1'

Maulida Ajeng Priyatnomo
Chapter #23

Todongan Pistol

Persiapan berkemah di atas bukit.

Acel sangat bersemangat. Dia membawa banyak sekali makanan dari rumah—yang kutahu sedikit, Acel anak yatim piatu. Dia dirawat oleh Hamak Ampong. Menteng membawa buku astronomi—sumbangan dari luar. Nico dan Itok membawa tenda dari Posko kesehatan.

Kabar yang kurang menyenangkan sejak aku mendengar dia sudah jarang di sini. Itok berkata—rumahnya paling dekat dengan Posko dan dia setiap hari bermain ke sana, dia akan datang, tapi terlambat. Dia menyuruh Nico untuk memimpin perjalanan kami ke sana—badan Nico paling besar dan tingginya sama dengan dia. Membuatku menghela napas sejenak. Baiklah, dia pasti datang.

Persiapan sudah selesai, tinggal berangkat, Inak Banun menyentuh pundakku. Aku menoleh ke belakang.

“Kau yakin mau berkemah tanpa Hamak Fian?” Inak bertanya.

Aku menghela napas. “Dia akan menyusul, Inak.”

“Kau yakin?”

Aku mengangguk mantap. “Dia bukan pria ingkar janji, Inak. Bukankah begitu?”

Inak Banun menghela napas. Sorot matanya penuh kekhawatiran. Dia mengangguk pelan, tersenyum lembut. “Baiklah, Inak percaya. Hati-hati, ya, Nak?” Inak mengelus pundakku.

Aku mengangguk, mencium tangan Inak. Anak-anak ikut mencium tangan Inak. Kami mulai melangkah, dipimpin Nico.

“Sebentar,” teriak Inak. Kami berhenti, menoleh ke belakang. Inak berlari ke dalam, lantas keluar lagi. Menyerahkan benda bulat berwarna perak padaku. Aku menatapnya tidak mengerti.

“Bawalah. Inak mendapatkan ini saat Acel ditemukan di tengah hutan. Semoga, ini ada manfaatnya walau Inak tidak tahu kegunaan benda ini.”

Acel langsung berlari mendekat. Melihat lekat benda itu. “Berarti ini milikku, Inak?”

Inak Banun mengangguk. “Biar Bu Damay yang membawa, kau masih kecil.”

Acel menghela napas mengkal, saking penasarannya dengan benda itu.

“Kami berangkat, Inak,” Aku mengangguk pamit. Perasaan yang ganjil sekali.

Inak balas mengangguk, melambaikan tangan.

Petualangan dimulai. Belum dengan dia memang. Aku menatap benda yang diberikan Inak. Menggenggam erat. Pasti, aku percaya dia pasti akan datang. Dia adalah pria yang tidak pernah ingkar janji.

*****

Pertama, kami naik longboat selama setengah jam. Anak-anak terlihat antusias sekali. Tertawa terus menerus, ada saja yang mereka obrolkan.

“Ayam, ayam apa yang tidak bisa berkokok?” tanya Acel.

“Ayam betina!” jawab Itok.

“Salah. Menteng jawabannya!” Acel tertawa keras. Menteng melempar kulit kacang rebus ke Acel. Nico tetap diam, hikmat menikmati perjalanan.

“Lagi, buaya, buaya apa yang bisa bicara?”

“Buaya darat!” jawab Itok.

Aku menoleh. “Eh, darimana kau dapat kata-kata itu?”

“Waktu Inak-ku menonton sinetron di TV tetangga,” jawabnya polos.

Aku menepuk dahi. “Memang, buaya darat itu apa, Itok?” tanyaku pura-pura tidak tahu.

Itok mengangkat bahu, “Tak tahu, Bu. Aku hanya mendengar dan menonton saja,”

Aku menghela napas lega.

“Memang artinya apa, Bu?” tanya Acel.

Aku mengerutkan kening. Mereka terlalu kecil untuk tahu apa arti buaya darat. “Em, ya, buaya kan sesekali di darat,”

“Tapi, saat itu tak ada buaya di sinetron, Bu,” seru Itok.

Duh! Bagaimana ini?

“Hei, lihat, ada pelangi!” seru Nico menunjuk ke dekat air terjun kecil.

Anak-anak lalu menoleh, melupakan pertanyaan tadi. Memang, benar-benar menjadi PR untuk pendidik saat ini. Kalau tontonan dan kata-kata yang belum pantas terdengar oleh anak, pasti akan mudah terekam diingatan mereka. Aku bergidik. Berarti, semakin maju teknologi, mental dan kesiapan juga harus lebih maju dahulu. Bayangkan, apabila kemajuan teknologi tidak diimbangi dengan mental dan kesiapan, terutama moral manusia yang baik, bukankah perlahan tapi pasti dunia akan hancur?

Misal, saat sudah ada sistem toko tanpa ada pelayan. Hanya menggunakan robot, mudah saja bukan mengelabui? Pembobolan dengan sistem koding misalnya. Bisa dipelajari dan akhirnya merebak di mana-mana. Anak-anak usia dini sudah dipertontonkan sesuatu yang belum saatnya—dewasa lebih dini istilahnya. Ditambah merebaknya manusia egois dan konsumtif yang tinggi. Benar-benar mengerikan aku membayangkannya.

Apakah, itu yang dimaksud dari Pak Satu?

Beruntung, anak-anak di sini lebih terkendali. Mereka masih memberi dan menerima kasih dari hutan, alam yang mereka jaga. Masih bersahabat baik dengan sungai, tanah, dan memilih memburu hewan—sesuai kebutuhan, daripada seharian penuh menonton TV. Aku memotret mereka diam-diam menggunakan ponsel yang tak ada sinyal. Mereka hikmat sekali melihat pelangi.

“Bu, apakah ada yang indah selain pelangi?” tanya Acel tiba-tiba.

Aku tersenyum. “Menurutmu, apakah ada, Acel?”

“Bu Damay, selalu saja bertanya kembali,” jawabnya.

Aku terkekeh. “Masih ingat materi letak astronomi Indonesia?”

Mereka mengangguk bersamaan.

“Menurutmu, apakah ada negara selain Indonesia?”

“Ada Bu!” jawab Menteng antusias.

“Sebutkan, Menteng,”

“Jepang, Belanda, Kanada, Rusia, Thailand, Singapura, banyak sekali, Bu!”

Nico mengangguk. Sebenarnya dia tahu, hanya dia lebih baik diam dan mendengarkan.

“Apakah kalian percaya, bahwa ada suatu tempat tersembunyi selain negara-negara yang kalian tahu itu?”

Mereka merapat. Menatapku penasaran.

“Pasti Bu Damay sedang mendongeng,”

Aku menggeleng pelan. Tersenyum. “Bukankah pulau di Indonesia lebih dari ribuan? Mengapa yang terkenal hanya tiga puluh empat provinsi saja? Apa kabar pulau-pulau tanpa keterangan lebih detail itu?”

Mereka terdiam dan berpikir.

“Apakah, banyak hantunya?” Mata Acel membulat, takut.

Aku mengangkat bahu. “Ibu tidak pernah tahu.”

“Misterius,” gumam Menteng.

“Menurut Ibu, sesuatu yang belum diketahui itu adalah hal paling indah daripada pelangi,” jawabku sambil tersenyum.

Menteng mengerutkan keningnya. “Maksudnya?”

“Apakah kalian jadi ingin tahu ada apa di pulau tersembunyi?”

Mereka mengangguk bersemangat.

“Itu jawabannya,”

Nico mengangguk, paham.

“Memang kau tahu, Co?” tanya Menteng dengan muka penasaran.

Nico mengangguk. “Proses belajar,”

Aku menjentikkan jari. “Betul, Nico!” Aku tersenyum lebar pada anak-anak.

Anak-anak selain Nico, menatapku tidak mengerti.

“Kemarin kita baru menang lomba LCC bukan? Bagaimana perasaan kalian?”

“Senanglah, Bu!” seru Menteng sambil menepuk dadanya.

“Apa hubungannya proses belajar dengan menang LCC, Bu?” Acel semakin penasaran.

Rasanya, aku ingin tertawa soal muka penasaran dicampur muka tidak tahu mereka. “Ehem, setelah kalian menang apa yang akan kalian lakukan?”

Anak-anak saling menatap. Nico mengangguk takzim.

“Ya, memajang piala, Bu,” jawab Menteng.

Aku mengangguk. “Lalu?”

Menteng menggaruk kepala. Semakin bingunglah dia.

“Sekarang, Bu Damay bertanya lagi. Apa yang dilakukan saat tahu nilai Matematika kalian nilainya tiga puluh?”

“Menangis, karena dimarahin Inak,” jawab Itok.

Aku tersenyum. “Lalu, Itok?”

Inak akan menyuruhkku belajar lagi,”

Aku mengangguk. “Bagaimana tindakanmu? Apakah lebih giat dan tekun belajar agar nilainya baik?”

“Iya, Bu!”

Aku menghela napas. Tersenyum. “Misal, kita mendapat nilai lima puluh, maka kita akan belajar lagi atau bahkan belajar dari kesalahannya. Mencari cara termudah agar bisa mengerjakan lagi. Saat nilai bagus, maka kita akan puas, mengangguk dan semangat lagi dalam belajar. Begitu?”

Mereka mengangguk, tersenyum lebar.

“Sama. Saat kita belajar berenang. Pertama kali pasti belum bisa, tenggelam, menelan banyak air. Akhirnya, kita penasaran, bagaimana, ya, cara berenang yang lebih mudah? Oh, ada tahapnya. Mulai latihan pemanasan, pernapasan, hingga gerakan dari tangan lalu gerakan kaki, berlatih di sungai yang dangkal, lantas memberanikan diri berenang di sungai besar. Apakah, proses itu menyenangkan?”

“Iya, Bu, menyenangkan! Banyak tantangan dan ingin terus belajar dan belajar!” jawab Acel girang. Yang kutebak, dia sudah paham apa yang aku katakan.

“Proses belajar adalah sesuatu yang lebih indah daripada pelangi,” aku tersenyum.

Lihat selengkapnya