Tepuk tangan riuh saat penutupan Jumbara.
Kak Nata mengangkat tinggi-tinggi piala yang kami peroleh. Juara dua se-Nasional. Teman-teman menangis, memelukku bersamaan. Regu cowok mendapatkan juara tiga. Mereka juga berdiri di depan, satu deret dengan Kak Nata.
Kak Nata berlari mendekat, disambut anggota cewek dengan tangis haru. Mereka membawakan piala ke luar lapangan sembari bersorak yel-yel. Aku tersenyum di belakang. Memegang kuat saku rok. Menghembuskan napas perlahan.
Nay masih dirawat di rumah sakit di dekat lokasi, tidak lagi di Puskesmas. Teringat kembali kejadian kemarin. Aku terbangun di sebelah Nay yang masih lemah terbaring melihatku. Dia di-infus. Aku memegang tangan Nay erat. Terisak lagi.
“Maafkan aku, Nay,"
Nay menggeleng, tersenyum. “Bukan salah siapa-siapa, Damay,”
“Andai aku menuruti saranmu, kita—”
Nay menggeleng lemah. Mengelus kepalaku. “Tidak May, tidak salah siapa pun,”
Hening sejenak. Langkah masuk ke ruangan. Seorang perawat.
“Bagaimana keadaan kalian hari ini?” Perawat bertanya ramah.
“Aku sudah membaik, hanya sedikit pening saja.” jawabku.
“Nah, untuk Nona Ranaya, kamu harus dirawat lanjut ke Rumah Sakit. Ambulans sudah siap,”
Aku menatap perawat. “Sebentar, lantas siapa penanggung jawab kami? Yang mengurus administrasi kami?”
“Oh, Dokter Alfian.”
Aku diam. Jadi dia seorang dokter? Jantungku berdegup kembali. Tanganku merogoh saku, tempat tanda pengenalnya tersimpan.
“A-apakah aku boleh bertemu dengannya?” tanyaku. Tanganku terasa dingin.
“Ah, sayang sekali setelah menolong kalian, Dokter Alfian langsung pergi ke bandara, pulang ke tempat asalnya,” jawab perawat sambil mengecek infus Nay.
Aku diam. Jadi dia bukan asli dari sini? Lantas, bagaimana aku mengembalikan tanda pengenal ini?
“Apakah dia akan kembali?” tanyaku lagi.
Perawat menggeleng. “Dia sudah menyelesaikan tugas coas. Tadi malam juga perpisahan antara Dokter Alfian dengan kami. Memang ada apa?”
Aku menggeleng. Pipiku merona. Memegang erat tanda pengenal di saku. Nanti, pasti ada cara tersendiri aku bilang terima kasih.
“Apakah sakit Nay parah sampai harus dibawa ke Rumah Sakit?” tanyaku.
Perawat tersenyum. “Dia mempunyai asma. Luar biasa dengan kalian datang tengah malam dengan baju basah kuyup. Kalian tersesat? Ban sepeda kalian bocor? Apakah kalian ikut kegiatan PMR?”
Aku menunduk. Air mataku keluar lagi mengingat bagaimana kami bisa selamat. Sungguh, keajaiban bisa selamat dengan Nay yang mempunyai riwayat asma—tidak mudah bagi seorang pengidap asma bisa bertahan dengan keadaan lelah dalam jangka lama. Mengucap syukur selalu aku rintihkan.
Aku menatap Nay. Dia ikut menangis. Perawat menatap heran.
“Kalian baik-baik saja?”
Aku menangis lebih keras. Merasa sangat beruntung. Kehidupan kedua diberikan. Entah apa rencana-Nya memberikan waktu yang lebih panjang. Nay tergugu, memegang tanganku erat. Mungkin dia merasakan hal sama. Tidak percaya bahwa kami bisa selamat.
Perawat memelukku. Mengelus pundakku. “Kalian kuat. Kalian bisa sampai di sini. Kalian tangguh. Menangislah sesuka hati kalian.”
Aku memeluk perawat lebih erat. Nay masih tertidur lemah, mengeratkan genggaman. Perawat melepaskan pelukannya. Tersenyum.
Aku mengelap air mata. “Bisakah aku diantar ke perkemahan PMR berada?”
Perawat mengangguk. “Acara Jumbara bukan? Tentu, satu setengah jam dari sini.”
Aku kembali ke perkemahan. Langsung disambut histeris oleh panitia dan seluruh anggota. Kak Nata menangis sambil memelukku bersama anggota cewek lainnya. Anggota cowok ikut mengerubung di sekitar kami, menangis. Nay tidak kembali ke perkemahan. Dia langsung dibawa ke Rumah Sakit, tentu pihak Puskesmas sudah memberi tahu ke panitia.
Aku menghela napas keras. Menatap langit dalam. Dulu, aku selalu menatap langit karena tejatuh bangga di atas matras empuk. Kali ini berbeda. Banyak pertanyaan terangkai sendiri.
Atas mengapa aku dan Nay hanyut?
Atas mengapa aku bisa selamat ‘secara ajaib’?
Atas mengapa aku diberi kehidupan kedua?
Atas mengapa jantungku berdegup hanya melihat seseorang yang belum pernah kukenal?
Aku terdiam. Menunduk. Apakah memang sengaja Alam menyelamatkanku agar bertemu dengannya? Dia yang aku saja tidak kenal. Dia yang bertemu denganku hanya waktu singkat satu menit. Apakah memang ada jalan kebetulan atau memang sudah dicanangkan?
Lantas, apa rencana sesungguhnya aku bertemu dengannya?
*****
“Eh, mantap betul puding vanilla ini, kamu mau?” Ruki menyodorkan puding berwadah kecil.
Aku menggeleng. Sibuk makan seblak ceker, menu baru dari kantin.
Kantin sekolah terletak di belakang kelas, tepatnya di dekat parkiran. Tidak hanya satu, ada lima kantin yang saling berjajar. Unik pembagiannya. Ada khusus makanan sea food, khusus jajanan tradisional, jajanan ringan, makanan berkuah, sampai makanan berat. Ibu kantin saling membantu, tidak merasa tersaingi.
Ruki menyendok kuah seblak cekerku. Aku melotot padanya.