Kusimpan rindu selama lima tahun.
Kusimpan semua pertanyaan, tentangmu.
Kusimpan semua pengucapan, untukmu.
Kusimpan tanda pengenal, adalah namamu. Kusimpan perjuangan demi memiliki bunga anggrek hitam, bunga yang berasal dari pulaumu.
Aku pikir, alam akan mempertemukan kita secara logis, di kotamu misalnya. Benarlah kata pepatah, “Semua kejadian memang direncanakan tidak pernah logis bagi manusia, tapi logis bagi Sang Penguasa Alam.”
Di sini, di daerah terpencil nan pelosok yang kaya akan alamnya, kita dipertemukan.
“Kau, guru baru dari program 3P?” tanyanya. Senyumnya lebar.
Aku memegang bahu Acel. Kakiku lemas sekali, perutku mulas, tanganku dingin. Siapa yang percaya? Seseorang yang selama ini kita tunggu, kita harapkan, justeru berada tepat di depan mata. Bahkan, sekarang aku tahu suaranya. Lembut dan menyenangkan. Tentu, akan kurekam baik-baik, bahkan menjadi lagu yang indah setiap hari.
“Apakah kau sakit?” tanyanya lagi. Muka panik, tapi tulus.
“Ah, eh, anu,” Aku menghela napas keras. Berusaha mengatur napas. “Tidak, aku panik. Lupa membawa tas kecil P3K. Tidak tahu harus berbuat apa,” jawabku sambil mengontrol bibir yang bergetar.
Dia tertawa. Aku menatapnya lebih dalam. Ruki, andai kamu disini, pasti kamu bisa mencairkan suasana. Sementara aku, tidak pandai berbasa-basi.
“Kau nak ke sekolah? Boleh kuantar? Sebagai ucapan maaf, tidak bisa menyambut kau kemarin malam,” Dia tersenyum lagi.
Tanganku menggigil. Ini kejutan apa, sih? Mendadak sekali. Aku belum ada persiapan untuk, apa saja yang harus dibicarakan? Bagaimana mengendalikan diri saat gugup? Astaga!
Dia jongkok, menggendong Itok di punggungnya, berdiri. “Kau tak mau?” tanyanya lagi.
Aku mengangguk pelan. Mencoba tersenyum simpul. Dia membalas tersenyum. “Baiklah, ayo!” Dia mulai berjalan. Aku ikut di belakang. Anak-anak ikut di belakangku.
Tetiba, dia berbalik badan. “Memang, ini rombongan PBB? Berjalan sesuai tinggi badan?” Dia melongok ke belakang. Aku ikut-ikutan melongok ke belakang. Benar juga.
Dia menjajariku. “Nah, seperti ini. Lebih asyik lagi, anak-anak mau mendengarkan cakap kita. Oi, kalian. Bukankah Hamak sudah berkata, kalau Hamak berjalan, kalian jangan di belakang. Tapi, di samping!” serunya. Langsung, anak-anak berada di samping kami. Acel dan Nico di sebelahku. Menteng tetap di belakang.
“Apa yang kau lakukan, Menteng? Sinilah di sebelah Hamak!”
“Tak mau! Aku mau melihat cahaya bulan dari kepala Itok!” Menteng nyengir.
“Kalau aku sudah bisa berjalan, kudorong kau ke sunge banyak buajo!” Itok menjawab sambil menggeram.
Dia tertawa. “Hei, tak sekalian didorong ke kawasan terlarang?”
Itok menatap heran dari belakang punggungnya. “Hamak Fian, ajarkan tak betul pun!”
Jujur, aku masih belum mengerti dengan takdir seperti ini. Mengapa semua serba kebetulan? Baiklah, sambil memikirkan keajaiban kedua, aku menikmati hari ini. Tersenyum. Kupikir, dia mempunyai wibawa yang tinggi, seperti dokter umumnya. Jual mahal dan pintar membuat sekitar lebih hormat. Nyatanya, tidak juga. Asyik, garing, dan terlebih dia pintar bergaul dengan anak-anak. Mempunyai kehormatan yang berbeda.
“Asal kau dari mana?” Dia bertanya lagi sambil berjalan. Anak-anak nyimak.
“Dari Jawa,”
Dia mengangguk. Seperti biasa saja. “Guru lama dari 3P, dulu asalnya dari Papua.”
Sekarang aku yang terperangah. “Jauh sekali,”
Dia mengangguk. “Kau, orang medis?”
Aku menggeleng. “Bukan, aku lulusan dari jurusan Psikologi.”
Dia menoleh padaku. “Cocok sekali menjadi pengajar. Kenapa? Karena aku yakin, kau mempelajari berbagai macam jenis manusia. Ada jeruk, melon, nanas, pisang, pasti banyak bukan?”
Aku menoleh. “Eh, Pak, itu bukankah buah-buahan?”
Dia tertawa tergelak. Anak-anak ikut tertawa sambil menepuk dahi.
“Bu Guru tertipu! Biasa, Hamak Fian memang selalu macam tu.” Acel masih tertawa.
Aku ikut tersenyum lebar. Owalah, dia bercanda. Sepertinya, aku lumayan bisa menyesuaikan diri dengannya. Berkat anak-anak, terbantu baik rasa grogiku. Ditambah, dia ternyata receh, lengkap seperti Ruki.
“Mana ada Hamak, orang macam buah-buahan. Yang ada, nanti ada yang berwarna kuning, hijau, cokelat, biru, ungu.”
Anak-anak tertawa lagi. Dia ikut tertawa. “Syukurlah, kau tak panik lagi,” ujarnya.
“Hamak Fian, tadi Itok melempar biji ke kepala Bu Damay,” Acel melapor.
“Betul, Itok?” Dia bertanya sambil menoleh ke belakang.