1'

Maulida Ajeng Priyatnomo
Chapter #11

Aku Tahu Sosial Media-nya

Di dalam kamarku yang nyaman.

Kertas penuh coretan. Pulpen hitam dan merah sebagai penari di atasnya. Dan seseorang manusia aneh, sedang memaksakan diri membuat puisi. Jelas manusia aneh itu aku.

Aku menghela napas keras. Mencoba menulis lagi.

“Di sendumu aku melihat,” Aku mencoret tulisanku. Mulai menulis lagi.

“Di senjamu aku berteduh,” Aku mencoret lagi. Mana ada senja meneduhkan?

Aku menghela napas, mencoba menulis lagi.

“Air beriak tanda tak dalam,” Eh? Kok jadi peribahasa?

Aku beranjak dari kursi, ambruk terlentang di atas kasur. Menatap langit-langit kamar. Ternyata menulis itu tidak segampang yang aku pikirkan. Dari zaman bahuela sampai sekarang, keterampilan menulisku memang selalu pas-pasan. Mepet KKM.

Sebenarnya, aku tidak se-ambisius itu. Ada alasan, kenapa aku mencoba menulis. Ada rahasianya. Karena puisi paling pendek, jadi kupilih saja tanpa pikir panjang.

Kalian ingin tahu?

Berawal dari sosial media.

Sepulang dari menonton, terdiam menatap langit-langit kamar—seperti sekarang. Memandang tanda pengenalnya. Terlintas ide untuk coba-coba mencari dia di sosial media. Sekali hentak, aku berdiri, mengambil ponsel yang biasanya hanya kupakai untuk mendengarkan lagu. Membuka salah satu media sosial, Antagram.

Search: Alfian Firdaus.

Aku menelan ludah. Jari telunjukku bergetar. Menarik napas dalam, mengeluarkan perlahan.

Klik!

Nah, kalau kalian ingin melihat orang kurang kerjaan mencari ratusan nama yang sama di media sosial demi tahu media sosialnya, akulah orangnya. Tidak mudah mencari dia. Satu nama, aku klik, menatap fokus mencari identitas yang mudah dikenali. Fotonya. Namun, nihil. Tak ada foto profilnya. Tidak menyerah, kucari lagi sampai ke seluk beluk ke foto yang ditandai.

Satu jam kemudian.

Aku melemaskan jari. Masih fokus ke layar ponsel. Sudah ada sekitar dua puluh lima nama sudah kutelusuri. Nihil, belum ketemu.

Dua jam kemudian.

Piring makan malam ada di meja belajar. Aku tetap fokus mencari namanya. Sekitar lima puluh nama sudah kutelusuri. Nihil juga.

Tiga jam kemudian.

Mulutku penuh remahan roti. Kukunyah sampai pipi menggelembung. Tetap mencari. Benar-benar susah mencari sosial medianya. Sekitar seratus nama sudah kutelusuri. Nihil.

Aku meletakkan ponsel sejenak. Memijat mata yang blereng melihat tulisan. Menghela napas keras. Keras kepala sekali diriku.

Bisa jadi, kan, dia bukan tipikal orang yang suka ber-medsos ria? Gugur sudah harapan untuk tahu asalnya.

Sebentar

Bukankah dia calon dokter? Okey, umurku sekarang enam belas tahun dan perkiraan umurnya— aku menghitung menggunakan jari. Mungkin sekitaran dua puluh dua tahun. Aku menelan ludah. Berarti saat aku lahir, dia sudah kelas satu SD? Saat aku kelas satu SD, dia sudah kelas satu SMP? Oi, gila betul kamu Damay.

Yang masih menjadi pertanyaanku adalah: mengapa jantungku berdegup cepat, padahal baru bertemu pertama kali. Semua tampak klise. Warm. Lembut. Dan dia berlari melambat ke arahku—walau sebenarnya dia fokus ke Ranaya. Matanya bening, menatap tulus.

Apa itu yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama?

Dia memang cukup tampan. Tapi kalau dibandingkan Eno, yang setiap hari berusaha mendekati, sampai rela berpanas ria menonton festival, memberiku sari jeruk, bahkan mau menemani membeli buku, kurasa Eno pemenangnya. Dengan postur yang tinggi, anak ekskul sepak bola, ditambah dia satu kelompok dengan Ruki di ekskul KIR, lengkap sudah. Pintar, baik hati, tidak sombong, rajin memberi makanan untukku—serius ini, dia selalu memberi setengah jatah untukku.

Apakah Ruki bisa menjawab kebingunganku ini?

Aku menggaruk kepala. Mana mungkin dia paham? Yang dia paham spesies tumbuhan apalah, atau memotong daun di sampah lah, membawa jambu busuk lah, membawa katak untuk dibelah lah, dan lah lah lainnya. Ya, masa aku bertanya soal perasaan, nanti jawabannya, “Sini, aku teliti, tapi hatimu dibelah dulu pakai pisau bedah. Pasti aku kaji secepatnya.”

Buruk.

Baiklah. Aku beralih mencari namanya bukan di Antagram lagi, melainkan di salah satu media sosial yang memang sudah sejak lama tercipta—sejak aku SD sudah ada. Wacebook.

Search: Alfian Firdaus

Aku menghela napas pelan. Semoga ada.

Klik!

Masih sama, banyak deretan nama yang persis. Namun, tidak sulit kali ini. Deretan ketiga dari atas, aku menemukannya dengan foto profil asli. Menyelidiki sampai dalam. Tersenyum tipis.

Akhirnya aku tahu media sosial dan tempat tinggal asalnya.

*****

Bel istirahat

Jaket menutupi kepalaku. Aku Memutuskan untuk tidur sebentar. Tadi malam, aku baru bisa tidur pukul jam empat pagi. Sial. Aku terlambat harus dihukum memunguti daun-daun di sekitaran gerbang. Hukuman telat selesai, urusan lain belum selesai.

Satu jam pertama, guru sejarah killer—tapi aku tetap suka sejarah menyuruh maju ke depan untuk ulangan lisan. Biasanya, aku yang bisa menjawab semua, kali ini gagal. Hanya betul delapan. Gugup dan lelah alasanku.

Satu jam sebelum istirahat, kesialan berlanjut. Pelajaran Matematika. Menyebalkan tidak sih, kalian masuk jurusan IPS untuk menghindar atas nama matematianplesetan Matematika eh, bertemu lagi. Guru Matematika di jurusanku sebenarnya seru, terkadang bercerita perihal yang belum kita tahu. Namanya saja Damaylia. Mau seserius apapun belajar, pasti selalu remidi. Sudah biasa nilai rapot mata pelajaran Matematika selalu pas KKM.

Sudah tahu seperti itu, aku datang kesiangan, dapat bangku paling depan, persis di depan meja guru. Aku mulai malas membuka buku Matematika. Pelajaran ini lagi.

Tahu pelajaran Limit, kan?

Iya, materi paling susah, paling memuakkan, paling aneh. Lah, coba kalian bayangkan, kenapa harus dibuktikan dengan panjang sekali seperti jarakku dengannya (eh?) padahal sudah jelas jawabannya seperti itu. Ambigu.

Nah, sialnya, aku tertidur saat pelajaran limit. Mejaku diketuk oleh guru—panggil saja Pak Dadang menyuruhku maju mengerjakan soal limit. Mukaku cengok. Tidak tahu apa-apa.

Jurus andalan: nyengir.

Alhasil, aku dihukum mengerjakan PR dua kali lipat daripada teman-teman. Mereka cuma cekikikan, meledek, bahkan ada yang memberikan jaket di kepalaku.

“Tidur May, jangan kencan sama Eno mulu!” Ketua kelas meletakkan jaket di kepala.

Aku meliriknya. Ketua kelas, kok pintar gossip. Salah duga lagi.

“CIE...uhuy, pasangan baru nih!” Geng ciwi-ciwi kompak banget kalau soal gossip.

Aku menghela napas, mengangkat bahu. Bodoh amat. Mulai melakukan ritual tidur.

Suara melengking dari pintu kelas terdengar.

“Damay...” teriak Ruki lagi.

Lihat selengkapnya