Ting...Ting...Ting...
Bel di pintu Toko Bunga Kapem berbunyi. Ruri membuka dengan girang, membawa tumpukan buku ilmiah. Eno menyusul di belakangnya, membawa proposal penelitian. Aku, santai, masuk saja. Aku tidak ikut ke halaman belakang. Berhenti di depan rak unik dengan tanaman rambat yang berpilin.
Aku menyentuh semua buku tua. Tebal-tebal. Rata-rata berwarna hitam dan hijau. Selebihnya, paling berwarna ungu. Aku menarik salah satu buku. Ugh, berat juga. Kubawa dengan kedua tangan, menuju meja antik.
Hari Selasa, disaat liburan lumayan menyenangkan juga. Apalagi, toko buku ini cukup masuk ke dalam untuk bisa ditemukan. Jarang ada yang mau kemari. Gawat sekali, kalau sampai anak Antagrambale tahu. Tidak heran, plang bertuliskan “Dilarang berfoto di toko ini!” Pas sekali.
Kuletakkan buku berat nan aneh itu. Cover-nya bergambar lukisan abstrak yang aku saja tidak tahu apa maksudnya. Bulat-bulat dengan aksen ungu dan hijau. Kubuka perlahan.
TUDUNG-TUDUNG BUKAN SARUNG
Dahiku mengernyit. Maksudnya apa? Tudung biasanya terbuat dari anyaman bambu, kan? Mengapa ada tulisan bukan sarung? Ya, ya benar sih. Aku menggaruk kepala. Baiklah, kubuka tulisan selanjutnya.
Diam, diam, diam, diam, dalam. Diam, diam, diam, diam, dingin. Diam, diam, diam, diam, basah. Diam, diam, diam, diam, sorot mata.
HAH? Mulutku menganga. Ini apa lagi? Buku seukuran A4 hanya berisi kalimat itu? Dengan banyak kata diam dan tanda baca koma. Aku tidak paham.
Tidak menyerah, aku buka lembar selanjutnya.
Sinar, sinar, sinar, sinar, kamu melihat. Sinar, sinar, sinar, sinar, kamu hidup. Sinar, sinar, sinar, sinar, pintu. Sinar, sinar, sinar, sinar, gelap.
Kututup buku itu. Menghela napas keras. Pertama, judulnya sudah membuat bingung. Kedua, lembaran pertama sudah membuat pusing. Ketiga, tambah pusing. Aku yakin, sampai lembar ke belakang juga tambah membingungkan.
Jangan-jangan, semua buku yang tertera di rak sama absurd-nya?
Aku bergegas mengembalikan buku itu. Mengambil buku lain.
“Damay!” Ruki berteriak.
Belum juga aku membaca, Ruki memanggil. Kusinggahkan kembali buku, beranjak ke halaman belakang.
“Nah, ini Pak yang ngotot ingin bunga anggrek hitam!” Ruki nyengir. Dia sibuk mencoba ‘teknik’ penelitiannya bersama Eno. Entahlah, memakai botol-botol kecil bekas obat.
“Fokus, Ruki! Harus pelan-pelan memasukkan ke dalam botol,” Pak Satu memberi aba-aba.
Ruki mengangguk. Dia mulai memindahkan ‘bibit anggrek hitam’ dengan hati-hati. Eno, mah, jangan ditanya. Fokus sekali dia.
“Mengapa kamu ingin memiliki bunga anggrek hitam, Nak?” tanya Pak Satu. Tetap mengawasi Ruki dan Eno memindahkan bibit.
Mukaku merona. Terdiam tidak menjawab. Alasan apa yang logis, yang tidak mengarah soal kebucinan?
“Dia memang anak aneh, Pak. Apa-apa dikoleksi. Bahkan, surat-surat tulisan jelek juga dikoleksi,” Ruki nerocos. Sialan, soal koleksi persuratanku dengan Reihan dulu dibahas.
“Memang surat apa?” Pak Satu menatap Ruki.
Perlahan Ruki memindahkan bibit ke dalam botol. Menoleh kepadaku, menepuk dahi tahu aku melotot. “Eh, anu, surat deklarasi!”
Eno berhenti memasukkan bibit. Menatapku. Aku memutarkan bola mata. Sekali ember, tetaplah ember.
“Surat deklarasi? Memang dia menemukan surat sejarah yang tidak pernah dituliskan di buku sejarah?” Eno bertanya.
“Anggap saja seperti itu,” Ruki kembali fokus memindahkan bibit. Tinggal lima lagi. Aku tidak berani membantu—bisa-bisa mati semua bibit, karena ini penelitian mereka terakhir. Setelah itu, akan dibuat menjadi produk di sekolahan, bersama pembimbing—guru kimia mereka.
Delapan bulan berlalu, penelitian Ruki dan Eno diterima. Ditandatangani proposalnya. Sekarang, tinggal mereka melaksanakan pelaksanaan dari proposal yang diberikan. Paling tidak, butuh enam bulan untuk melaksanakan penelitian yang tidak main-main ini.
Tentu, kami sudah naik kelas dua belas. Masih semester satu, ada pemakluman dari guru-guru—karena, penelitian ini masuk tingkat nasional. Mau juara atau tidak, tetap akan dilanjutkan lebih serius. Kesempatan emas bagi Ruki dan Eno.
Penelitian ini prosesnya juga cukup panjang. Pertama, harus mengetahui apakah dengan ‘teknik’ yang ditawarkan, sesuai dan berhasil. Jawabannya, berhasil. Kedua, saat tahap pertama berhasil, maka tinggal lanjut perkembangbiakan dengan ‘teknik’ itu. Ketiga, setelah bunga berkembang, baru dibuatlah obat tanpa menggunakan anggrek hitam aslinya—janji Ruki ke Pak Satu.
Pak Satu menurutku salah satu keajaiban dunia. Dia adalah pemilik toko, perancang arsitektur toko ini, sekaligus tahu banyak sekali soal pengetahuan. Bahkan, walaupun toko ini terlihat ‘aestetik’, tapi dia tahu soal teknologi. Malah, terkadang memberikan asumsi-asumsi bagaimana teknologi di masa depan.
“Kalau benar, surat deklarasi yang dikoleksi Damay, itu sesuatu sejarah yang tak dituliskan di masa depan, akan menjadi penting sekali. Kalian ingin tahu, mengapa ada mobil, motor, pesawat, dan teknologi lainnya?”
Nah, kan, mulai lagi ‘pembelajarannya’ soal teknologi.
“Hanya ada dua. Sejarah dan kesulitan.”
Aku menoleh ke Pak Satu. Aduh, ini otakku yang lemot, atau memang Pak Satu bahasanya tinggi sekali. Aku menoleh ke Ruki dan Eno. Mereka manggut-manggut. Fix, otakku yang lemot.
“Tahu roda tercipta? Ya, karena susah membawa gerobak tanpa roda. Didorong terus menggunakan kekuatan manusia. Akhirnya, melihat dari sejarah bagaimana susahnya orang zaman dahulu sebelum ada roda, tercipta lah roda.”
Okey, bisa diterima.
“Mengapa ada pesawat? Karena manusia kesusahan saat menggunakan kendaraan darat, harus bergonta-ganti kendaraan. Bus dan kapal, misalnya. Belum lagi dengan jalanan yang terjal, bukan? Susah. Akhirnya dibuatlah pesawat.”
Aku ikut menggut-manggut, sama persis seperti Ruki dan Eno. Lama-lama aku bisa menjadi anak IPA dadakan.
“Tahu mengapa Bluetooth tercipta? Dugaanku, saat era flashdisk, penggunaannya susah, harus ditancap ke sana kemari, era inframerah apalagi. Maka, terciptalah blueetoot. Sistem kirim-mengirim data menjadi lebih mudah. Data bisa terkirim lebih cepat,”
“Hingga, suatu saat nanti, bisa saja tubuh manusia dikirim dengan mudah dari satu tempat ke tempat lain dengan waktu yang sangat cepat,” Pak Satu wajahnya serius.
“Namun, semakin kemudahan didapat, semakin pula kemunduran yang terjadi,” Pak Satu menghela napas.
Aku mengangkat kedua alis. Ruki dan Eno berhenti manggut-manggut, menoleh ke Pak Satu heran.
“Saat kemudahan terjadi, aku sangat berharap ada ilmu ‘keseimbangan antara sosial, budaya, dan teknologi’ itu sangat penting sekali.” Pak Satu bergumam.
Aku menggaruk kepala. Menoleh ke Ruki dan Eno. Ruki mengangkat bahu, melanjutkan memasukkan bibit ke dalam botol kecil. Eno tersenyum lebar kepadaku, melanjutkan memasukkan bibit. Aku menoleh lagi ke Pak Satu.
“Suatu saat, di antara kalian, pasti akan mengerti, apa yang aku ucapkan tadi,” Pak Satu kembali fokus mengawasi ‘pekerjaan’ Ruki dan Eno.
Sementara aku, masih mematung, memikirkan perkataan Pak Satu.
*****
“Wadaw, kaya nenek-nenek, minumnya teh telang!” Ruki meledek.
Aku tidak peduli soal perkataan Ruki. Kuhirup aroma teh telang. Berwarna biru keunguan. Enak, segar rasanya. Pasti, kalau membaca buku sambil minum teh, ditambah hujan, pastilah melebihi dari anak indie. Eh, aku jadi teringat buku ‘aneh’ itu.
“Tapi, sungguh, ini kopinya enak banget. Padahal, tanpa cream atau tambahan mocca. Kopi apa ini namanya, Pak?” tanya Ruki.
Pak Satu tidak menjawab. Sibuk membuatkan jus jambu biji langsung dipetik dari halaman belakang. Banyak tumbuhan. Ada sayuran, buah-buahan, bahkan kacang-kacangan. Seperti ‘tukang sayur ala kebun'. Mau jambu? Tinggal petik. Mau kacang? Tinggal gali tanahnya. Mau sayur? Tinggal ambil. Enaklah, tidak perlu pergi ke pasar.
Pak Satu meletakkan satu gelas jus jambu untuk Eno. Gelasnya dari kayu. Cangkirku dan Ruki juga sama. Unik memang. Eno mengangguk, mengucapkan terima kasih.
Pak Satu ikut duduk di samping Eno. Tersenyum. “Bagaimana? Segar?”
Kami serempak mengangguk.
“Tentu, mereka aku tanam dengan pupuk alami dan penuh cinta,”
Puitis juga.
“Em, Pak, itu buku apa sih? Kok, dari judul sampai isi-isinya aneh?” Aku teringat keanehan buku.
Ruki dan Eno memasang telinga, tertarik. Pak Satu berdiri, mengambil salah satu buku yang ada di rak. Membawa ke tengah-tengah kami, membuka perlahan.
“Ini dongeng,”
Dahiku mengernyit. Dongeng? Mana ada anak-anak akan membaca dongeng dengan judul dan isi yang aneh? Bisa-bisa palah pusing pembaca. Ruki dan Eno menatap buku, penasaran.
“Cover-nya lucu juga, Pak. Seperti lukisan abstrak.” Ruki nyeletuk.
“Ya, memang lukisan abstrak. Dibuatnya langsung dari jari, bukan kuas.”