Ibu memelukku erat. Tangisnya sudah habis tadi malam. Atas kabar penting yang diberitahu Ruki.
“Jaga diri baik-baik di sana, ya, Nak?” Ibu mengelus pipiku.
Aku menatap bola mata Ibu. Wajah teduh nan lelah, tapi selalu ada untukku. “Pasti, Bu”
“Bapakmu, pasti sangat bangga di sana. Ibu yakin, kalau Bapakmu masih ada, Ibu akan kalah telak. Dia pasti mengizinkanmu pergi,”
Ruki mendekat. Merangkul bahu Ibu. “Tenang Tante, ada Ruki. Biarkan Damay melalang buana biar nggak kalah sama monyet,”
Ibu mulai tertawa kecil. Aku mendengus kesal pada Ruki. “Apa-apa monyet memang korbannya,”
“Kamu tak usah risau, Damay. Sesekali, nanti aku akan berkunjung ke rumah Ibumu.” Eno tersenyum lebar. Meyakinkan langkah yang akan kuambil.
Setelah Yudisium, Ruki membawa formulir pendaftaran. Program Pengajar Pelosok atau disingkat 3P. Satu provinsi incaranku terdaftar. Saat itu juga, aku langsung mengangguk tanpa izin Ibu terlebih dahulu. Bahkan, alamat surat dari rumah Ruki.
Tibalah pengumuman. Aku lolos administrasi. Ruki membantu mengantarkanku ke Jakarta. Tentu, kami pamit pada Ibu berdalih pergi karena ada suatu keperluan. Mau ke perpustakaan pusat demi menunjang penelitian Ruki—serius, ini tidak bohong. Berbekal uang saku seadanya dan menumpang menginap di kos teman Ruki. Perjuangan membuahkan hasil. Aku lolos tahap tes. Rangking tujuh puluh dari seratus yang dibutuhkan.
Panitia memang pintar memanajemen waktu. Seusai tes, hari berikutnya langsung seleksi wawancara. Jadi, yang rumahnya jauh—termasuk aku, tidak perlu bolak-balik. Lagi-lagi, Ruki ikut membantu. Mempersiapkan daftar jawaban dan cara menjawab yang baik. Dia rela diceramahi Dosen—karena saat itu, Ruki juga sedang lomba karya ilmiah.
Katanya, “May, aku enggak bisa membantu apapun saat kamu curhat-curhat nangis cuma karena ada seseorang yang ada di hatimu, yang mirisnya jauh. Ini kesempatanmu!”
Seusai wawancara, kami bisa menyempatkan untuk berkunjung ke Monas dan Perpustakaan Nasional. Lumayan, sambil menyelam mampir berwisata, bersantai ria—nah, berarti aku tidak bohong pada Ibu, kan? Makan kerak telor di pinggir Monas seru juga. Hampir samalah sensasi-nya saat makan angkringan di pinggiran jalan Yogyakarta.
Berkabar baik, kemarin saat apes ponselku mati, Ruki rela memohon izin ke Dosen, hanya untuk menemuiku—padahal sedang di kampus untuk mengurus karya ilmiah sekaligus S2-nya yang dibiayai langsung oleh Dosen. Langsung ngacir mengendarai motor, padahal dia juga tidak suka mengendarai motor. Demi menyampaikan berita penting bahwa aku lolos tiga tahap. Panitia menyiapkan semua kebutuhan untuk berangkat ke Jakarta. Pelatihan tiga bulan sebelum berangkat ke tempat pengajaran.
Aku memeluk Ibu lebih erat. Ruki ikut memelukku dan Ibu. Eno menatapku sembari tersenyum. Kami melepas pelukan.
Ibu mengelus kepalaku, “Semangat, Ibu guru dadakan,” Ibu terkekeh.
“Jangan fokus ke bunga anggrek mulu, May. Banyak makan, nggak usah sok-sokan seblak terus. Nggak ada juga di sana. Kamu tepar, murid bubar.” canda Ruki. Kami semua tertawa lebar.
Eno mendekat. Menatapku lamat. Tersenyum. “Aku yakin, kamu bisa bertahan di sana. Ingat, tujuan utamamu adalah mengajari anak-anak. Jangan sampai kamu punya tujuan tertentu, lupa tanggung jawabmu. Siap?”
Aku mengangguk mantap. Mengacungkan jempol. “Siap banget, No.”
“Terbanglah. Selamat mendatangi daerah dan suasana baru,”
Aku mengangguk. Menghirup napas dalam, menghembuskan perlahan. Mulai berjalan meninggalkan Ibu, Ruki, dan Eno. Melambaikan tangan terakhir sebelum masuk ke boarding pass. Menarik koperku, melangkah pasti. Memegang erat kardus panjang, berisi tanaman anggrek hitam beserta potnya.
Mari bertanggung jawab, mari menuju kotamu.
*****
Tiga bulan di markas pelatihan, memang melelahkan, tapi luar biasa. Dimulai dari mendapat teman baru, pengetahuan baru, metode mengajar yang menarik—jurusan psikologi juga berperan di sini, dan latihan fisik yang menguras tenaga. Yang tentu, aku merelakan tidak wisuda. Toh, tidak wajib juga.
Ternyata, bukan main yang melamar di program ini. Ratusan ribu dari seluruh Indonesia. Benar-benar beruntung aku bisa masuk. Aku juga mempunyai teman baru dari Papua, Aceh, dan Nusa Tenggara Timur.
Metode yang diusung dari buku sudah kuno, harus mempunyai inovasi dari diri sendiri, itu pendapat salah satu pelatih dalam pengembangan dan metode pembelajaran. Setiap anak, mempunyai keunikan sendiri-sendiri dalam belajar, menangkap pelajaran, dan kejenuhan. Anak-anak tidak akan jauh soal kejenuhan. Maka dari itu, sebagai pengajar harus pintar-pintar membuat anak selalu tertarik belajar. Tidak hanya soal nilai, tapi soal ilmu dan pemahaman untuk penerapan di kehidupan sehari-hari.
Kalau mau membahas soal pelatihan fisik, ini tidak ada habisnya, sungguh. Bahkan, aku pernah dilepas langsung di hutan selama tiga hari bersama tim regu untuk bisa bertahan hidup. Hanya berbekal beras, korek, tali, pisau, ya semacam pelatihan semi militer. Pelatihnya saja tentara, tidak heran.
Tiga bulan sudah terlampaui, saatnya melepas semua ‘guru dadakan’ ke tempat pelosok yang dituju. Pertama kali aku mengisi formulir, Provinsi Kalimantan Barat jelas aku centang. Terkabul. Aku ditempatkan di salah satu daerah pelosok, Kabupaten Kapuas Hulu. Iya, memang bukan di kota Pontianak. Tapi, nanti kalau sudah selesai programnya, boleh lah aku mampir sebentar ke sana.
Aku dan tiga temanku sampai di Bandara Pontianak. Kami turun dari pesawat, menghirup udara panjang. Menghembuskannya perlahan. Tersenyum lebar. Menapaki lapangan lepas landas pesawat, tertawa puas. Jadi, beginikah sensasimu saat turun dari pesawat?
Kami hanya mampir sebentar di sini. Tujuan kami ada di Kecamatan Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu. Bandaranya cukup luas. Walau, akhirnya aku tahu bagaimana cuaca di pulau Kalimantan memiliki cuaca yang panas. Maklum, tepat di garis Khatulistiwa.
Sebenarnya, aku sah-sah saja keluar sebentar, menikmati kota Pontianak. Tiga temanku, tidak mau. Mereka lebih baik menunggu di Bandara—takut tertinggal jadwal terbang pesawat. Baiklah, aku membuka ponsel, menggeser layar, menekan tombol panggilan.
“Halo? Oi, Damay, alamak, lama kau tak menghubungiku!” seru dari suara seberang.
Aku tersenyum lebar. “Halo, Ranaya? Maaf, kemarin sibuk, belum sempat menghubungimu. Baik kabarmu?”
“Sangat Damay, kau bagaimana?”
Aku mengangguk. “Baik. Kapan-kapan, kalau aku mampir ke Pontianak, boleh?”
“Boleh sangat, Damay. Aku tunggu. Sebentar, jangan-jangan kau ada di Pontianak, ya?”
Feeling-nya memang selalu kuat.
“Iya, tapi hanya sebentar. Jadi, aku belum bisa mampir.”
“ALAMAK! Di mana kau sekarang?”
“Di bandara, menunggu pesawat selanjutnya ke Putussibau,”
“Kau tunggu, hanya lima belas menit dari rumahku ke bandara. Cukup sekali.”
Mau kujawab, panggilan mati. Haduh, Ranaya pikir bandara seperti halte bus? Ini luas sekali tempatnya. Baiklah, kita tunggu kabar baiknya.