1'

Maulida Ajeng Priyatnomo
Chapter #12

Anggrek Hitam

Hari minggu yang menyenangkan.

Lebih tepatnya melihat Ruki sebal. Menjinjing sampah popok ke atas. Menatap sebal ke arahku. Aku menahan tawa sambil memunguti sampah lagi. Eno serius sekali memunguti sampah bersama anak-anak yang berputar di sekelilingnya.

Kami ikut ‘relawan’ pembersih sungai.

Jauh hari, setelah aku stalker Wacebook-nya, aku iseng mencari-cari di Wacebook dengan kata kunci ‘relawan’. Salah satu yang membuatku penasaran adalah Relawan Penjaga Sungai. Aku telusuri, menarik juga. Terlebihnya ya karena aku pernah terhanyut, ingin lebih tahu seluk beluk soal sungai.

Aku mendaftarkan diri, mengontak salah satu nomor ponsel yang tertera. Orangnya ramah dan mau menyimpan nomorku. Nah, kesempatan untukku. Mengajak Ruki menjadi ‘relawan’ pembersih sampah, sebagai syarat untukku memaafkannya. Dia terpaksa mau ikut agar kita berdamai. Eno juga ikut. Entahlah, akhir-akhir ini kami bertiga selalu bersama.

Relawan Penjaga Sampah tidak hanya orang dewasa dan laki-laki. Anak-anak, para remaja, bahkan ibu-ibu ikut juga. Tentu, dengan musim peralihan seperti ini, penanggungjawab acara dan pengurus sudah memperhitungkan secara matematis.

Segerombolan mahasiswa memakai jaket almamater ikut turun juga ke sungai. Mereka melepaskan jas, menjinjingkan lengan, menekuk celana, lantas ikut ke pinggiran sungai mengambil sampah. Kutebak mereka adalah mahasiswa dari Dosen pendiri Komunitas Relawan Penjaga Sungai.

Ruki mendekat padaku. Berbisik. “Kamu sudah maafin aku belum?”

Aku diam, sok sibuk mengambil sampah-sampah permen yang masih banyak. Kurang kerjaan memang. Sudah menongkrong di jembatan, ditambah pula membuang sampah plastik permen ke sungai. Maunya apa coba?

Bau popok tercium di hidungku. Sifat Ruki mulai kumat lagi.

“Bau tau!” Aku menutup hidup dengan lengan.

“Makanya jawab kalau orang lagi tanya!” Ruki melotot. Aku melirik sebal.

“Kamu sudah memaafkanku belum?” tanyanya lagi.

 “Iya.” Aku menatap sebal ke sampah plastik minuman. Sungguh kurang kerjaan betul orang yang membuah sampah ke sungai.

“Kamu enggak tulus!” serunya.

“Iya Ruki yang paling jahil sealam gaib.” Aku menatapnya. Menghela napas keras.

Ruki melotot lantas nyengir. “Nah, gitu dong. Berarti aku enggak memunguti sampah lagi, ya? Aku capek ditambah bau lagi!”

“Ya udah, aku enggak maafin. Cancel.”

“Ih, banyak mau deh kamu May!”

“Bodo amat!”

“Hei itu dua remaja cewek yang ribut karena cowok, naik! Mau hanyut kalian?” Seseorang berteriak dari atas.

Aku dan Ruki menoleh bersamaan ke sumber suara. Dosen itu. Masih muda, mungkin seumuran dengannya. Eh? Kenapa aku jadi ingat dia lagi?

“LEKAS NAIK HEI!” Perintah Dosen muda itu.

Aku dan Ruki langsung beranjak naik membawa kumpulan sampah di karung.

*****

“Jangan hanya maunya yang enak saja. Piknik cuma di sudut kota yang menyenangkan. Aku yakin, para pelancong pasti hanya ingin melihat keindahan Yogyakarta. Malioboro, Keraton, bangunan tua, Museum Sonobudoyo, Tamansari, Candi-Candi, makanan Antagramable, Mall besar, dan masih banyak. Apalah kata mereka bila melihat sungai kotor seperti ini? Pergi tidak peduli,”

Dosen muda itu menghela napas keras sambil mengacak rambutnya.

Aku dan Ruki menunduk. Iya tersindir soalnya. Eno masih saja dikerubungi anak-anak.

“Aku yakin sekali, mahasiswa pecinta alam pasti ribuan. Kebanyakan dari mereka fokus soal gunung, mata air, dan laut.”

“Sungai memang remeh. Namun, ingat! Tanpa sungai, tanah tidak akan ada penyerapan air. Sumur-sumur akan kering kerontang, membuat manusia akhirnya panik. Bukankah pernah terjadi siklus musim kemarau sampai delapan bulan lamanya?”

Aku dan Ruki mengangguk. Gerombolan mahasiswa mendengarkan serius. Eno sedang sibuk mendiamkan anak kecil yang menangis.

“Bukankah sebegitu fenomenal si sungai? Lagu Bengawan Solo misal, Sungai Kapuas, Pasar Apung, bahkan, sungai pernah dijadikan latar tempat iklan. Hebat kan?”

“Tidak habis pikir dengan orang-orang yang mudah membuang sampah sembarangan di sungai itu niatnya apa sih? Gabut?” Dosen muda itu menghela napas keras. Masyarakat sekitar mengangguk-angguk, beranjak entah ke mana.

“Saat tahu komunitas seperti ini, mereka berlalu saja. Banyak yang memberi alasan, bukan ahlinya soal sungai lah, tidak dapat uang lah, jijik dengan kotoran lah, lah lah, selalu. Lalu aku sebagi dosen sejarah tidak berhak begitu membuat komunitas ini?”

Beberapa mahasiswa cekikikan. Entahlah tertawa karena guyonan garing dosen muda itu atau terpesona.

Dosen muda itu mengacak rambutnya. “Justeru, si pembuang sampah ini yang harus waspada. Ketahuan siapa orangnya, aku tuliskan sejarahnya. Perjalanan hidup si Pembuang Sampah Sembarangan. Sepertinya seru.”

Setengah mahasiswa tertawa. Aku dan Ruki saling tatap. Ya lucu sih, tapi kan aku dan Ruki masih anak SMA? Sudah, jangan tanya Eno. Dia sibuk bermain kucir-kuciran bersama anak-anak.

“Nah, itu lihat! Anak-anak SMA, Anak-anak bocil juga ikut. Kenapa tidak? Banyak alasan memang.” Dia menunjuk Eno dan anak-anak. Wajah Eno polos menatap Dosen muda. Aku dan Ruki menahan tawa.

“Perbaikan untuk alam dimulai dari sekitaran, apanya yang sulit? Nanti, kalau Bumi mulai panas, kerusakan di mana-mana, baru sadar. Tak usah jauh-jauh untuk memindahkan manusia ke planet Mars, cukup berusaha menjaga alam ini sajalah. Tidak membuang sampah di sungai misalnya.” Dia menatap sungai.

Kata-katanya langsung masuk ke dalam hati. Ada benarnya juga. Saat aku scroll dinding Wacebook-nya, aku melihat petualangannya ke pelosok desa untuk memberikan pelayanan kesehatan secara gratis, tersebesit pertanyaan di dalam hati. Buat apa? Bukankah itu bukan urusannya yang masih sebagai mahasiswa?

Pernahkah kita berpikir untuk apa hidup? Bukankah Tuhan pengendali Kuasa atas kehidupan ini? Mengapa Tuhan tidak menciptakan manusia di Surga saja, kalau melanggar aturan tinggal masukan ke Neraka. Selesai. Apa susahnya Tuhan melakukan itu?”

Tuhan mempunyai rencana yang lebih indah dari sekedar pengabdian. Dia menciptakan manusia dengan maksud tertentu. Tentu, kita tidak akan pernah tahu jawabannya dari manapun. Namun, kita bisa mendapat jawabannya dari mata dan hati kita.”

“Mata untuk melihat apapun yang terjadi. Hati untuk merasakan apa yang terjadi. Saling bertemu akan perbedaan, bertemu antara kehidupan yang lurus dan berkelok. Kehidupan hitam dan putih. Aku berpendapat bahwa, kehidupan tercipta untuk belajar satu sama lain. Memberi dan mengisi kebermanfaatan satu sama lain.”

Lihat selengkapnya