3 tahun kemudan di NTB
Sekolah kecil di pelosok NTB berdiri. Namanya sekolah LIFE. Soal kehidupan. Anak-anak di sini, tidak hanya diajarkan soal membaca, menulis, dan berhitung. Namun, mengenali alam sekitarnya. Mengenali bagaimana lingkungan dan bagaimana cara merawatnya.
Bangunannya sederhana. Hanya seperti pendopo tanpa pintu dan berdinding rendah. Papan tulis sederhana dan lemari yang besar berisi buku-buku bacaan. Disitulah letak kelebihannya. Buku. Kalau dihitung, sekitar lima ribu buku tertata rapi di dalam lemari tanpa pintu. Ditambah sekitar sekolah yang asri penuh tumbuhan, membuat anak-anak betah tinggal.
Di samping sekolah, terdapat bangunan kecil empat kali empat Tempat guru itu beristirahat, mengerjakan administrasi, bahkan menginap. Disitulah, tempat tinggalku sementara, saat aku mengunjungi sekolah ini. Sekolah yang aku dirikan bersama sponsor utamaku, perusahaan yang dimiliki Eno.
Eno mempunyai perusahaan start-up di Denmark. Perusahaan tentang pengembangan hasil penelitian. Entah itu penelitian teknologi, bahasa, maupun budaya. Perusahaan itu bernama R&D. Terinsipirasi metode penelitian dari dunia pendidikan.
Eno menerima proposalku bukan dasar kasihan, tapi sekolah ini memang terkadang didatangi guru-guru hebat, dijadikan sebagai objek penelitian, lantas dikembangkan di perusahaan Eno. Kami saling bekerja sama, bahkan terkadang mendatangi sekolah ini secara bersamaan.
Aku sendiri selain menjadi pengelola sekolah, menjadi seorang psikolog anak. Pas. Psikolog juga sangat berpengaruh pada perkembangan berpikir dan tindakan anak. Akulah yang memang berkeinginan sendiri mendirikan sekolah di pelosok secara gratis. Tentu, menerima donatur yang ingin menyumbangkan.
Setelah pergi hanya pamit pada Inak, aku langsung pulang. Di Pontianak, aku mampir ke Istana Kadriah menggunakan sepit. Air mataku rasanya sudah kebas. Habis. Melamun saja. Aku hanya berputar-putar di sekeliling Istana Kadriah, membuat bingung Ranaya.
Bukankah,memang ini yang aku inginkan?
Mencintai Dia tanpa alasan bukankah sesuatu yang terus kulakukan? Padahal hati selalu berkata, belum jelas dan belum tahu seperti apa. Bukankah, inilah jawaban kepastian itu?
Mungkin, sebelum aku berangkat. Berpikir, bahwa kepastian adalah iya. Belum tahu, bahwa kepastian juga bisa tidak. Dan, aku mendapatkan kepastian ‘tidak’ itu. Tentu, dengan emosional, siang sebelum berangkat kembali ke Yogyakarta, aku menelepon Ruki. Berkata bahwa aku ingin lanjut S2.
Mungkin, banyak yang berkata bahwa aku akan patah hati selamanya. Tidak. Aku memang patah hati, tapi bermuram durja tanpa mengambil hikmah semua ini, buat apa aku sampai ke pelosok? Bukankah, saat menerima suatu pesakitan agar kita belajar? Belajar lebih baik, belajar memahami, lantas mengambil langkah untuk esok hari.
Dan aku sudah memutuskan langkah itu. Semua filosofis yang Dia ajarkan, aku eksekusi saat ini juga. Sekolah pelosok.
*****
Di pinggir pantai.
Aku dan Eno berjalan beriringan. Pantai yang indah. Kami harus naik tebing, lantas turun tebing sebelum tiba di bawah pantai. Ada batu berlubang di dekatnya. Waow, memang benar-benar indah.
“Yakin nggak mau foto?” ledek Eno.
“Memang kamu pikir, aku anak hits ala-ala?”
Eno tertawa. Mengulurkan tangan untuk turun ke bibir pantai. Kami berjalan lagi. Banyak manusia juga ternyata di sini. Bahkan, turis bule pun ada.
“Kamu nggak mau kenalan?” ledekku lagi.
“Tipeku oriental,” jawabnya. Mukanya merona.
Aku tertawa. Setelah menemukan tempat yang pas, aku duduk. Eno tidak. Dia berdiri mencari buah kelapa muda untuk diminum. Sejak dulu, pasti seperti itu kebiasaannya.