“Bu Damay harus di-ospek!” Menteng membenarkan tas keranjangnya. Dia berjalan sambil memegang ranting. Di pinggulnya tersemat mandau.
“Ospek?” tanyaku. Tidak heran Menteng tahu soal ospek. Buku bekas yang dia baca rerata majalah SMP. Mengherankannya, apakah aku harus di-ospek itu, harus memakai caping bertuliskan namaku besar-besar dan tas karung goni?
“Iya, dulu Hamak Fian juga di-ospek!” jawab Menteng, sesekali dia berhenti, berpikir, lantas berjalan lagi.
Dia tertawa renyah. “Kau ospek Hamak tak masalah. Asal Hamak Kalimantan. Lah, ini Bu Damay, asalnya jauh dari Pulau Jawa. Kalian tega?”
“Tega!” Acel, Nico, dan Menteng menjawab serentak.
“Lagipula, tidak susah ospek-nya. Serius.” Nico menjawab sambil mengamati pepohonan sekitar.
Acel hanya mengangguk. Tumben, dia pendiam. Biasanya cerewet.
“Acel sedang sakit hati pada Menteng, Bu.” Nico terkekeh, tahu apa yang kupikirkan.
Acel hanya mengangkat bahu. Dia membawa tas cukup besar. Berisi bumbu-bumbu, tali temali, dan botol air mineral. Sebenarnya, dia sudah menawarkan untuk membawa, tapi Acel bersikukuh tidak mau dibantu. Dia bisa sendiri.
Sepagi tadi, suara anak-anak memanggil dari luar. Inak Banun membangunkanku—aku tidur lagi setelah bangun. Inak menyuruhku bergegas mandi, sedang anak-anak dan dia masuk, duduk di ruang tamu. Inak menyiapkan peralatan dan bumbu-bumbu yang disiapkan. Nico memberi spoiler ‘berburu’. Seru juga, belum pernah aku merasakan berburu secara langsung. Berangkatlah kami ke hutan.
“Itok tak ikut?” tanyaku.
“Jangan, Bu. Nanti kepalanya yang penuh cahaya bulan membuat mataku silau. Susah fokus untuk berburu,” jawab Menteng dengan muka datar.
Acel dan Nico tertawa bersamaan. Aku bingung, tapi tertawa juga karena melihat dia tertawa.
“Kau bisa tertawa sekarang, Cel? Itu gurauan Menteng,” Nico jahil bertanya pada Acel.
Acel menatap sinis Menteng. Mengangkat bahu sambil melihat pepohonan sekitar. Ada hal menarik yang aku saksikan sendiri di depan mata. Para warga gotong royong menebang pohon, memindahkan pohon-pohon, lantas membersihkan rumput belukar yang tinggi-tinggi.
“Itu, untuk membuka lahan?” tanyaku.
“Iya. Ladang padi,” jawab dia di sampingku.
“Bukankah sawah mereka banyak?” tanyaku sambil menoleh ke arahnya. Hari ini, dia memakai kaos biru dengan celana kain pendek. Rambutnya basah karena keringat, tapi tetap keren.
Dia menoleh, tersenyum. “Betul. Sawah yang tidak subur akan ditinggalkan, lalu mencari tanah yang subur, dibukalah ladang kembali. Seperti sekarang,”
“Bukankah itu membuat kerusakan lingkungan?”
Dia terkekeh lebar. Anak-anak menyimak sembari berdiskusi. Entah, apa yang mereka bicarakan. Menggambar sesuatu di tanah.
“Ada betulnya, ada salahnya. Betulnya, bisakah dikatakan merusak lingkungan, sedang mereka sama sekali tidak menggunakan pupuk kimia?”
Mataku membulat. Serius tidak menggunakan sama sekali pupuk kimia? Hebat.
“Salahnya, bisalah dikatakan pemindahan lahan itu kerusakan lingkungan. Tapi, kau perhatikan baik-baik sawah yang mereka tinggalkan,” Dia menunjuk ke sawah yang sudah tidak terpakai lagi. Tanahnya memang sudah tandus, tapi ada beberapa orang membuang kotoran hewan dan sampah organik ke tanah itu.
“Mereka tidak meninggalkan tanah itu sepenuhnya. Dibiarkan tanahnya subur kembali, menumbuhkan rerumputan liar, satu dua menanam pohon kembali, ya seperti itu terus siklusnya. Mereka mengandalkan tanah yang subur,” Dia tersenyum melihat sawah yang sudah dipenuhi kotoran dan sampah organik.
“Yang benar-benar salah itu, pembakaran masal ke seluruh wilayah hutan. Serakah hanya untuk pertumbuhan ekonomi saja. Tanpa tahu keseimbangan alam dan sekitarnya,” Dia meghela napas panjang.
“Warga di sini, hanya membakar hutan seperlunya. Batang pohon itu, mereka simpan, lantas nanti bergotong royong lagi untuk membangun rumah warga yang rusak. Saling membantu saat musim menanam dan panen padi.” Dia mengacak rambutnya. Keren bagiku, sepertinya tidak baginya. Mukanya begitu kesal.
“Oke, kita berpisah di sini.” Nico membalikkan badan. Dia mengambil mandau di samping pinggangnya. Aku menelan ludah. Anak kecil sudah berani memegang mandau, memang hebat sekali desa ini.
Menteng sudah jongkok di bawah. Acel kembali sambil membawa ranting dan daun, lantas jongkok di dekat Menteng. Tentu, masih suasana canggung. Nico ikut berjongkok. Mereka seperti membuat perangkap dengan cara tradisional. Ah, benar sekali.
Nico menoleh ke belakang. “Hamak Fian paham maksudku, kan?”
Dia mengangguk. “Biarlah Bu Damay melihat kalian memasang perangkap. Siapa tahu, Bu Damay akan membuat perangkap untuk muridnya yang bolos sekolah.”
Aku menoleh padanya. “A-aku tidak sekejam itu, Pak,”
Dia tertawa keras sekali. Anak-anak ikut tertawa.
“Bu Damay serius sekali,” seru Acel sambil tertawa. Memberikan dedaunan di atas perangkap.
“Ayo, ikuti aku, Damay.” Dia berjalan mendahuluiku.
Deg! Jantungku berdebar begitu cepat. Pertama kalinya, dia memanggil namaku. Tanpa ‘bu’ pula. Aku belum bergerak sama sekali. Melihat punggungnya yang semakin menjauh. Dia berhenti berjalan. Menoleh ke belakang.
“Ayo, Damaylia,” ajaknya lagi sambil tersenyum.
Tanganku terasa dingin di cuaca terik pagi menjelang siang. Jantungku semakin berdebar tidak karuan. Bibirku bergetar, tapi secara otomatis tersenyum lebar. Mengangguk pelan, mengikuti jejak langkahnya dari belakang.
Hanya berdua.
*****
“Kita mau ke mana, Pak Fian?” tanyaku sembari melihat sekitaran.
Masih di dalam hutan. Pepohonan yang rindang, semak-semak yang masih tinggi, bebatuan besar terkadang terlihat, matahari yang masih terik, dan punggungnya. Punggung yang masih sama saat pertama kali aku bertemu dengannya. Aku memegang erat tanda pengenalnya di saku. Entahlah, kapan waktu yang tepat untuk memberikannya sembari mengucapkan dua kata yang selama ini aku pendam.
Dia menoleh ke belakang. “Apakah aku sudah mempunyai anak?” tanyanya.
“Eh?” Aku tidak bertanya itu.
Jujur, tidak bisa berbohong. Selama lima tahun aku selalu berpikir. Apakah dia sudah mempunyai pacar? Menikah? Ekstrimnya, apakah sudah mempunyai anak? Lima tahun belakangan aku seperti orang gila. Tertawa sendiri melihat Wacebook-nya, sekian menit bermuram durja terpikir pertanyaan yang belum terjawab.
“Umur kau berapa?” tanyanya.
“Dua puluh satu tahun,”
Dia menepuk dahi. “Alamak! Macam mana kau panggil aku Pak? Hanya tertaut enam tahu saje,” Dia tertawa kecil.
Dia menatapku lamat. Membuatku harus membuang muka. “Janganlah kau panggil aku Pak, panggil Bang, Mas, atau terserahlah. Asal, jangan Kak, nanti macam Kakak Senior PMR!”
Aku tertawa kecil. Benar juga. Iya, candaannya memang garing, tapi kalian pasti bisa menebak mengapa aku bisa tertawa begitu lega. Yes, sepertinya dia belum menikah. Dilihat dari jarinya belum ada cincin terpasang. Eh, sebentar. Belum menikah tapi kalau sudah mempunyai pacar? Aku menunduk, kenapa overthinking-ku harus hadir disaat menyenangkan bersama dia?