Orang yang menyambutku adalah Hamak Ampong—Pegawai kecamatan memberitahuku, kepala suku di lokasi penempatanku mengajar. Di belakang Hamak Ampong, berjajar pria-pria lain yang memegang obor. Membuat jalan lurus ke depan. Penyinaran lampu dadakan yang indah.
“Selamat datang, wahai guru muda. Biarkan aku ikut menolong, membawa tas-tas besar itu.” Hamak Ampong langsung sigap membawakan kedua tas besarku. Pegawai kecamatan menyalami Hamak Ampong. Inak Banun berjalan lebih dulu. Menyusul katanya, yang sebenarnya aku sendiri saja tidak paham. Kenapa harus menyusul?
“Marilah, berjalan beriring ke Balai Perkumpulan Warga.” Hamak Ampong berjalan lebih dulu.
“Kita akan ke Balai Perkumpulan Warga, acara sambutan,” Pegawai kecamatan memberitahuku.
Aku mengangguk, menurut saja. Aku mendongak, melihat bintang-bintang yang lebih kentara. Obor-obor mengiringiku berjalan. Menurut warga, di sini ada senter, tapi lebih aman obor. Bisa menjauhkan dari hewan-hewan buas.
Desa lokasi penempatanku cukup unik. Desa terbelah menjadi dua. Sebelah Utara dan selatan. Terpisah oleh sungai. Nah, kalau diibaratkan, desa terletak di dalam hutan, tapi juga di tengahnya ada sungai. Maka, kita harus berjalan selama lima belas menit untuk masuk ke dalam. Pepohonan besar-besar menjadi penjaga. Tak ada lampu sedikitpun. Gelap gulita, hanya sinar rembulan dan obor pemenangnya.
Lima belas menit kami berjalan di atas tanah basah, yang bahkan aku tidak tahu bagaimana teksturnya.
Rumah panggung, alias Balai Perkumpulan Warga mulai terlihat. Aku melangkah hati-hati mendaki tangga kayu. Kupikir kayunya rapuh, ternyata kuat. Tinggi panggung sekitar satu meter.
Kukira, di pelosok tidak ada listrik, karena tadi sebelum masuk ke desa, tidak ada listrik sama sekali. Ternyata salah. Walau lampu tampak remang-remang, cukup untuk melihat bagaimana bangunan Balai Perkumpulan Warga. Dindingnya terbuat dari kayu kokoh dan bercat kuning. Ditambah, ukiran khas Suku Dayak di tengah-tengah dinding.
Hamak Ampong mempersilakanku masuk ruangan. Di sana, sudah disiapkan acara sambutan sederhana dan banner besar—mungkin dari pegawai kecamatan. Hamak Ampong langsung duduk di depan bersama Pegawai kecamatan. Satu kursi kosong di samping Pegawai kecamatan diperuntukkan untukku. Aku duduk sambil malu-malu.
Baru satu menit duduk, langkah suara berlari bergemuruh. Suara tawa anak-anak mulai terdengar menyenangkan. Suara-suara lain mulai bermunculan. Anak-anak berdesakan masuk, duduk di lantai. Cengar-cengir menunjukku. Aku balas tersenyum. Mereka tertawa renyah.
Para Ibu membawa bakul-bakul berisi makanan dan minuman. Kalau dibayangkan, seperti rombongan yang membawa seserahan saat lamaran. Meja di depanku langsung penuh. Ada buah-buahan, sayur-mayur, bahkan daging juga ada. Aku menelan ludah. Jangan-jangan daging babi?
Semua yang masuk merapat, membentuk tempat duduk dengan formasi huruf U. Beberapa warga ada yang rela melongok dari jendela dan duduk di depan, karena tempatnya tidak cukup. Beberapa pemuda masuk ke dalam, membawa alat musik khas Suku Dayak. Kalau tidak salah namanya Sape. Seperti gitar, tapi bentuknya kotak.
Hamak Ampong berdiri, berdeham. Seluruh bisik-bisik menjadi tenang. Aku sangat yakin, Hamak Ampong adalah kepala suku yang sangat disegani. Buktinya, dia hanya mengangkat tangan, para warga langsung membenarkan posisi duduk.
“Selamat datang, Bu Guru, Damaylia. Mari, tepuk tangan yang meriah tuk Bu Guru!”
Tepuk tangan riuh menggema. Sesekali suitan terdengar. Hamak Ampong mengangkat tangannya kembali. Hening.
“Sambutan kita memang tidak meriah, tapi penuh rasa. Kita saksikan, tarian Burung Tingang Terbang untuk menyambut Bu Guru Damaylia!”
Tepuk tangan mengudara lagi. Ada rasa haru dan gugup di dalam hati. Aku diperkenalkan di dalam lingkup mereka, berarti semakin besar tanggung jawabku untuk mengabdi sebagai seorang pengajar. Membuat sedikit perubahan lebih baik pendidikan anak-anak di sini. Aku tersenyum, mengangguk memberi hormat kepada semua.
Musik yang dimainkan dari sape mulai mengalun. Anak-anak perempuan masuk dengan anggun. Memakai pakaian khas Suku Dayak. Ada yang berwarna merah, hitam, biru muda, dan oranye. Berhiaskan manik-manik dengan pola yang indah khas Suku Dayak. Jarinya gemulai, membawa bulu yang aku sendiri belum paham bulu apa itu—Hamak Ampong tahu aku penasaran, mengatakan bahwa itu bulu burung Enggang.
Pertunjukkan kedua ialah Tari Perisai. Dua anak laki-laki berumur lima tahun masuk, berjalan mengendap-endap, melihat awas ke segala arah, menyambut datangnya musuh. Mereka memakai baju adat khas Suku Dayak berbentuk rompi, topi seperti peci berhiaskan manik-manik, dan perisai segi enam memanjang dengan ukiran khas Suku Dayak.
Seusainya, semua bertepuk tangan riuh. Musik dari petikan sape berhenti.
Hamak Ampong mengangkat makanan yang terhidang di meja. “Pertunjukkan sudah selesai, mari kita makan besar!”
Piring-piring mulai berjalan, berpindah dari satu tangan ke tangan lain. Hamak Ampong berjalan, duduk di lantai bersama warga. Aku dan Pegawai Kecamatan ikut duduk di samping Hamak Ampong.
Makan besar dimulai. Berbagai macam makanan sudah tersedia di tengah lingkaran. Warga yang tidak bisa masuk ke dalam, bergantian mengambil makanan.
Aku menelan ludah. Menatap gunungan daging bakar tersedia di tampah besar. Anak-anak mulai berebut, Ibu-ibu makan sambil ngobrol, pegawai kecamatan enteng saja mengambil daging itu. Baiklah, daripada ragu-ragu, aku hanya mengambil sayur-mayur, tidak dagingnya.
Hamak Ampong mengambilkan daging itu menggunakan centong. Terkekeh. Dia menunjuk salah satu warga. “Dia muslim. Kami tahu betul apa aturan orang muslim. Bukan berarti, kami tidak toleran. Ada daging babi, tapi ditampah sana. Ini daging ayam, dia yang sembelih. Akhirnya, kita semua makan bersama. Bukankah, itu yang diharapkan?” Hamak Ampong tersenyum. Mulai makan dengan lahap.
Aku tersenyum lebar mendengar penjelasan Hamak Ampong. Dengan senang hati menerima ayam panggang itu. Lezat sekali makan dengan tangan, ayam bakar dengan bumbu khas, dan bersama warga. Anak-anak sesekali menatapku, tertawa.
“Harusnya, ada Mantri di sini,” ujar Hamak Ampong sambil mengambil daging ayam lagi.
Aku menoleh ke Hamak Ampong. “Mantri?”
Aku tahu, mantri itu semacam pendamping dokter. Atau, kalau istilah zaman now, perawat.
Dia mengangguk. “Sudah hampir satu tahun dia tinggal. Memberikan fasilitas kesehatan yang lebih baik.” Hamak Ampong menoleh padaku. Tersenyum lebar penuh arti. “Dan tampan.”
Aku berhenti makan, menoleh ke Hamak Ampong. “Orang asli sini, Hamak?”
“Aku tak mau beritahu. Sengaja. Agar kau berkenalan sendiri,” Dia melanjutkan makan.
Aku tidak begitu penasaran pada orangnya. Mengangkat bahu. Melanjutkan makan.
*****
“Di sini, kau akan tinggal.” Inak Banun tersenyum padaku. Dia membantu mengangkat koper dan satu tas besar ke dalam rumahnya. Rumah panggung berdinding kayu, lantai kayu, dan sederhana. Rumah terasa hangat.
“Nin, apa?” Inak Banun menunjuk kardus cokelat panjang yang berisi bunga anggrek hitam.
“Astaga, Inak, Damay lupa itu bunga!” Aku segera membuka kardus. Mengeluarkan bunga anggrek hitam. Daunnya sedikit layu.
“Biar Inak yang urus, ko mandi lalu beristirahat.” Inak Bunan langsung membawa bunga itu ke belakang. Aku menghela napas keras. Sifat pelupaku memang kadang kambuh. Aku membuka ponsel. Tidak ada sinyal. Berarti, beberapa jam lalu adalah kabar terakhir yang kuberikan pada ibu dan Ruki. Aku berdiri, membongkar tas sebentar, membawa pakaian dan alat mandi. Ternyata, tidak harus mandi di sungai.
Sehabis mandi, aku membereskan tas dan segala macam isinya. Inak Banun membantu juga. Mungkin, butuh satu jam agar semua beres.
“Sekarang, kau istirahat. Berbincangnya esok saja,” Inak tersenyum, mengelus bahuku. Dia keluar dari kamar, menutup pintu dari luar.
Aku membuka tas kecil berisi dokumen-dokumen penting dan dompet. Mengambil kartu tanda pengenal yang selalu kusimpan dan kupandangi setiap malam.
Rasanya, kalau aku punya podcast, tidak cukup sehari penuh menceritakanmu. Bahwa, karenamu, aku bisa sampai sejauh ini.
Jendela sengaja kubuka, bintang semakin benderang dan ramai. Aku memangku dagu, menatap sekali lagi tanda pengenalmu. Tersenyum simpul. Menatap langit malam lagi. Kepalaku selalu penuh tanda tanya.