Di tengah lapangan dengan panas yang ngentang-ngentang.
“Kalian harus kokoh fisik juga pikiran. Tidak hanya tekad untuk main-main. SERIUS!” Kakak senior PMR berseru di samping tiang bendera. Diawasi langsung oleh pembina PMI tingkat daerah.
Aku diterima. Walau dengan alasan yang super konyol, mereka mau menerimaku dengan syarat, aku bisa lulus melalui tiga ujian dasar. Saat anggota lain butuh tiga minggu seleksi, aku spesial, hanya butuh tiga hari.
Malamnya, sesudah diberitahu akan menghadapi ujian dasar, aku langsung browsing mencari sumber apapun soal kesehatan. Rekor, seorang Damaylia mampu belajar sampai lima jam demi PMR. Setidaknya, otakku benar-benar sibuk.
Paginya, aku mengerjakan soal-soal yang diberikan kakak senior. Nilai 75. Lumayan dengan belajar semalam suntuk rela tidak menyentuh novel. Sehabis ujian soal, malamnya aku kembali belajar praktik cara-cara pertolongan pertama. Bermodalkan video dan guling (aku tidak punya boneka), penerapan praktik kulakukan.
Paginya, hehe ini dia. Aku disuruh berdiri seharian sepulang sekolah di lapangan basket. Mungkin, bagi cewek-cewek lain beruntung, melihat kakak kelas ganteng aduhay bermain basket, melihat keringat-keringat kinclong di dahi, dan kibasan rambut membuat badai di jantung. Aku tidak. Sudah panas, sesekali bola basket mengarahku. Apalagi harus mengawasi bila ada yang terkena bola di kepala.
Sebenarnya, menunggu di pinggir lapangan basket bukan syarat mutlak. Bisa praktik langsung di depan kakak senior menggunakan boneka orang-orangan seperti di Mall. Gara-gara jawaban nyeleneh-ku, kakak senior memutuskan menguji ketangguhan dari jawabanku.
Mau tahu? Jangan ketawa tapi.
Saat itu, aku menjawab suka melihat kepala orang benjut dan berusaha menolongnya. Mengobati orang benjut ada sensasinya. Pertama, bisa membayangkan pentolan di kepalanya. Kedua, tidak banyak aliran darah. Ketiga, ini sih karena rasa penasaranku. Benjut itu lunak apa keras kaya batu? Seumur hidup aku belum pernah benjut.
Tiga jam berdiri di samping lapangan, ternyata tidak ada yang benjut. Ya sudah, akhirnya kakak senior memberikan boneka untuk melihat bagaimana teknik pertolongan pertama. Apakah sudah benar atau belum? Bisa bahaya. Harusnya memakai kain lembut untuk luka di kepala, eh pakainya kain keset. Bahaya.
Hari terakhir ujian, kakak senior menguji seberapa besar mentalku agar tidak undur diri sesudah diterima. Pertanyaan mulai, bagaimana bila pacarmu anak PMR? Bagaimana kalau kamu lapar tapi ada temanmu yang terluka? Bagaimana kalau kamu harus tertinggal pelajaran demi kegiatan PMR? Atau ekstrimnya, bagaimana bila kamu salah teknik menolong teman, menjadikan fatal?
Aku diuji kawan. Dan lulus.
Delapan bulan berlalu, aku sudah kelas 11. Jurusan IPS jadi pilihan. Mau bagaimana lagi? Nilai jeblok semua di pelajaran IPA, terutama Matematika, mepet KKM. Tidak masalah, setidaknya ada pelajaran Antropologi, Sejarah, dan Geografi kesukaanku.
Selama delapan bulan juga, fisik, otak, dan mentalku terkuras dan bertumbuh. Sibuk kegiatan PMR, tugas-tugas sekolah, membaca setumpuk novel, dan bersepeda seminggu sekali bersama Ruki mengelilingi Yogyakarta. Berangkat pagi, pulang petang, dan malam sibuk membaca. Lambat laun, tanpa paksaan aku sudah bisa menerima semua kejadian.
Termasuk melepaskan Reihan.
Benarlah kata pepatah: "Patah hati, pesakitan, dan segala sesuatu yang mengganjal tidak akan bisa disembuhkan dengan balas dendam, merasa lebih baik dari yang menyakiti, terpaksa melupakan, selalu ngeyel saat kenangan tiba, parahnya self-harm yang merugikan diri sendiri. Menerima dan bangkit dengan cara menyibukkan diri, justeru menumbuhkan sikap positif untuk diri sendiri."
Olahraga lompat tinggi galah tidak kuteruskan kembali. Bukan Reihan alasannya. Adalah dari diriku sendiri. Sudah kukatakan bukan? Aku ingin suatu perubahan di masa remaja, tak hanya ada di zona nyaman, tapi berani mengambil langkah di luar kemampuan. Ekskul PMR salah satunya. Yang mengharuskanku bisa berinteraksi dan berempati kepada orang lain.
Hari ini, dengan posisi istirahat khas PBB sempurna, aku dinyatakan resmi menjadi anggota perwakilan sekolah untuk Jumbara Tingkat Nasional. Sekolah kami dinyatakan layak dan menang mewakili daerah Yogyakarta. Bangga? Tentu. Bayangkan, semua anggota PMR seluruh Indonesia berkumpul menjadi satu.
“Apalagi Damay, jangan sesekali berkata motivasimu saat masuk PMR, nekat pula mundur dari Pramuka. Kamu tidak bisa bersikap labil, mengambil keputusan spontan lagi. Sudah terlanjur masuk, jangan mundur lagi, mengerti?” Kakak senior berseru padaku.
“Siap!” jawabku sembari bersikap sempurna.
“Baiklah, latihan dimulai!”
Kami, perwakilan sekolah sepuluh orang untuk Jumbara Tingkat Nasional, tepatnya ada di daerah Yogyakarta dekat pegunungan Merapi. Kami, siap memberikan yang terbaik.
Ssst. Kalian ingin tahu tidak?
Sejak masuk PMR, aku jadi suka berlari. Yang ternyata akan menyelamatkan nyawaku 5 tahun ke depan.
*****
Dua truk pengangkut manusia berjajar di pinggir jalan sekolah.
Tempat ekskul PMR yang sekaligus merangkap UKS penuh tas-tas besar. Anggota PMR entah cowok ataupun cewek sibuk dengan seragam masing-masing. Aku senyum-senyum sendiri. Keren sekali seragamnya. Berwarna biru dengan kancing keren di pundak, dua saku di dada, dua saku di masing-masing lengan. Celana model rok berwarna biru yang, ah, pokoknya keren. Topi biru dongker khas PMR sekolah kami, dan terakhir slayer kuning yang terikat di leher. Sepatu? Tetap bertali berwarna hitam.
“Wuidih, Damay, senyum-senyum mau ketemu cowok-cowok ganteng,” ledek salah satu kakak senior perempuan berkuncir dua. Namanya Nata.
Aku nyengir sambil menunjuk bajuku. “Keren sekali seragamnya,”
“Wuidih, keren seragam apa keren si itu?” tanyanya sembari mengkode salah satu teman PMR-ku, cowok.
Aku menoleh. Dia—si cowok itu tersipu malu. “Ha?” jawabku.