1'

Maulida Ajeng Priyatnomo
Chapter #15

Pengumuman Penting


“LIMA METER!” seru salah satu pegawai kain. Aku mengelus telinga, keras sekali suaranya. Ruki tidak henti memegang satu kain, pindah lagi, memegang lagi, pindah lagi, melambaikan tangan, mengkodeku untuk mendekat. Aku memutar bola mata. Aku yang mencari kain, kenapa dia yang rempong. Selalu.

“May, sini!” Ruki melambaikan tangan—kode untuk mendekat.

Dia merentangkan kain ke kulitku. “Hem, kamu cocok warna biru muda. Kenapa, sih, harus abu-abu? Sudah muka sendu, kebaya abu-abu. Sekalian hitam, biar berkabung.” Ruki mendengus. Mencari kain kebaya yang lain.

Empat tahun berlalu. Empat tahun juga memendam soal pertanyaanku. Atas pertemuan dengannya. Atas rindu. Atas semangat motivasi. Atas apapun tentangnya. Bahkan, memengaruhi jurusan kuliah yang aku ambil. Psikologi.

Di saat sela-sela kuliah, aku selalu memperhatikan rombongan mahasiswa kedokteran berjalan. Memakai jas putih, tertawa riang sembari membawa tumpukan buku super tebal. Disaat itu pula, pertanyaanku muncul. Apakah, sekarang dia sudah menjadi dokter di Rumah Sakit? Atau di Puskesmas? Atau palah membuka praktik sendiri?

Usaha selalu kulakukan agar bisa ke kotanya. Naas, belum beruntung. Mulai dari KKN, perlombaan ilmiah, atau penelitian, tetap saja tidak bisa. Alasannya sederhana. Ibuku tidak mengizinkan dan belum beruntung menang. Terakhir, aku mencoba mengirim berkas ke program pengajar di pelosok, tapi tidak ada kabar. Baiklah, nanti akan ada kesempatan lebih baik.

Waktu yang akan memberikannya secara tepat.

Ruki dan aku satu kampus, tapi beda fakultas. Dia masuk jurusan Biologi murni, melanjutkan kesukaannya semasa SMA. Coba, sesekali kalian berjalan saja di samping Ruki. Maka, hanya lima menit kesempatanmu ngobrol dengannya. Dia sibuk sekali. Ikut lomba karya limiah, menjadi asisten dosen, terpilih mahasiswa berprestasi, ditambah sibuk mengurus untuk persiapan lanjut S2.

Bagaimana kabar Eno?

Aku tidak pernah tahu kabarnya.

Sejak pertemuan di pinggir trotoar, buku-buku itu kusimpan. Kubuka satu persatu. Dia tidak omong kosong. Tanda tangan dari penulis favoritku, bahkan pulpen yang bertanda tangan langsung ada. Yang mengejutkan, ada motivasinya.

“Oi, temanmu bernama Eno, benar-benar kalap meminta tulisan motivasi langsung dariku. Baiklah, kuberikan padamu, Damaylia. Nama yang unik. Semoga, tercapai semua impianmu. Salam damai, Damaylia. Luin.”

Hatiku terasa sedih. Kenapa tidak Eno, justru seseorang yang antah berantah. Ditambah terus bertahan sampai sekarang. Ruki sampai bosan mendengar keluhanku, mendengarkan puisiku yang jauh lebih mirip curhatan, kerepotan mencegahku makan seblak banyak-banyak, dan rela tidak tidur mendengar tangisanku.

Hanya untuk cerita tentang dia. Hanya karena dia.

Saat ini, aku sedang membeli kain kebaya untuk persiapan wisuda. Tentu, kalian pasti bisa menebak, mengapa aku memilih kebaya berwarna abu-abu. Adalah warna bajunya saat pertama bertemu di Puskesmas. Jelas, seminggu sekali aku masih mengunjungi Puskesmas itu. Hanya menatap bangunan sederhana itu dari kejauhan.

“Damay! Aku yakin ini pasti cocok, sini!” Ruki melambaikan tangan lagi. Aku mengangkat bahu, mendekat.

Dia merentangkan kain kebaya itu di tanganku. “Nah, cocok! Sederhana dan berwarna abu-abu. Bagaimana, kamu suka?”

Aku mengamati kebaya dengan aksen renda bunga berwarna ungu kecil-kecil di bagian pinggirnya. Sederhana dan elegan. Aku mengangguk, tanda setuju.

“Nah, bawahnya berarti jarik warna abu-abu dan ungu, ya?”

Aku mengangguk saja. Menurut.

“Oke, siap! Mbak!” Ruki melambaikan tangan ke salah satu pegawai toko. Dia mendekat, segera mengurusnya. Aku menatap lalu lalang jalan. Hari semakin sore. Kubuka lock screen ponsel. Beberapa menit lagi acara di mulai.

“Ruki, setelah ini kita langsung ke acara ya?”

“Beres, Bu Bos!”

Bayar membayar selesai, aku dan Ruki bergegas naik motor berboncengan. Jelas, aku di depan dia di belakang. Mana ada seorang Ruki mau di depan mengendarai motor? Kami mulai melaju pelan di jalan raya.

Sial, macet. Ruki sih, terlalu lama memilihkan baju untukku. Iya, niatnya baik, tapi aku juga tidak meminta yang terlalu sempurna. Dia saja yang berlebihan.

“Kan, biar ada cowok yang melirik, May. Kamu harusnya berterima kasih sama aku, kalau nanti kamu enggak jomblo!”

Padahal, dia tahu betul hatiku untuk siapa, tapi selalu saja menjodohkanku dengan A, B, C, dan huruf-huruf lainnya. Yang jelas, aku tolak dengan tidak memberi respon berlebihan.

“May, kita pakai jalan pintas. Ke kiri!” perintah Ruki. Aku sangat berterima kasih untuk seorang genius yang membuat aplikasi penunjuk jalan anti macet.

Jalanan sepi, tapi tetap macet. Tidak macet-macet amat, sih. Aku terus fokus mengendarai motor, menuju gedung JEC. Siapa lagi kalau bukan menonton Kak Nata? Dia memberi undangan langsung untukku. Ruki tidak dapat, aku yang mengajaknya.

“Nah, keliatan, tuh, gedungnya!”

Siapa coba yang tidak tahu gedung JEC di Yogyakarta? Bersebelahan langsung dengan perpustakaan megah—tempat favoritku menugas. Bangunannya mewah dan keren. Halaman luas dengan arsitektur yang memukau.

Kami tiba tepat waktu. Suara gong bertabuh. Pertunjukkan meriah dan tepuk tangan penonton bergemuruh. Aku menarik lengan Ruki, berlari lalu berjalan sepatutnya mencari tempat duduk. Demi menonton Kak Nata lebih dekat.

Acara ini diadakan untuk memperingati Hari Budaya di Yogyakarta. Kak Nata palah diundang langsung oleh pada seniman level atas. Dan, Kak Nata jadi pemeran utama dalam pentas seni teater ini. Bisa dibilang, Kak Nata adalah seniman level atas yang umurnya masih muda.

Kak Nata sudah berdiri di tengah-tengah panggung dengan cahaya sorot. Memakai kemben jarik, dengan rambut panjang tersampir di bahu. Dia menari lemah gemulai, mulai bermonolog. Sesekali kami tertawa karena monolonya yang lucu, sesekali kami terdiam, sesekali kami terharu. Kak Nata keren sekali pembawaannya. Setelah bermonolog, mulailah diisi oleh peran-peran yang lain. Ada yang membawa tiruan kuda, seorang pria dewasa—yang meminang Kak Nata, ada Rama, suasana saat peperangan, tembak menembak, saling bertarung satu sama lain.

Jadi, ceritanya, dia adalah seorang perempuan di zaman dahulu yang harus menikah terpaksa. Melepas mimpi besarnya yang ingin menjadi seorang wanita handal panahan dan berkuda. Orang tua wanita itu tidak setuju, tetap memaksanya menikah. Alasannya klasik, bertentangan dengan kodrat wanita. Yang diakhiri, si wanita ini mati dengan memegang panah untuk mengusir penjajah yang semena-mena pada wanita. Mimpinya terwujud dalam satu detik di ambang kematiannya.

Standing aplouse dari tamu terhomat—paling depan. Aku ikut berdiri, bertepuk tangan. Tidak kaleng-kaleng memang. Pantas, Kak Nata juara tingkat Nasional, bertemu langsung Pak Presiden. Kak Nata memberi hormat dengan anggun, tersenyum ke setiap penonton. Termasuk tersenyum ke arahku dan Ruki.

Sesudah pentas, mantan tim lomba Jumbara sepakat berkumpul di kedai kecil milik salah satu tim. Kedai makanan khas Jepang. Aku bersalaman ‘khas anggota PMR’ ke satu persatu yang datang. Semuanya sudah berubah, raut muka yang tidak polos lagi.

“May, kok, kamu cakep sekarang?” celetuk salah satu cowok berambut kribo.

“Bilang aja kamu naksir, woi!” seru teman sebelahnya.

“WUUU! Playboy akut!” sorak yang lain sambil menyorong kepala si cowok berambut kribo itu. Aku menanggapinya dengan tersenyum.

“Kak Damay, mau tanya-tanya sikap seseorang apakah mencintai kita enggak, Ayolah!” rengek adik kelas—yang dulu meminta maaf saat lomba.

Aku menggeleng. “ENGGAK! Aku bukan dukun,”

Dia merengut, sebal. Memakan takoyaki sampai pipinya penuh.

“Uhuy, May, itu anggota PMR baru, ya? Cakep juga!” celetuk cowok berambut kribo itu lagi.

Ruki melotot. “Aku sekelas sama kamu tahu, awas aja!”

“Uhuy, sekelas, jodoh memang tak akan ke mana!” jawabnya.

“HUU, SADAR YA! Dasar buaya kingkong!” seru teman-temannya melembar kemasan.

“Heh, jangan mentang-mentang kalian temanku, buang sampah sembarang. Ayo! Segera punguti sampah kalian!” Si pemilik kedai berseru galak.

Kami bercengkrama, termasuk Ruki—dia anak yang mudah berbaur. Bercerita masa lalu saat kegiatan PMR, masa-masa SMA, masa-masa konyol, bahkan cerita soal aku mengundurkan diri dari Pramuka tidak pernah terlupakan.

Widiw, nggosip apa, nih?” seseorang merangkulku dan Ruki dari belakang.

Lihat selengkapnya