1'

Maulida Ajeng Priyatnomo
Chapter #21

Warung di Depan Bandara

Pagi yang cerah di pinggir dermaga kayu.

Aku dan dia sudah duduk di bangku longboat yang berjalan cepat. Sensasi-nya masih sama saat pertama kali ke sini. Dulu dengan Inak Banun, sekarang, dengannya. Persis ada di depanku. Tenang menghadap ke depan, entah apa yang dia pikirkan.

Sudah seminggu anak-anak belajar sungguh-sungguh, sampai harus menginap di Posko kesehatan, termasuk aku. Anak-anak tetap sekolah, tapi pulang lebih awal, tepatnya ke Posko kesehatan. Mereka diajari dulu oleh dia, sedangkan aku akan menyusul. Kerja keras kami tidak sia-sia. Buktinya, anak-anak juga bersemangat, percobaan dimulai. Pertandingan sederhana. Tiga anak melawan Dia sendirian. Aku sebagai juri.

Dia kalah telak. Skor 15-7 di simulasi akhir tadi malam. Aku penasaran, apakah dia memang sungguh-sungguh kalah atau hanya berpura-pura?

Okelah, mumpung ada kesempatan, aku akan bertanya. Lumayan, untuk menjadi bahan obrolan di atas longboat.

“Melamun, Bang? Nanti tercebur ke sungai, aku yang nol besar soal berenang tak bisa menolongmu,” Aku tertawa kecil. Sekarang, aku mulai berani meledeknya. Mungkin, karena sudah terbiasa bersama.

Dia menoleh ke belakang. Tertawa. “Kalau aku tercebur, mudah. Minta tolong pada buaya untuk mengangkatku.” Dia melangkah mendekatiku, duduk persis di sampingku.

Oke, tolong, jantung kamu harus baik-baik saja.

“Memang, Abang pikir seperti film? Sekalian saja ada naga terbang lantas parkir di depan pasar.”

“Ternyata, kau lumayan pandai melawak juga.”

Aku mengangkat bahu. “Tak juga. Ngasal saja.”

Hening.

“Eh, iya, Bang, tadi malam Abang memang kalah atau sengaja kalah?”

Dia tersenyum lebar. Menatapku. “Pendapat kau?”

Matanya semakin terlihat bening cokelat tertimpa sinar. Ingin rasanya, kusimpan, lantas kunyalakan saat malam-malam gelap di kamar. Tersenyum sepanjang malam.

“Da-May?”

“Oh, eh, ekhem. Abang pasti sengaja, kan?” Sial, ketahuan kalau aku lama menatapnya.

Dia menggaruk rambutnya. “Betul.”

Aku melotot. “Kok tega, Bang? Kalau anak-anak tahu, pasti mereka bakal kesal.”

“Aku yakin dengan melihat simulasi tadi malam, mereka akan menang saat perlombaan.”

“Abang seyakin itu?”

Dia mengangguk. “Aku yakin sekali.”

“Berikan alasan, Bang. Tidak afdol kalau hanya soal keyakinan. Harus ada bukti.”

Dia tertawa. “Lama-lama kau mirip Dosenku dulu. Killer.”

Aku menimpuk bahunya. “Bang, aku serius.”

“Wah, kalau aku duarius, pasti kau sudah minta tanda tanganku,”

Tanpa kamu menjadi Darius saja sudah membuat hatiku selalu tertuju padamu.

Dia berdeham. “Ya, aku memang sengaja. Sudah kukatakan, bukan? Aku sangat yakin mereka akan juara, kenapa?”

Dia membenarkan posisi duduk. Lebih menghadap padaku. “Karena, materi yang kuberikan tiga kali lipat lebih susah daripada latihan biasa.”

“Maksudnya?”

“Coba kau ingat-ingat soal yang kubuat dengan soal yang kau cari di buku SD. Bandingkan. Beda tak?”

Aku berusaha mengingat. Membelalakan mata. “Eh, iya juga, Bang. Memang hampir mirip, tapi lebih susah soal dari Abang,”

Dia menjentikkan jari. “Logika sederhana. Bila anak-anak bisa menjawab pertanyaan dari soal-soal yang susah, maka akan lebih mudah mengerjakan soal-soal yang mudah, bukan?”

Aku mengangguk setuju.

“Kita sudah puluhan kali melakukan simulasi. Awal, anak-anak memang kalah dariku. Bahkan skor telak, aku menang. Lagi, mereka berlatih lagi dan lagi. Yang aku banggakan, mereka tidak berputus asa, terus belajar dan maju, bahkan merengek minta menginap di Posko,”

Keren.

“Dan, bukti nyata. Mereka semakin bagus pemahamannya, kuat ingatannya, bahkan,” Dia tertawa sejenak, “mereka tertidur sambil memegang buku. Acel ngorok, bukunya dijadikan bantal. Nico tidur dengan posisi duduk, dan Menteng tidur sambil menutup muka dengan buku,”

“Semangat mereka menular, membuatku tertidur di meja, menunggu mereka belajar.”

Mukaku mulai merona. Aih, kenapa dia harus cerita tertidur di meja? Aku kan jadi ingat hal gila yang kulakukan. Menyelimutinya dengan jasnya. Menatapnya lekat saat dia tertidur pulas.

“Saat simulasi tadi malam, kalau aku tidak sengaja kalah, aku yakin skor hanya selisih tipis. Mungkin, 14-12,”

“Lantas, mengapa Abang sengaja?”

“Karena dua hari lagi perlombaan. Dan, nanti malam anak-anak tidak boleh belajar,”

“Oh, aku paham. Jadi, Abang sengaja membuat anak-anak menang, agar mental mereka lebih berani, bukan?”

“Nah, ini juga sengaja tak kuberitahu agar kau tahu sendiri.”

Orang tergila yang pernah aku temui. Gila dalam harfiah, bukan gila beneran. Dia, mampu memahami anak-anak sepenuh hati—tidak heran, dia lebih dulu satu tahun di sini.

“Bukankah, pembelajaran seperti ini sangat lekat pada kehidupan kita?” Dia menatap dalam ke sungai. Percikan air yang dihasilkan longboat membuatnya tertarik.

“Bagian mana, Bang?”

Dia tersenyum. “Menurutmu, bagian mana?”

“Menurutku bagian Acel ngorok,”

Dia tertawa. “Come back!”

“Lah, Abang selalu tanya balik,” Aku ikut tertawa.

Dia tertawa perlahan, lantas menghela napas pelan. “Saat hidup mulai berat. Beruntun banyak ujian. Entah yang membuat fisik lelah, mental lelah, atau lelah untuk lanjut hidup. Saat itu pula sebenarnya cahaya mulai terang,”

“Saat kita mengeluhkan, marah-marah pada Sang Kuasa, merasa tidak adil apa yang diberikan oleh-Nya pada kita, saat itu pula kita menyerah. Putus asa. Dan tidak peduli lagi soal kehidupan. Berjalan sempoyongan tak tentu arah,”

“Kita tahu sendiri, cahaya itu bisa terang benderang, tapi bisa redup sepenuhnya. Saat cahaya tertutup itulah, yang sebenarnya justeru kita kurang beruntung. Siapa atau apa yang menyebabkan cahaya itu semakin redup, sebenarnya kembali ke diri masing-masing,”

Aku diam takzim mendengar kata-katanya yang indah. Lantas melihat riak air yang begitu ramai.

“Percayalah, seberat apapun masalah, pasti, dan sangat pasti. Untuk menaikan level kita.” Dia tersenyum lebar.

“Bang Fian, sepertinya cocok menjadi psikiater,”

Mukanya merona. “Oi, banyak cakap sekali aku di depan seorang lulusan psikologi?”

Aku tertawa kecil. Menggeleng pelan. “Apa yang dikatakan Bang Fian, itu benar. Adanya cahaya terang dan redup memang kita sendiri yang menentukan.”

“Dan, tentu. Saat sudah menghadapi sebuah beban masalah yang berat, aku yakin menghadapi ujian selanjutnya pasti lebih mudah dan siap!”

Aku menatapnya, tersenyum lebar. Betapa, apa yang dia katakan, ingin aku tuliskan, lantas kuberikan suatu saat pada seseorang yang meminta sebuah petuah pesan.

Mesin longboat terus berbunyi di dalam keheningan kami.

*****

Setelah naik longboat, kami menumpang truk demi ke Putussibau.

Jalanan masih sama. Menanjak tinggi, membuat jantung berdebar. Hutan yang masih sama, asri. Dia masih ada di sampingku. Menatap tajam ke depan. Dan beberapa orang yang ikut menumpang, bercengkrama dengan bahasa yang kurang kumengerti.

Kami terdiam, hening menikmati perjalanan. Menikmati saat truk turun ke bawah saat jalanan temurun. Selalu seru, padahal ketika pertama kali aku ke sini, tegangnya minta ampun. Aku menoleh tipis-tipis kepadanya. Dia tetap menatap serius ke depan, entahlah. Mungkin, masih mencari kata-kata filosofis yang magis. Atau, hanya sekedar melihat pemandangan saja.

“Tebak, aku berasal dari mana?” Dia bertanya. Membuka obrolan atas keheningan kami. Mungkin, ada satu jam kami tak mengobrol.

“Pontianak,” aku menjawab tanpa ragu. Dan sempurna membuat mukaku merona.

Dia menoleh padaku. “Kau tahu dari mana? Aku tak beritahu kau kota asalku,”

Skakmat!

“Em, hanya menebak saja. Lagipula, kota yang tidak asing di Kalimantan Barat, hanya Pontianak. Kecamatan Putussibau saja tahu saat aku ditempatkan di sini,” jawabku. Yang jelas, menghindar agar dia tidak tahu, selama ini aku selalu mengintip beranda Wacebook-nya.

Dia mengangkat alis. Menggaruk kepala. “Alamak, kukira, kau punya ilmu membaca pikiran orang,”

“Mana ada?” Aku tertawa, menutupi gugup.

“Hmm, apakah di kotamu, truk sebagai angkutan juga?”

Aku merasa ini hanya pertanyaan basa-basi. Lah, dia dua tahun di Yogyakarta. Saat itu juga, dia bertanya soal Yogyakarta.

“Tergantung,”

Dia menoleh lagi. “Lama-lama kucatat saat kau berkata ‘tergantung’. Memang jemuran, tergantung?”

Aku tertawa kecil, menatap ke depan. Jalan aspal yang mulus. Kelok-kelok yang indah.

“Oi, tak kau jawab pertanyaanku?”

Aku menoleh. Nyengir. “Hehe, bagus pemandangannya. Jadi, lupa. Ah, truk sebagai angkutan? Ya, jawabannya memang tergantung. Bisa jadi angkutan barang bisa juga jadi angkutan manusia. Aku pernah menaikinya, tentu saja.”

Wow, kukira kau pakai sayap peri ke mana-mana,” ledeknya.

Lihat selengkapnya