Sekolah Dasar di Putussibau yang megah
Deretan mobil dan motor tertata rapi di sebelah gedung kelas. Anak-anak memakai baju putih-putih bersama gurunya. Bahkan, ada orang tua yang ikut demi melihat anaknya berjuang di perlombaan. Para pedagang kecil seperti cilok—ada juga di Kalimantan, kerupuk basah, es lilin, es serut, terang bulan, dan masih banyak lagi berjajar di dekat parkiran. Beberapa anak sudah membeli es serut, mungkin karena cuaca yang terlampaui panas.
Kami berangkat pagi-pagi sebelum matahari terbit. Hanya ada Kepala Sekolah, beberapa guru, dan beberapa murid yang melepas kami. Termasuk Itok, dia merengek mau ikut, tapi tidak kuizinkan. Nanti, dia akan tertinggal pelajaran. Inak dan Hamak tentu saja memberi semangat, melambaikan tangan di pinggiran dermaga kayu.
Setelah melewati jalanan yang lumayan melelahkan menggunakan truk, Menteng beberapa kali muntah, Nico beberapa kali kentut—masuk angin, dan Acel yang baik-baik saja berseru gembira, akhirnya mereka bisa melihat pemandangan di luar desanya.
Sesampai di depan gedung sekolah mewah, kami berhenti sejenak terpana. Awalnya kukira itu SMP, ternyata SD.
Acel melangkah lebih dulu. Mulutnya tidak menutup, terbuka sambil berkata “Wah”. Kagum melihat gedung yang megah. Nico tak hentinya tersenyum lebar, toleh kanan-kiri demi merekam semua inci setiap gedung. Menteng sama seperti Nico. Dia lebih santai dan cool, sesekali menyisir rambut. Seolah, dia sudah terbiasa sekolah di sini.
“Kau mau menarik perhatian pasti!” ledek Acel.
Menteng tak menjawab. Dia membusungkan dada, seolah dirinya yang paling keren.
“Tak, tak usah berlagak. Tak ada yang mau melihat kau!” ledek Acel sambil nyengir.
Menteng melotot pada Acel, berdeham.
“Lagaknya bak orang dewasa. Mau jadi Hamak kau?” Nico ikut meledek.
“Bisakah kalian diam? Kita akan segera mengikuti lomba. Harus penuh wibawa dan percaya diri.”
“Alah!” seru Acel dan Nico bersamaan.
Aku dan dia tertawa kecil melihat tingkah anak-anak. Syukurlah, keputusannya membeli baju baru memang tepat. Mereka jadi percaya diri, karena murid dari sekolah lain rerata memakai baju bersih. Hanya satu, sepatu mereka butut.
Seorang anak perempuan melihat Menteng dari bawah ke atas, lama. Menteng yang sudah ke-pedean, berdeham, berhenti di depan anak itu sambil mengulurkan tangan. Menatap sok serius.
“Perkenalkan, namaku Menteng, namamu siapa?”
Anak perempuan itu melihat Menteng dari bawah sampai ke atas sekali lagi. Menatapnya sinis. “Baju bagus, sepatu butut? Lihat, dari atas sampai bawah aku rapi!” Anak perempuan itu geleng-geleng kepala lantas pergi meninggalkan Menteng yang masih mengulurkan tangan. Membeku.
Acel dan Nico menahan tawa. Aku dan dia saling tatap.
Menteng menunduk. Dia terdiam. Acel dam Nico menghampiri Menteng dengan sisa tawa. Menepuk bahu Menteng keras.
“Lupakan, Menteng. Kau bukan teman yang diinginkan,” Acel menepuk-nepuk bahu Menteng.
“Fokus lomba saja, Menteng!” Nico ikut-ikutan menepuk bahu Menteng.
“Oh, tentu!” Menteng menegakkan kepala, “lihat saja nanti, dia akan menyesal mengatakanku pakai sepatu butut.” Menteng berjalan tegak. Semangatnya bertambah.
Aku dan dia saling tersenyum. Menteng memang mental baja. Bukannya minder, tapi semakin semangat untuk mengikuti perlombaan. Acel dan Nico saling tatap. Mengangkat bahu, ikut berjalan di belakang Menteng.
Gedung besar dengan dua pintu menyambut kami. Rombongan peserta lomba mulai memasuki gedung, duduk di kursi khusus untuk peserta lomba. Setelah mendaftar ulang, anak-anak berhenti sejenak di depan pintu. Mereka menatapku dan dia.
“Kalian siap?” tanyanya sambil mengelus kepala mereka satu persatu.
Acel, Menteng, dan Nico mengangguk mantap. Mengacungkan jempol.
“Tenang, Hamak dan Bu Damay tidak menuntut kalian harus menang. Lakukan yang terbaik seperti latihan. Kalau salah satu ada yang gugup, yang lain menguatkan. Bisa?”
Mereka mengangguk lagi. Muka tegang mulai terlihat.
“Kalau tegang, ingat saja saat Acel tercebur ke sungai saat membaca puisi,”
Menteng dan Nico mulai tertawa, Acel merengut ke arahnya.
“Nah, bagus. Sekarang berdoa, lantas masuk. Hamak yakin, kalian pasti bisa!”
Nico memimpin di depan. Menteng ikut di belakang, dan Acel terakhir. Mereka duduk di kursi khusus para peserta lomba. Aku dan dia masuk dan duduk di tempat penonton. Tentu dibatasi.
Kali ini, ada puluhan sekolah yang ikut lomba. Layar besar di depan—menggunakan LCD terlihat sekolah dari desa kami melawan sekolah dari daerah pelosok juga—dia yang memberitahu tahu. Setiap sesi berisi tiga sekolah yang bertanding. Menjadikan, ada sepuluh sesi di dalam perlombaan ini. Waktu bertanding satu sesi adalah dua puluh menit untuk menentukan siapa yang masuk ke babak selanjutnya. Jantungku mulai berdegup melihat anak-anak dipanggil sesi ketiga.
Ajaib. Apa yang dikatakan dia benar. Lihatlah! Anak-anak begitu percaya diri menjawab pertanyaan dan semua hampir benar. Hanya bisa dihitung jari mereka menjawab salah. Aku menoleh padanya, menatap tidak percaya. Dia tersenyum sambil mengangkat bahu.
Jeda waktu istirahat setelah setengah sesi maju. Kurang setengah sesi lagi. Acel keluar ruangan sambil loncat-loncat, tertawa senang. Nico mengusap keringat di dahinya, tersenyum lebar puas. Menteng, membusungkan dada, mencari sesuatu—mungkin mau pamer pada si anak perempuan yang mengejeknya.
Aku langsung mengelus kepala mereka satu persatu. “Wow, kalian hebat sekali!”
Acel memelukku erat. Mungkin, dia baru pertama kali ikut lomba, jadi merasa bahagia sekali saat bisa mengalahkan lawan mereka.
“Jauh sekali skornya, sudah Hamak bilang, kalian pasti bisa!” Dia mengacungkan jempol ke Nico dan Acel.
Nico menunjuk Menteng. “Entahlah, Menteng semangat betul, Hamak. Dia menjawab semua pertanyaan dengan cepat dan benar. Walau, ada salahnya. Aku dan Acel mau memencet tombol, dia sudah duluan,”
Menteng menepukkan dadanya. “Lihat saja, anak itu pasti menyesal telah mengejekku,”
Aku dan dia tertawa bersamaan. Ternyata, dendam Menteng menakutkan juga.
“Baiklah, setelah ini, soal akan semakin panjang. Jawaban juga semakin panjang. Acel, kau paham maksud Hamak?”
Acel mengangguk. “Biarkan Nico memahami soal, Menteng memperkirakan jawaban, Nico memastikan dan Acel menjawab dengan bahasa yang jelas,”
“Bagus. Kerja sama kalian lebih diutamakan, mengerti?”
Mereka mengangguk kompak. “Mengerti!” jawab mereka serempak.
Aku menyerahkan tiga kotak nasi pada mereka. “Makanlah dulu, isinya rica-rica ayam.”
Mata mereka membulat. Langsung saja, mereka duduk di atas paving, lantas makan dengan lahap.
“Bang, dulu bukan guru paud, kan?” tanyaku.
Dia tertawa. “Tidak lah. Kenapa kau tanya begitu?”
“Abang seperti bisa memahami anak-anak,”
Dia menepuk dahinya. “Aih, begitu, ya? Baiklah, aku juga akan memahamimu,”
Mukaku mulai merona. “M-maksud Abang?”