1/4
Kantuk ini. Dingin ini. Pulpen di tanganku ini.
Nyaris, tak bisa kuingat apa yang harus ku tulis kemudian.
Kertas-kertas assessment masih ada yang belum tersentuh sedikit pun. Banyak sekali pasien yang masuk malam ini. Aku berjaga disini. Front line kali ini dipegang oleh para senior.
Dan, disinilah aku. Lagi, berada di antara tumpukan kertas.
Aku benci di belakang meja, sejujurnya.
Inilah yang paling buruk. Aku lebih suka disuruh untuk melakukan resusitasi jantung paru, pegal tak apa. Atau berkeliling mengukur intake-output, atau memantau monitor dengan gambaran jantung yang berbeda setiap detiknya.
Godness, jauhkan aku dari kertas-kertas ini.
And it has been 01:13 a.m. Aku hampir mati karena bosan.
“Emergency!”
Mataku melek lebih lebar.
“Good bye,” cepat, aku berbisik sambil tersenyum pada kursi yang baru kududuki, kemudian segera mencari sumber suara. Seharusnya aku tidak tersenyum, karena satu kata “emergency” berarti satu kata yang menandakan nyaris tiadanya nyawa seseorang—begitulah kasarnya. Tapi satu kata ini yang membuatku mempunyai alasan yang kuat untuk pergi dari kertas-kertas maut itu. Seriusan, kursi empuk itu seperti neraka buatku!
Pak Seno, ternyata. Ia bersama dua seniorku yang lain, bergegas menempatkan pasien yang dibawanya dari luar dengan brankar menuju bed nomor 07. Aku segera bergegas memasang wajah sibuk sambil mengambil monitor. Oke, sebelumnya harus kupastikan wajah ini tak terlalu buruk terlihat. Aku mengucek mataku beberapa kali dan mencoba tersenyum.
Begitu sampai bed 07, aku melihat wajah itu pucat, lesu, berbicarapun tak ada daya. Laki-laki ini mirip mumi. Hanya kedipan mata saja yang membuatku yakin bahwa dia masih hidup. Dia kutaksir seumuran denganku, mungkin saja lebih muda sedikit.
Aku melihat seniorku membawa 1 flash Ringer Asetat 500 cc. Beberapa lainnya memasang monitor yang kubawa, aku membantu dengan memasangkan saturasi pada laki-laki itu, kemudian humidifier oksigen sentral—yang seharusnya sudah ada di setiap bed, entah kenapa di bed ini kosong.
“Tensi?”, Pak Seno menoleh padaku. Hore! He even doesn’t realize dimana seharusnya aku harus berada! Akan kugunakan taktik ampuh ini kapan-kapan.
“88/53 mmHg pak,” jawabku.
“Perlu dobutamine drip, kayaknya. Tolong panggil Dokter Ronald,” ia menyuruh salah seorang temanku. “Kamu disini dulu. Saya mau ambil syringe pump.”
Hei, tumben dia tidak menyuruhku?
Aku mengangguk saja, menurut.
“Pasang infus saja,” Oh. Seperti yang aku duga.
Tidak ada respon ketika aku memasukkan jarum suntik ke pembuluh darahnya. Aku ikut meringis, sedikit. Masih jelas di ingatanku ketika pertama kali aku dipindahtugaskan ke IGD, beberapa kali aku harus menangis diam-diam di dalam toilet setelah melihat prosesi pemasangan infus. Satu kali gagal memasang infus membuatku nyaris ingin resign dari tempat ini. Aku merasa perlu mengevaluasi pekerjaanku sendiri. Aku sempat berpikir apakah aku cocok menjadi pegawai salon atau pembersih kebun saja.
Semakin lama, sensasi pemasangan infus sungguh tidak seberapa. Aku pernah melihat yang jauh lebih menyakitkan dari sekedar pemasangan infus.
Semoga saja ini bukan apa yang dinamakan mati rasa.
After medicine, and you know—rehidration things—kurang lebih dua jam kemudian, kondisinya membaik. Laki-laki ini sudah bisa ditanya-tanya sedikit, mekipun destinasi berikutnya kemungkinan ICU untuk observasi.
Serius, demi menjauhkan diri dari kertas-kertas itu, aku akhirnya melakukan anamnesa padanya. Ini adalah satu-satunya pengkajian yang pernah aku lakukan untuk tujuan lain. Dan lagi, aku tidak bisa bertanya kepada keluarga dekat, karena dia memang sendirian kesini. Kata Pak Seno, tadi diantar taksi.
“Awalnya gimana, mas?”, tanyaku setelah sebelumnya memperkenalkan diri.
“Diare, enam hari. Bulan ini sering sekali saya diare, ners. Hari ini paling sering. Sedari subuh,” ujarnya lemas. Hampir sepeti berbisik.
Aku mengangguk mengerti.
“Kalau boleh tahu, mas sudah minum obat apa saja di rumah?”
Dia menggeleng. “Makan pisang saja, ners. Katanya bisa cegah diare?”
Kreatif juga.
“Ada keluhan lain? Mual?”, tanyaku seraya melirik sebentar-sebentar ke arah monitor. Laki-laki itu menggeleng singkat. “Sakit kepala aja.”
Termometer berbunyi dari antara ketiaknya. Aku mengambilnya dan membaca nominalnya. 39,1 ᵒ C. Naik. Dua jam yang lalu masih 37,8 ᵒ C. Pantas dia sakit kepala.
“Saya ambilkan kompres dan obat penurun panas dulu, ya,” ujarku.
“Saya mau tanya satu hal dulu, ners,” laki-laki itu menahanku. “Sebentar. Ners..”
“Reindita. Panggil saja Suster Rein,” aku menunjukkan nametag-ku—sekali lagi. “Mau tanya apa, Mas Bara?”
Dengan agak ragu, ia berbisik, “Disini ada pemeriksaan untuk HIV-AIDS enggak, ners?”, katanya, setengah duduk. Berusaha mendekatkan mulutnya ke kupingku.
¼
“Echo! Echo!”, aku berlari menghampiri cowok berjaket biru tua itu. Mulutnya celemotan oleh es krim coklat. Dua buah kertas minyak tergeletak kusut di pinggir tempat duduknya. Fiks, ini adalah es krim cone ketiga yang dilahapnya.
“Hm, mau?” Echo menawariku. Eskrim bekas mulutnya. Aku menggeleng cepat.
“Ludahmu disitu, Echoooo,” aku mencubit kecil pipinya.
“Kalo pun gue HIV, perlu empat galon ludah gue biar elu kena,” Echo menjilat es krimnya lagi. “Kemaren gue MCU, Alhamdulilah tes HIV gue negatif,” lanjutnya.
“Ialah, negatif. Emang kamu pernah ngapain? Make?”
Echo cuma senyam senyum. “Gimana kerjaan elu?”
“Lumayan. Unpredictable, pasiennya.”
“Ialah, IGD. Kalo elu mau yang predictable, ke ruang anak, tuh. Paling DHF, typhoid. DHF, typhoid. DHF, typhoid. Gitu aja terus sampe Indonesia balik ngejajah Belanda.”
“Enak aja. Engga cuma itu, kali. Becanda, kamu.”
“Kebanyakan, kebanyakan,” Echo menjilat es krim nya lagi.
Aku menyandarkan punggungku ke kursi, dan menengadah ke langit. Langit biru cerah.