“Jatahku usus dan paha babi!” Menteng menunjuk bagian babi yang dia mau.
“Memang, kau ikut memburu?” Acel bertanya sambil memotong daging babi. Nico yang menyembelih babi itu sendirian. Sedangkan dia, menyembelihkan ayam untukku dan untuknya. Menteng hanya mengipasi api unggun yang dia buat.
Kami berpindah tempat. Menyeberang sungai, lalu memilih tempat di bawah pohon rindang. Memutuskan memasak di tempat ini. Tempat yang nyaman dan sejuk.
“Ikut lah! Buktinya, akalku lebih jenius daripada kau, mengada-ada bahasa babi. Memang, babi bisa bicara?” tanya Menteng sambil mengangkat satu alis.
Acel mengangkat bahu. “Begitulah kalau manusia hanya mengandalkan otak untuk hapalan bacaan. Sekali-kali kau pakai hati. Hewan juga punya perasaan.”
Menteng mendelik. “Dasar bual besar. Buktinya, kau makan juga daging babi!”
Acel mendelik. “Setidaknya, aku membunuhnya sekali hentak. Jadi, tak merasa sakit.”
Aku tertawa melihat Acel dan Menteng saling mendengus jengkel. Mereka mengerjakan tugas masing-masing dengan wajah mengkal. Aku menoleh, melihatnya. Dia sedang membersihkan bulu-bulu ayam bersama Nico. Toleransi yang begitu menganggumkan. Saat aku dan dia tidak memakan daging babi, anak-anak tetap memburu ayam, membersihkan kotoran dan bulu.
“Bu Damay, dapat berapa ikan?” Acel bertanya. Potong-memotong daging babi sudah selesai. Aku berhenti mengiris bawang. Menelan ludah. Gawat, apa kata anak-anak kalau aku tidak mendapat ikan satu pun?
“Berapa, Bu?” Menteng bertanya juga.
“Bu Damay dapat banyak ikan. Sekali pelupa tetaplah pelupa. Dia mencampur buruan ikannya dengan ikan Hamak.” Dia mengangkat bahu. Nico di belakangnya, membawa bakul berisi potongan daging ayam.
“Alamak, tak seru, Bu Damay! Kita jadi tak tahu siapa pemenangnya!” Acel berseru kecewa. Menteng mengangkat bahu, melanjutkan kipas-kipasnya. Nico mengambil kuas yang dia buat dari batang pohon pisang.
“Bu, apakah bumbu sudah siap?” tanya Nico.
Aku mengangguk. Nico mengambil mangkok bumbu, mengoleskan ke potongan daging. Aku menatap dia menyiapkan beberapa bilah bambu panjang, lantas memotong dadu daging ayam, menusukkan ke bilah bambu.
Kenapa dia mau berbohong? Padahal, satu ikan pun tak kudapat.
Dia menoleh. “Oi, Damay, kalau kau hanya melamun, lebih baik bantu aku sini!”
Aku mengangguk gagu. Ketahuan. Dia menyerahkan beberapa bilah bambu. Membantu menusukkan daging ke bilah bambu.
“Bu Damay, pasti tak dapat ikan satu pun!” Menteng mengibaskan perapian lebih cepat.
“Oi, kau bisa tak lebih pelan? Debu menempel semua di mukaku.” Acel mendengus kesal.
“Kau itu macam nenek-nenek, sebentar-sebentar marah, sebentar-sebentar kesal!” Menteng ikut mendengus.
“Kalau ribut terus, jatah kalian kotoran babi!” Nico mendelik pada Acel dan Menteng. Mereka berdua langsung terdiam, saling lirik, saling melotot dengan kesibukan mereka.
Dia tertawa kecil. Merapikan tusukan-tusukan daging di atas perapian sederhana yang dibuat dari bambu.“Lama-lama, kalian nanti pasti akrab. Hamak Fian jamin itu.”
“TIDAK!” Acel dan Menteng menjawab bersamaan. Saling melihat, membuang muka kembali.
“Selesai. Mari kita membakar daging,” seru Nico riang.
Kami berlima duduk melingkar mengelilingi bebakaran daging. Dia terampil membolak-balik daging serta mengoleskan bumbu. Nico juga. Acel dan Menteng menahan air liurnya, sepertinya mereka sudah lapar.
“Ini milikku.” Menteng menunjuk tusukan daging yang paling banyak potongan daging babi. Tentu, daging ayam dan daging babi dibakar terpisah. Daging ayam ada di depan dia, daging babi ada di depan Nico.
“Kerjaan kau hanya kipas-kipas, berarti ini milikku!” Acel ikut menunjuk potongan daging itu.
“Itu milikku!” Nico menatap tajam bergantian ke Acel dan Menteng. Mereka mendengus pelan, takut pada Nico. Sudah kubilang, Nico adalah pemimpin yang baik.
“Terpenting, daging ayam ini milik Hamak dan Bu Damay.” Dia ikut berebut.
Aku tersenyum kecil. Dia lucu juga kalau merajuk seperti anak kecil. Aku menoleh ke dia diam-diam. Rambutnya basah keringat, bahkan peluh terkadang mengalir di pelipisnya. Wajahnya lelah, tapi muka tetap riang.
Gemeletuk api menjadi nada di dalam keheningan kami. Sibuk membolak-balik daging, atau sekedar melihat air terjun dengan empat aliran. Melihat Menteng dan Acel saling lirik jengkel. Melihat Nico serius menunggu daging matang.
Sepuluh menit kemudian, daging sudah matang. Kami mengambil jatah masing-masing.
“Amboi, bumbu dari Bu Damay enak betul!” Acel tertawa renyah. Menteng mengangguk setuju. Dia mengangguk sambil melihat riak sungai.
“Kenapa melihat riak sungai, Bang? Mau mencari ikan lagi?” tanyaku.
Dia menggeleng. Menyantap potongan daging. “Terpikirkan sesuatu saja,”
Anak-anak langsung mendekatinya. Aku mengangkat alis.
“Pasti, Hamak mau cerite. Iye tak?” Mata Acel membulat.
Dia mengangguk.
“ASYIK!” seru mereka serentak. Oalah, itu alasan mereka mendekat. Berarti dia sudah terbiasa bercerita pada anak-anak.
Dia menghela napas pelan. “Pernah mendengar pepatah, ‘Air tenang menghanyutkan’. Kita tidak asing dengan pepatah itu. Pasti setiap orang tahu artinya apa.”
“Artinya, orang yang dalam ilmunya pasti tenang perangainya,” jawab Acel semangat.
“Kalau tak tenang airnya, artinya tak dalam ilmunya.” Menteng menambah jawaban.
Nico diam menyimak. Aku juga. Belum tahu arah obrolan akan ke mana.
“Apa pendapatmu benar, Menteng?” tanyanya.
Menteng menggaruk kepala. “Ya, sepertinya benar. Sungai tenang artinya berilmu dalam. Kalau tak tenang, ya kebalikannya. Tidak punya ilmu banyak. Contohnya, ada anak membaca puisi sampai tercebur. Banyak cakap ditambah banyak gerak. Nilai Matematikanya jelek,”
Acel melotot pada Menteng. Merasa itu dirinya. Menteng hanya mengendik, lantas bersiul.
Dia tertawa kecil. “Bagaimana kalau kita cakap perumpamaan?”
Anak-anak mengangguk kompak. Aku semakin menatapnya lamat. Penasaran dengan cerita selanjutnya. Dan, terlebih anak-anak ini tahu soal perumpamaan.
“Pernah kalian gugup, saking gugupnya tidak tahu harus berbicara apa?”
“Aku pernah,” jawab Nico.
“Bukankah menjadi hening keadaannya?” tanyanya.
Nico mengangguk.
“Apakah, Bu Damay mengajari kalian dengan bahasa isyarat? Tanpa suara?”
Acel menggeleng cepat. “Bagaimana tahu ilmu kalau Bu Damay mengajari tanpa suara?”
Dia tersenyum simpul. “Kita sudah paham, bukan? Di saat semua orang menganggap kita tenang di luar, belum tahu dia tahu semua hal. Saat di luar berkecamuk, tapi bisa jadi dia tahu banyak hal. Tidak bisa kita hanya mengandalkan si anak pendiam pasti cerdas, si anak banyak bicara pasti tidak cerdas,”
Dia menghela napas.
“Bukankah kita tahu, ada guru, ada pembawa acara, ada pengacara, ada hakim, dan masih banyak lagi pekerjaan yang membutuhkan kemampuan untuk berbicara dan bergerak ke manapun?”