1'

Maulida Ajeng Priyatnomo
Chapter #9

1'

Hari kelima di Jumbara.

Hujan. Tidak ada kumpul bersama di tengah lapangan kali ini.

 Lembut. Itu yang kurasakan hujan saat ini. Kalian tahu hujan lembut? Tidak bersuara, tidak terlihat bulatan-bulatan air, seperti embun yang jatuh begitu saja di atas daun, di atas tenda, di atas tanah, mode silent tapi menenangkan, menyegarkan, membuat basah seluruhnya.

Tenda aman dan kokoh. Di bawah tenda sudah disiapkan panitia lapisan papan kayu. Jadi, saat dirasa becek akan sedikit menopang kami. Air tidak merembes ke tenda—apalagi di bawahnya dilengkapi terpal tebal anti air. Anggota cewek merapatkan slepping bag masing-masing. Mengerubung melingkar, di tengah-tengah ada penerangan senter isi ulang.

“Kak, maafkan aku sungguh,” ucap salah satu anggota cewek—adik kelas menatap kak Nata. Matanya berair.

“Oi, sudah berapa kali kamu meminta maaf? Ada yang membuat catatan turusnya?” Kak Nata berseru, melihat kami satu persatu.

“Astaga, lama-lama kamu mirip Damay, selalu minta maaf walau enggak salah”

Aku menatap kak Nata. Menunjuk diri. Aku lagi.

“Hei!” seru kak Nata lantang.

Kami reflek menatap Kak Nata.

“Kalau kalian berpikiran lomba hanya soal benar salah, menang kalah, hadiah dan tangan kosong, kurasa kalian balik aja buat lomba sendiri menangkan hadiahnya sendiri,”

Kami terdiam. Termasuk adik kelas yang bertanya, menunduk dalam.

“Aku akan merasa gagal menjadi ketua di sini, apabila kalian hanya berambisi soal kemenangan. Bah, lupakan Pembina yang selalu nerocos untuk menang, menang, dan menang. Lupakan! Mentang-mentang dia pernah ikut jadi relawan PMI di dunia, semena-mena saja menyuruh kami hanya saklek soal menang,” Kak Nata mendengus.

“Nih, aku juga gak mau dibilang bijak, gak mau jadi orang tua, maunya awet muda, kalaupun jadi nenek-nenek nanti, tetep jadi nenek-nenek gaul!”

Kami tertawa kecil. Asli, kak Nata pintar dalam mengubah emosi anggota dalam sekejap. Entah itu di sini, di sekolah, ataupun saat latihan. Beruntunglah mempunyai ketua seperti kak Nata, bertanggungjawab dan gaul.

“Inget! Kita semua di sini buat senang-senang, ya gak?” Kak Nata mengangkat alisnya.

“Dari kalian seneng di sini, enggak terpaksa, kalian akan bergerak leluasa dan maksimal!” Kak Nata manggut-manggut.

“Kita sudah melewati lima hari perlombaan loh, masak kalian cuma memikirkan kesalahan terus? Kapan kalian menikmati lomba ini hei?”

“Soal kita menang atau kalah, itu nanti, nggak usah dipikir. Mending mikir makan, lapar aku,” Kak Nata mengusap perutnya.

“Kalau sampai kamu minta maaf lagi, kusuruh sebulan masak di eksul PMR!” Kak Nata nyengir ke adik kelas itu. Dia lumayan lebih baik sekarang, tersenyum tipis ke kak Nata.

“Nah gitu dong, nyengir lebar lagi biar gak kalah sama kuda,”

Aku tertawa. Kak Nata memang pemimpin terbaik, bagiku. Bisa membangkitkan kembali semangat anggota cewek dengan cara yang unik. Lawakan garing.

“Enaknya kalau hujan mah makan mie rebus. Iya gak sih?” celetuk salah satu anggota cewek. Adik kelas.

“Iya benar, adakah yang mempunyai kekuatan super api?” Kak Nata bertanya. Tuh kan, mulai lagi ‘drama’.

“Ya kali Kak, eh kentut kan gas?” Adik kelas menjawab tanpa dosa.

Kak Nata tertawa pelan. “Lalu? Siapa yang bisa mengeluarkan terus menerus kentut tanpa ada spasi? Kalau ada bolehlah di coba, sudah tersedia korek ini,”

Semua anggota cewek tertawa. Aku ikut tertawa, duduk menghadap keluar tenda. Melihat hujan yang setenang ini. Apalagi kalau kalian melihat hujan lembut di siang hari, timpaan matahari pada bulir lembut hujan akan terlihat. Menurutku, itu pemandangan spektakuler.

“Wuidih, Damay jadi anak indie,” Kak Nata nyeletuk. Mulai lagi.

Aku menoleh ke belakang. “Terus kalau nelayan yang lihat hujan, petani tadah hujan, peneliti hujan, apa aja deh yang berhubungan hujan anak indie gitu?”

Kak Nata berdeham. “Kalau orang lagi kangen emang sensi ya?”

Aku menaikkan alis kiri. “Pengalaman banget nih?” tanyaku.

“Tentu, pengalaman melihat langsung,” jawabnya.

“Maksudnya?” tanyaku lagi.

Kak Nata berdeham. “Makan donat di ekskul Pe Em Er,”

“Cakep—” jawab anggota cewek kompak, kecuali aku.

“Jangan lupa pakai sambalnya,”

Sejak kapan coba donat pakai sambal?

“Cakep—” Mereka tetap menjawab walau tak masuk akal.

 “Aduhai si Eno udah baper,”

“Cakep—”

 “Si Damay tetap tak pekanya,”

Anggota cewek tertawa keras sekali, kecuali aku mendengus menatap kak Nata.

“Ih, Damay, gitu aja sewot, tapi memang terbukti loh Damay,” jawab Kak Nata yang masih tertawa.

“Iya Kak, waktu itu aku lihat Kak Eno duduk di depan ruang ekskul, kukira ada hari tambahan, jebulnya nunggu Kak Damay lewat doang,”

Anggota cewek tertawa lagi.

“Lagi nih Kak May, paling jos gandos. Ingat nggak waktu Kak Eno memberi cokelat ke Kak Damay dengan alasan nggak suka? Padahal Kak Eno tahu Kak Damay kelaparan,” Adek kelas satunya—yang tadi minta maaf terus berseru.

“Ini sih bukti terkuat,” Kak Nata manggut-manggut.

“Tahu sendiri aku sama Damay dekat di ekskul, nah, tetiba Eno nunggu di parkiran, lah aku gak paham ngapain dia nunggu, kukira mau tanya soal PMR. Ternyata—” Kak Nata memelankan suaranya. Membuat anggota cewek mendekat ke Kak Nata. Kecuali aku.

Lihat selengkapnya