangguk. Nyengir. Bingung akhirnya ibu tahu. Ya, memang tidak pacaran. Tapi, feeling seorang ibu memang kuat. Dia tahu kalau aku dekat dengan seseorang.
“Fokus sekolah terpenting,” Ibu berdiri membawa parutan kelapa. Memerasnya.
Aku ikut meletakkan gula jawa di samping Ibu, memeluknya. “Bu, Damay mungkin perempuan yang tidak pintar, biasa saja. Selalu ada buat Damay ya Bu? Damay serius tidak punya pacar!”
Ibu tertawa. “Mosok? Pilih siapa ibu atau pacar monyet, eh cinta monyet?”
“Ibu mau Damay pacaran sama monyet?” jawabku sembari mendengus.
Ibuku menggeleng. Tertawa. “Kamu mau?”
“Enggak!” Aku mendengus, memilih mengiris gula jawa lagi.
Ibu menghadapkan kepalaku ke matanya. “Damay, Ibu selalu bangga mempunyai kamu. Bapak kamu yang sudah bahagia di atas pasti juga sangat bangga. Mau kamu juara satu, mau kamu juara paling belakang, selagi hatimu tetap lurus, Ibu selalu mendukungmu.” Mata ibu berkaca-kaca. Apalagi aku, mendengar kata bapak, rasanya kenangan itu muncul.
Aku mengangguk. “Selalu ada untuk Damay ya, Bu? Apapun, pasti akan Damay ceritakan ke Ibu,”
“Kecuali kamu pacaran sama monyet, Ibu tidak setuju,” Ibu terkekeh.
Belum sempat aku membalas ledekan ibu, bel rumah berbunyi. Aku berjalan cepat menuju pintu depan. Jangan-jangan surat dari Reihan? Hatiku antusias saat membuka pintu, berakhir kecewa. Bukan. Ternyata tetangga yang membantu ibu.