1'

Maulida Ajeng Priyatnomo
Chapter #13

Nilai Matematikaku 100

Sejak aku tahu asal dari mana bunga anggrek hitam.

“Kamu itu sok sibuk! Lihat, Matematika jeblok lagi? Astaga, Damay!” Ruki menggelengkan kepala. Menyedot jus melon.

Aku mendengus kesal. “Dari awal aku emang nggak suka Matematika, Ruki! Toh, apa salahnya aku nggak bisa matematika?”

“Masalahnya, ini pelajaran peluang. GAMPANG BANGET, DAMAY!” Ruki menekan suaranya.

Lapangan ramai. Pertandingan sepak bola antar kelas sudah dimulai. Tidak hanya sepak bola, tapi ada pertandingan basket dan voli. Nah, saat berlangsung class meet, pertandingan grand final baru dipertontonkan secara menyeluruh. Guru-guru ikut duduk menonton, wasit dari guru olahraga, dan semua siswa akan berkumpul ramai di lapangan.

Sore ini, pertandingan semi final sepak bola antara kelasku dan kelas Ruki. Sorak horai terdengar sampai ke telinga. Pertandingan sepak bola diadakan setelah jam pelajaran selesai. Jadi, mereka berguling-guling di rumputan kurasa melampiaskan susahnya pelajaran di kelas. Mungkin, juga mendapat nilai merah di ulangan.

Setiap kelas mempunyai yel-yel sendiri. Palah, biasanya antar kelas akan saling memojokkan demi mendukung timnya. Beda antara aku dan Ruki. Tidak peduli siapa yang menang atau kalah. Memilih duduk di bawah pohon ketapang—masih di sekitar lapangan, menonton sambil nyemil adalah pilihan terbaik.

Ruki iseng bertanya nilai Matematika—mentang-mentang nilai Matematikanya bagus. Apa karena aku sering bertanya soal Matematika?

“Iya, gampang banget buat kamu, jungkir balik buat aku!” jawabku sambil mendengus.

Ruki menggoyangkan jari telunjuk di depan wajahku. “Masalahnya, kamu sudah berapa kali remidi Matematika? Mapel Matematika syarat ujian, loh! Kalau kamu nilainya remidi terus, palah di bawah lima, wassalam. Kamu akan susah masuk Universitas!”

Aku menelan ludah. Benar juga. Mari kita hitung. Kelas satu semester satu tidak pernah remidi, semester dua selalu remidi. Kini, kelas sebelas hanya awal-awal tidak remidi. Itupun karena guru PPL berbaik hati mengajari.

Aku nyengir. “Kalau tidak remidi matematika, apakah bunga anggrek hitam itu untukku?”

“TIDAK!” Ruki menyedot jus melon lagi.

“Kenapa?”

“Justeru aku yang harusnya bertanya. Sejak kapan kamu menyukai bunga?”

Skatmat! Mukaku mulai merona.

Ruki berhenti menyedot. Menatapku. “Sejak kapan seorang Damaylia merengek meminta bunga?”

Aku tidak bisa menjawab.

Ruki memperbaiki posisi duduk ke arahku. Menaikkan alis. “Jangan-jangan—”

“Aku tidak menyukai siapapun saat ini, sungguh!” jawabku bohong sambil mengacungkan tangan ‘suer’.

Ruki tersenyum simpul. “Padahal aku enggak tanya,”

Mukaku semakin merona. Teriakan histeris dari kelasku menggema. Aku ikut bertepuk tangan, berseru.

“Kamu tidak bisa mengalihkan pembicaraan, Damay!” Ruki berbisik padaku.

“Apaan sih! Tuh, kelasku lebih unggul. Sepertinya, kelasmu bakal kalah,”

“Aku tidak peduli kelasku menang atau kalah. Pertanyaanku tetap sama. Kenapa kamu ingin bunga anggrek hitam?”

“Ya bagus saja,”

“Sejak kapan kamu menyukai bunga?”

“Aku kan cewek?”

Ruki diam. Menghela napas. “Sejak kamu botak saat TK sampai tumbuh rambut sekarang, aku hapal betul mimikmu, Damay. Kamu tidak bisa berbohong!”

“Loh, memang aku salah menyukai bunga?”

“Puisi-puisi itu,”

“Aku salah juga menulis puisi?”

“Kamu mau menjadi relawan yang langsung terjun ke sungai bau,”

“Salahkah aku mencoba hal baru?”

“Dan, sekarang bunga anggrek hitam—”

“Memang aku—” Aku berhenti menjawab. Ruki menatapku dalam.

“Siapa Damay?”

Aku menelan ludah. Gawat kalau Ruki tahu. Namun, kami memang sudah bersahabat lama dan harus terbuka satu sama lain.

“Aku yakin bukan Eno.” Ruki melihat dengan tatapan menyelidik.

“Siapa apa, Ruki?” tanyaku pura-pura tidak tahu.

“Siapa yang—”

Mata Ruki berkaca-kaca. “Siapa yang bisa membuatmu menjadi seperti ini?”

“Maksudmu?” Aku mengangkat alis.

“Saat itu, selama lima hari, aku selalu menoleh ke bangku kosongmu. Setiap hari aku menunduk. Merasa bersalah tidak bisa mencegahmu dengan cowok pipi bolong itu. Setiap hari, aku di depan pintu kamarmu. Menanti kamu membukakan pintu, cemas dengan keadaanmu yang tidak mau makan,”

Ruki menghela napas. Matanya berkaca-kaca.

“Jujur, aku tidak tahu rasanya patah hati. Terkadang aku mengerutukimu, betapa lebay-nya kamu sampai mau jatuh sakit hanya karena memikirkan seseorang yang tidak pantas dimiliki. Namun, sekarang lihatlah!”

Ruki tersenyum simpul. “Aku yakin ada seseorang yang bisa merubahmu seperti ini. Siapa, Damay?”

Aku tidak bisa menjawab.

“S-i-a-p-a?” tanya Ruki perlahan.

Apakah harus aku ceritakan semuanya ke Ruki? Atas pertemuan itu. Atas siapa dia. Atas perasaan ganjilku muncul. Apakah Ruki berhak tahu?

*****

 “KAMU, GILA APA SUKA SAMA OM-OM?” teriak Ruki.

 Aku membekap mulutnya. Tuh kan, geger dia. Heboh lagi.

Mereka, si pemain dan penonton sepak bola sempat menoleh ke arah kami. Pertandingan telah usai, dimenangkan oleh kelasku. Ruki mana peduli dengan muka kusut teman-temannya. Dia lebih tertarik mendengarkan ceritaku. Walau, aku belum cerita sepenuhnya.

“Mulutmu itu bisa enggak, sih, disumpal?” Aku mendengus kesal.

“Sebentar,” Ruki menarik napas, menghembuskan perlahan, “Damay, kamu bercanda, kan? Pasti kamu termakan cerita-cerita dari penulis aneh Luin, kan? Ngaku kamu!”

Aku menatap datar. Kesal.

Lihat selengkapnya