1'

Maulida Ajeng Priyatnomo
Chapter #7

Pilihan Gila

Hari pertama masuk sekolah setelah izin.

Kelas gaduh. Terbagi beberapa geng. Pertama, geng gosip bagi perempuan, haha-hihi sembari memoleskan lip tint merah muda.

Kedua, tiga cowok bergerombol, melintangkan ponsel, berseru-seru, menepuk pundak teman sebelah, dunia gaming sedang dimulai.

Ketiga, si alim membuka kitab suci, dibaca lirih sembari mengoreksi kesalahan.

Keempat, sekitar lima cewek dan dua cowok duduk berdekatan, menonton film lewat laptop.

Kelima, si tukang ngorok menggelar tikar lipatnya yang tipis (dia sembunyikan di laci meja), berbantalkan tas istimewa penuh iler kering, terlentanglah tiga orang tidur.

Keenam, si kutu buku—aku termasuk. Ketujuh si gabut, entahlah apa yang mereka lakukan.

Lembar kertas ulangan di depanku. Nilai tertinggi hanya lima puluh. Ya mau bagaimana? Lima hari tidak masuk, ditagih ulangan, dikejar tugas, ditanya teman sekelas, apalagi Ruki, nerocos mulutnya. Bilang aku tekanan mental, minta dihibur. Sontak, teman-teman langsung dengan gaya menyebalkan—gaya monyet kalian tahu? Bernyanyi, bersorak, “uu-aa-uu, Damaylia jagoan neon!”

Gila.

Lima hari yang sia-sia. Lima hari yang bodoh. Lima hari yang konyol untuk menangisi sesuatu yang pergi tanpa alasan. Pulpen metalik abu-abu kugenggam. Kupencet, kulepaskan, kupencet, kulepaskan.

“Pulpen itu ada perinya?” Ruki menatapku. Memegang buku soal konspirasi. Tabiatnya.

Aku menoleh. Mengangkat alis. “Maksudmu?”

“Kamu pencet, kamu lepaskan, syarat agar peri keluar? Ibarat teko digosok tiga kali, lalu keluarlah jin ajaib,”

Aku melotot, tidak menjawab. Peri enggak, perih iya. Aku menghela napas melihat nilai merah. Sudah kuduga, tidak akan bisa masuk ke jurusan IPA. Lima ulangan itu, tiga di antaranya pelajaran Fisika, Kimia, dan Matematika. Nilainya di bawah empat puluh. Aku menghela napas lagi. Memencet, melepas, memencet, melepas ceklikan pulpen.

Keributan mulai terjadi.

Geng gosip berlarian tak karuan. Geng gaming menghentikan ‘pekerjaan’ mereka, memasukan ponsel ke kaos kaki. Geng tukang ngorok, tetap ngorok. Geng alim mengakhiri alunan bacaan kitab suci mereka. Geng bioskop dadakan berlarian, menutup laptop. Tertinggalah kakak kelas berdiri di depan. Diikuti empat orang di samping kanan dan kiri. Senior pramuka.

Seorang kakak senior berbadan tinggi dan tegap dengan wajah sangar, tatapan tajam, dan berkulit putih masuk dengan tampang datar—yang aku yakin dia pasti jadi idola. Nah, benarkan? Si penggosip sudah cekikikan melihat kakak kelas itu. Dia melangkah ke belakang. Berdiri menatap ke bawah, ke geng ngorok.

“Bagus, jam kosong guru rapat demi kemajuan otak kalian, justeru tidur siang dengan nikmat!” seru si kakak senior—aku tidak tahu namanya. Tanganya menepuk pundak salah satu geng ngorok.

“Aish, apaan sih! Sonoh pulang duluan aku tidak peduli! Enak-enak lagi mimpi dilayanin piring terbang,” gumam salah satu yang ditepuk pundaknya.

“Piring terbang apa, Tuan?” bisik kakak senior.

“Piring terbang isi makananlah! Masa bulu kebo, dah sonoh kamu pulang duluan!” Kibas salah satu geng ngorok.

Tidak tahan, Kakak Senior mengambil peluit di sakunya.

PRIT! PRIT! PRIT!

Semua geng ngorok kaget lalu terbangun. Linglung tepatnya. Menatap ke samping, ke atas, terhenti. Kakak senior menatap tajam mereka. Tentu, mereka meringis sembari mengelap iler.

“Kalian ke depan kelas, jadi pajangan sampai pengumuman selesai!” Dia melangkah ke depan, diikuti geng ngorok. Mereka saling tuduh menuduh, salah menyalah. Kenapa tidak tidur bergiliran. Begitulah mungkin pikiran mereka.

“Baiklah, seperti surat yang sudah dibagikan, kalian akan dilantik menjadi penegak. Hari ini akan diberikan catatan, apa saja yang harus kalian bawa. Regu kelompok sudah tercantum di kertas,”

“Sekretaris?” tanya kakak senior.

Dua cewek kelasku mengangkat tangan. Hah? Sejak kapan anggota geng gosip jadi sekretaris? Satu tangan terangkat, memang asli sekretaris.

Lihat selengkapnya