Aku meringkuk di pojok kamar. Menenggelamkan kepala di antara lipatan tangan.
Tidak menangis.
Tidak bicara.
Tidak makan.
Apapun itu, tidak ada yang ingin kulakukan selain meringkuk, terdiam, dan menghela napas.
Teriakan Acel terngiang lagi di kepalaku. Mataku bereaksi, mengeluarkan bulir-bulir yang tidak bisa kubendung. Terisak lagi. Menggumam sendiri.
Kenapa? Kenapa semua ini terjadi? Andai, kami tidak berkemah ke sana, mengganti dengan kegiatan lain, maka semua akan baik-baik saja. Andai, tidak ada ide untuk ke sana, semua tidak akan menagih janji itu.
Ya, janji itu. Janjinya untuk membawa ke sana. Bersenang-senang, merayakan kemenangan kecil kami. Melihat senja dan matahari secara bersama-sama, seperti perkataan manisnya. Ya, janjinya.
Janji yang kukira akan ditepati, mengingat dia adalah orang konsisten dan tidak akan pernah ingkar janji. Ya, dia. Dia penyebab semua ini bukan? Dialah yang pertama kali mengajak kami ke sana.
Tapi, dia berbohong.
Ingkar janji.
Dan, lihatlah! Dia sama sekali tidak datang bukan? Aku terisak lagi, menjerit perlahan. Apakah Acel baik-baik saja? Di mana Acel sekarang? Aku yakin sekali, Acel tidak akan dilukai, entah apapun alasannya.
Pintu terbuka perlahan. Sedikitpun, kepalaku tidak terangkat. Tetap terisak memikirkan bagaimana keadaan Acel. Menyalahkan diriku sendiri. Aku memang tidak akan pernah pantas menjadi seorang guru. Aku adalah guru terburuk yang tidak bisa melindungi anaknya sendiri. Akulah, guru yang terlalu yakin atas perkataan seseorang. Akulah, akulah yang salah, karena tidak mempunyai rencana lain untuk menyelamatkannya.
Aku mulai menjambak rambutku sendiri. Menangis terisak. Kenapa aku begitu bodoh?
Tangan yang lembut memegang erat tanganku, melepas perlahan jambakanku. Perlahan, kutatap siapa orang itu—yang sebenarnya aku tahu, saking hapalnya dengan derap langkahnya.
Matanya sayu menatapku. Berkaca-kaca. Aku tidak bisa menghentikan sedikitpun isakanku.
“Damay,” sapanya lembut.
Aku menunduk. Tetap terisak. Dia semakin menggenggam tanganku erat.
“Damay?”
Tangisanku semakin keras. Menatap tajam balik padanya. Saat ini, amarah mengendalikanku. Ingin rasanya aku membentaknya.
“Apapun itu, katakan saja, Damay,” katanya lembut.
“Kenapa?” tanyaku serak.
Dia tidak melepaskan genggaman.
“Kenapa kau kembali?” tanyaku sambil menatap tajam padanya.
Dia tercekat mendengar pertanyaanku, menunduk, lantas melihat betisku yang sudah tertutupi pengobatan herbal dari Nico.
“Aku harus melihat lukamu, Damay,”
“Jadi, itu janji yang kau buat?”
“Damay...”
“JADI, JANJI ITU YANG KAU BUAT?” teriakku di hadapannya.
Matanya semakin berkaca-kaca. Dia tidak melepaskan genggamannya. “Aku minta ma...”
“KAMU PIKIR, KATA MAAF BISA MENGEMBALIKAN APA YANG TELAH PERGI?”
Dia meloloskan air mata. Menatapku semakin sendu. “Aku salah, Damay. Aku yang salah, berhentilah menyalahkan dirimu sendiri...”
“Apakah, aku harus percaya pada seorang pria pembohong sepertimu?”
Dia menghela napas panjang. Tangannya berhenti menggenggam. Dia menunduk. Melihat betisku. Beringsut mengambil tas P3K, lantas membuka peralatan untuk menjahit luka.
“Bisakah kau pergi dari hadapanku?”
Dia tidak mendengarkan. Tetap saja menyiapkan perlatan untuk menjahit lukaku yang tidak terasa perih sama sekali.
“BISAKAH KAU PERGI DARI HADAPANKU!”
Seseorang melangkah masuk. Disusul satu orang lagi. Orang yang sangat aku kenal selama ini. Ruki memelukku erat. Tangisanku pecah dipelukannya. Seseorang itu ikut berjongkok, menatapku sangat sendu. Seolah, dialah yang lebih sakit daripada diriku saat ini. Dialah, yang selama ini ada dan tetap ada.
Aku semakin menyalahkan diriku. Kenapa? Kenapa hatiku lebih tertuju pada seseorang yang tidak jelas dan tidak tahu alasannya? Kenapa aku harus mau dengan seorang pembohong dan ingkar janji, sedang di hadapanku ada seseorang yang rela terbang kembali ke kota demi kenangan kami. Mau ikut relawan, mengambil sampah-sampah di sungai. Hanya untuk, menikmati hari bersamaku. Kenapa bukan Eno saja?
Dia beringsut minggir, menunduk. Ruki ikut menangis, memelukku sangat erat. Ruki mengelus kepalaku perlahan. Tangannya dingin sekali saat menyentuh dahiku. Dia memegang bahuku erat.
“Damay, jangan, jangan seperti ini lagi,” Ruki berbisik lembut di telingaku.
Eno menunduk. Dia tetap memegang bahuku erat.
“Kamu sudah melalui semua dengan baik. Jangan, jangan lagi seperti ini,” Ruki mengelap air mataku. “Keluarkan, kamu boleh teriak semaumu, sampai puas. Asal, jangan, jangan sampai demam seperti saat itu lagi.”
Aku menangis semakin keras. Aku adalah orang terburuk saat ini. Aku adalah orang yang tidak bisa apa-apa. Aku adalah orang yang hanya bisa mengeluh, menangis, dan menyalahkan orang lain. Tidak memberi solusi dan berandai-andai.
Tiga menit kami terdiam hening. Hanya ada aku, Ruki, Eno, dan dia yang terus menunduk.
Tangisanku mulai mereda. Ruki melepas pelukannya, mengelap air mataku lagi. Eno melepaskan pegangannya. Dia menatapku sangat lekat. Eno mengelus kepalaku sekali lagi. Merapikan rambutku yang acak-acakkan. Dia tersenyum dengan lembut.
“Damay, bagaimana kamu akan berdiri lagi kalau kakimu tidak mau diobati?” tanya Eno.