Langit abu-abu di atas sana menggumuli sinar matahari yang seharusnya membangunkan Vita pagi ini. Aku tahu, prinsip Vita adalah tidak akan beranjak dari tempat tidur sebelum matarari menyilaukan matanya.
Aku menghampirinya dan bersiap memulai operasi pelepasan kemalasan Vita, lagi.
“Vit! Vit!”, aku menggoyang-goyang lengan Vita. Alarm yang dipasangnya dengan suara stereo belum juga berhasil membangunkan manusia kerbau satu ini. Vita menggeliat sekilas, lalu tidur lagi.
“Vit, home care, Vit!”
“Gentiin gue sih, Rein. Please. Kali ini, aja. Tar duitnya bagi dua,” kata Vita semena-mena.
Aku terbengong.
“Bukan masalah duitnya, Vit. Aku kan enggak tahu kayak gimana pasiennya. Lagian kamu kebiasaan nih! Kalo udah jelas-jelas kebluk, ga bisa home care pagi, ya jangan ACC. Kamu nih, ah. Ngaco. Vit! Bangun Vit! Oke lah melofen dulu. Hari ini bareng kamu. Besok aku sendiri enggak apa-apa,” aku masih belum menyerah. Kutarik selimutnya, kutarik bantalnya.
“Rein!”, Vita menarik selimutnya lagi. “Gue baru pulang subuh tadi, abis jaga malam kedua. Please lah, Rein. Pasiennya cuma luka diabetikum. Wound care aja. Lengkap semua dressing-nya disitu. Makan siang disediain. Hari ini elu libur, kan?”
“Vitaaaa..” Echoooo! Kenapa sih kamu bisa punya sepupu separah ini?
“Please, Rein. Sekali ini aja,” Vita semakin menenggelamkan kepalanya kedalam selimut. Aku tahu ‘sekali ini’ tak akan berarti sekali ini bagi Vita. Aku mengibarkan bendera putih. Lagi. Dengan bergegas, aku menyambar handuk dan gelas gosok gigi.
¼
“Ting tong!”
Wanita yang kutaksir berumur 60 tahunan membukakan pintu dengan tergopoh-gopoh. Aku menyunggingkan senyum. Tidak, dia yang pertama menyunggingkan senyum untukku.
Giginya yang ompong di beberapa bagian tidak mengurangi sisa-sisa kecantikannya di masa lalu.
“Vita, ya?”
Sialan si Vita. Nama saja harus kusamarkan dulu.
“Iya, Oma. Salam kenal,” ujarku. “Mari, mari,” katanya, menggiringku ke sebuah ruangan berdaun pintu tebal. “Temanmu sudah menunggu. Kelihatannya ia mengantuk sekali.”
Begitu pintu dibuka, aku melihat Mas Gogon sedang mengatur posisi tempat tidur.
“Eh, Rein! Vita mana?”, tanyanya spontan. Aku melotot, membuat Oma terlihat bingung. Mas Gogon tersenyum kecil. “Reindita Vitasari, baru dateng lu?”, Ralat Mas Gogon, sok asik. Sementara namaku digabungkan dengan nama Vita. Salah pula. Jadinya mirip dengan nama toko kue dekat rumah. Aku mesem-mesem saja. Oma terlihat tak terlalu peduli, ia segera mempersilahkan aku masuk dan meninggalkan kami bertiga. Mas Gogon, aku, dan pasien kami.
Begitu pintu ditutup, tawa Mas Gogon tumpah. “Pinter banget si Vita, selalu berhasil memperdaya elu. Salut, gue. Hahaha.”
Memperdaya? Enggak ada kata-kata yang lebih menjunjung harkat dan martabat aku, apa?
“Aku sampe niat beliin dia bedug mesjid, Mas. Taro di samping tempat tidur tu anak. Gentiin alarm.”
Sekedar info, Mas Gogon ini adalah bos home care paling ciamik yang pernah aku tahu. Link home care nya banyak banget. Mau di daerah mana? Se-Bandung Raya ada! Perawat yang pengangguran bisa mendadak kaya kalau kerjasama sama orang satu ini. Syaratnya tiga: pintar, siap dipanggil kapan saja, dan siap mengganjal mata pake korek api kalau dinas malam. Yakin bakal mendadak banyak ‘wang-wang-wang’.
Mas Gogon tergelak mendengar leluconku. “Bisa nih, kapan-kapan gentiin gue home care juga?”
“Gigit, nih!” gigiku gemeretak, gemas. “Ia kalo aman. Kalo pasien terminal? Kalo pas aku jaga terus emergency?”, kataku setengah berbisik, takut terdengar Oma. Mas Gogon tertawa geli. “Engga akan tega lah, kalo gue, Rein. Lagian elu baik banget sih.”
Baik, apa bego? Beda tipis.
“Lagian, mau dong, digigit elu,” dia tergelak lagi.
Aku menghela napas. Melirik Mas Gogon yang cengar-cengir, entah harus menjawab apa.
“Lanjut serah terima aja, Mas. Kata Oma kamu udah ngantuk-ngantuk.”
Beberapa menit kemudian, kami sudah asik membahas si Oma ini. Namanya Oma TjuTji. Usianya sudah beranjak 72 tahun. Ternyata, oma yang membukakan pintu adalah adik dari Oma TjuTji. Singkatnya, Oma TjuTji menderita diabetes mellitus sejak ia berumur 40 tahun. Luka-lukanya sulit sembuh. Matanya sudah mulai memburam sekarang.
“Kadar gula darah terakhir, bos?”
“256,” kata Mas Gogon. Wow juga. Dietnya pasti dibumbui dengan beberapa belas unit insulin. Aku mencatat semua yang Mas Gogon laporkan.
“Ada luka di mata kaki, ya, Rein. Sama di bokong. Genti aja balutannya. Terakhir pus nya tinggal sedikit. Lihat-lihat aja. Semua wound dressingnya ada di laci, pake aja.”
“Insulin nya pake apa?”
“Novorapid, sekarang lagi di 12 unit. Tapi adiknya Oma TjuTji ini yang nyutikkin. Elu ingetin aja siapa tahu dia lupa.”
“Oke, oke.”
“Eh, gue nyediain stok Dextrose 40% sama air gula di laci situ, ya. Kali hipoglikemi,” Mas Gogon menunjuk salah satu laci kayu di pojok kamar.
Aku mengangguk, “Udah?”
“Em, apalagi ya? Elu WhatsApp aja deh kalo mau tanya apa-apa.”
“Sip deh. Udah, sana. Tidur kamu mas. Tar malem jaga malem lagi, kan?”
“Iye. Dan kayaknya gue bakal ketemu lu lagi besok pagi,” Mas Gogon nyengir.
Aku mengangkat bahu, pasrah. Mas Gogon terkikik.
“Oke Rein. Aman-aman ya!”
“Amin mas,” mataku menemani Mas Gogon keluar dari kamar ini, dan diakhiri oleh pintu yang ditutup pelan.
Oke, the first thing I should do adalah mulai merapikan lingkungan sekitar tempat tidur Oma TjuTji. Mas Gogon, yang notabenenya masih cowok, meninggalkan bungkus keripik kosong dan kulit kacang rebus di atas nakas. Kuramal dia tidak bisa tidur semalaman karena Oma TjuTji ini. Nah, sekarang saja si Oma sudah mendelak-delik kepadaku, minta ditemani ngobrol sepertinya.
“Oma, selamat pagi,” kata-kata standar yang kugunakan setiap kali memulai percakapan. “Saya Vita. Oma siapa namanya?”
“Bukannya sudah dikasih tahu sama Gon ya?”
“Tapi saya mau dengar langsung dari Oma.”
“Nama Oma.. Oma Cuci.”
Ternyata dibacanya Cuci, ulangku dalam hati. Ditambah embel-embel huruf E pada akhir namanya, yang terdengar digabung dengan huruf I.
“Saya kok akhir-akhir ini cepat capek ya, dan eungap, lagi,” Oma TjuTji mengembang kempiskan dadanya. Aku tersenyum.
“Oma kan sudah 72 tahun, itu tandanya sudah waktunya Oma untuk istirahat,” aku membelai punggung tangannya. “Olahraga mulut saja. Ngobrol-ngobrol ringan. Boleh sambil gerak-gerakkin jari-jari Oma. Yang penting, buat hati Oma senang aja, pokoknya,” jelasku. Oma malah terlihat bingung.
“Tapi Oma kepikiran anak-anak.”
“Satu di Amerika, satu Berlin, satu di China, ngurus makam suami saya,” jelas Oma. “Jadi, disini, sendiri sama Cheng.”
Oh. Nama adiknya Cheng.
“Itu bukan sendirian dong, namanya, Oma. Itu tinggal berdua.”
“Tapi, itu Cheng! Bukan anak saya. Bukan suami saya,” wajah cerianya berganti sendu.
Karena penjelasan Oma, aku jadi teringat salah satu materi kuliah di semester tujuh.
Keterlibatan keluarga. Bagaimana pentingnya keberadaan keluarga terdekat (dan yang tercinta) untuk proses penyembuhan pasien. Kalimat sederhana yang aku bisa ingat saat mata kuliah sosiologi keperawatan, dulu, adalah Tender Loving Care (TLC), yang justru semakin dipegang teguh dalam dunia kesehatan modern.
“Kan ada Mas Gogon, ada perawat-perawat yang baik menemani Oma tiap hari,” hiburku.
Aku mengusap bahunya, seperti yang biasa Echo lakukan untukku jika perlu. Aku berharap Oma Tjutji pun bisa merasakan kenyamanan yang sama.
“Pacar Gon, ya?”, selidik Oma.
Aku tertawa. “Mas Gogon mah udah punya istri, Oma. Baru nikah,” aku tersenyum.
“Keluarga muda nya,” Oma mengangguk-angguk. Aksen Sunda nya keluar lagi. Mungkin karena memang lahir dan besar disini, logat Sunda nya yang lebih kentara terdengar.
“Terus Kamu kapan?”
“Pacar aja enggak ada, Oma,” aku terkikik.
Teringat, beberapa kali menghadiri pesta pernikahan teman, aku selalu menyewa Echo untuk pura-pura kujadikan calon suami. Echo mau-mau saja, asal setelah itu dibelikan es krim coklat. “Rein, nanti, kalo lu punya pacar, gue harap itu bukan karena lu takut kesendirian, tapi karena lu bener-bener udah nemu seseorang, yang tepat,” begitu kira-kira ceramahnya di sebuah sesi deep talk, tengah hari, sambil menyantap gudeg di warteg bu Halimah.
Echo memang pintar banget menghibur hati.
Tapi sedetik setelah itu, ia kembali menghina-hina kejombloanku.
Ya, dia memang pintar, hanya kadang agak kampret saja.
“Nanti, kalau sudah nikah, kamu,” Oma meremas punggung tanganku lembut. “Ulah poho ka kolot, nya,” matanya berganti sendu. Sudut bibirnya agak gemetaran.
Aku tersenyum. Gantian mengelus pundaknya yang sudah ringkih. “Siap, Oma. Laksanakan.”
Oma Tjutji terkekeh pelan, kemudian memposisikan tubuhnya dengan nyaman. Punggungnya bersandar rendah pada bantal.
Beberapa menit kemudian, aku melihat Oma. Sudah tertidur. Genggaman tangannya melonggar. Aku melepaskan tangan kami yang tadi saling bertautan, dan merapikan selimutnya.
Pukul 12.00 nanti jadwalnya Oma makan siang. Dua jam setelah itu aku akan melakukan pemeriksaan gula darah lagi, setelah itu perawatan luka decubitus. Sebaiknya aku menyiapkan perlengkapan untuk itu semua, sementara Oma terlelap.
Aku melihat sebuah buku tergeletak di atas nakas. Sebuah buku tentang Diabetes Mellitus, Jilid II. Begitu tulisannya. Aku tersenyum, teringat ketika aku kuliah dan ketika buku seperti ini menjadi makanan sehari-hari pengganti lauk yang juga cukup menyita uang saku bulananku.
Aku membuka buku itu, sudah agak lusuh. Sepertinya sudah lama dan sudah sering dibuka.
Diabetes Mellitus. Aku jadi ingat Bu Giselle yang kece menerangkan ini ketika kami masih kuliah di tingkat III semester 5.
“There are two types of diabetes mellitus yang harus kamu ingat. Tipe I dan tipe II. Tipe I terjadi karena adanya kerusakan sel ß pankreas, sehingga tubuh kekurangan insulin. Biasanya genetik berperan dalam DM tipe I ini. Jadi gue ibaratin insulin itu teh kotak, ya. Sel ß pankreas nya itu adalah pabriknya. Gue punya sebuah pabrik teh kotak, nih. Sistem di mesin gue—dari sononya—emang ga bisa berfungsi maksimal. Jadi teh kotak yang dihasilkannya kurang. Jumlahnya enggak sesuai sama yang gue mau. Itu yang bisa ibu ibaratkan untuk DM tipe I. Nah, berbeda dengan DM tipe I, DM Tipe II terjadi karena pola hidup yang enggak baik. Ibarat gue punya pabrik teh kotak, nih. Mesin yang gue punya udah bagus. Eh, dirusak sama karyawan pabriknya, jadinya ga memenuhi target untuk produksi teh kotaknya. Belum bagian pengepakan dan sortir nya lemot banget, yang bikin tuh tek kotak lambat sampai di tangan konsumen. Harusnya rasa haus konsumen berkurang, karena biasanya mereka minum 2 buah teh kotak, sekarang jadi gak bisa menghilangkan rasa haus, karena teh kotak yang dikasih cuma 1 kotak per konsumen. Kurang.”
“Kayak gitu juga insulin. Diproduksi sih, diproduksi. Tapi jumlahnya kurang untuk bisa mengubah glukosa menjadi glikogen melalui proses glikogenesis. Glukosanya tetap tinggi di dalam darah sementara sel nya kelaparan.”
“DM tipe I dan tipe II sama-sama membutuhkan insulin untuk menetralkan kadar gula dalam darah. Ibarat pabrik teh kotak gue harus dapet supply teh kotak dari pabrik lain, untuk memenuhi semua kebutuhan konsumen. Pada kasus DM, adalah dengan cara penyuntikan insulin. Perbedaanya ialah, pada DM tipe I, insulin menjadi “makanan” yang wajib dikonsumsi oleh penderitanya, tetapi pada DM tipe II, pola makan dan olahraga yang teratur bisa membantu mengendalikan kadar gula dalam darah, disamping penggunaan insulin yang mungkin bakal diperlukan juga.”
Aku tersenyum, membaca selembar demi selembar buku itu, sembari mengingat-ingat masa-masa kuliah dulu.
¼
“Echo.. Dokter Echo, ada?”, tanyaku kepada Kak Junita, salah satu perawat disitu.
“Kencan, kencan,” godanya sambil mengedipkan mata. Belum waktunya makan siang, Rein.”
“Bukan kok, ka. Ini, mau bikin janji. Tapi aku WhatsApp dia enggak dibalas, di read aja enggak!”
“Pasien Dokter Dave membludak dari pagi, maklum lah, Hari Senin,” jelas Kak Junita.
Aku mengerti. Echo yang masih dokter muda, masih harus berguru banyak pada Dokter senior, dalam hal ini Dokter Dave. Tak heran jika ia tak membaca pesanku sama sekali.
“Rein?”, Echo keluar, lengan blazernya ia singsingkan.
“Kebetulan banget. Dasar jodoh, ya,” Kak Junita mesem-mesem. “Aku makan siang sebentar. Sudah sepi juga. Gentian ya, Cho. Abis itu kamu deh.”
Echo mengangguk dan melirikku.
“Gimana hari ini? Tumben, enggak nunggu di kantin aja?”
“Kamu engga baca WhatsApp-ku. Biar deh, sekali-kali aku liat kamu lusuh gini. Sibuk, Cho?”
“Gitu deh. Dave banyak maunya. Pusing, gue.”
Aku tertawa. “Dave? Enggak sopan banget. Manggil nama doang.”
“Biarin. Udah injek-injekan juga tadi kami di dalem. Rada rese tuh oom-oom,” Echo nyengir. Tetapi dari raut wajahnya, aku bisa melihat kenyamanan.
“Ngapain sih, lu?”
“Aku mau cerita sesuatu, Cho. Menyangkut hal yang akhir-akhir ini aku pikirkan. Kemaren kan aku ada home care—”
“Home care? Bukannya minggu ini elu enggak ada jadwal home care?”
“Sepupu kamu, tuh!”
“Siapa? Vita?”
“Siapa lagi, Cho. Dia tuh berani janji tapi enggak berani nepatin, tauk.”
“Kenapa gitu?”
Semenit kemudian, aku menjelaskan penjajahan yang dilakukan Vita.
“Ya bagus, lah,” kata Echo kalem. “Berarti elu yang dapet duitnya, kan? Lumayan dong, setengah juta sekali jaga. Bisa buat nambah tabungan elu beli Nikon.”
“Ya kali aku mikirin duitnya! Waktu aku ga terjadwal lagi gara-gara Vita, Choooo....”
“Hehe,” Echo menyelipkan tangannya di saku blazer putihnya. Giginya yang putih terlihat jelas kalau dia sedang nyengir.
“Udah, sih. Ambil hikmahnya aja.”
“Dan kebetulan ada hikmahnya yang bisa aku ambil berkat home care dadakan kemarin. Ini yang mau aku bicarain sama kamu.”
“Stop dulu, stop,” Echo menaikkan sepuluh jarinya di depanku. “Kalo elu cerita sekarang, gue ramal ga akan berhenti sampe si Dave neriakin nama gue terus gue disuruh ke dalem lagi. Sekarang elu tunggu aja gue di kantin. Nanti gue nyusul kalo Kak Junita udah balik.”
“Oke, oke—” Aku menyatukan jari jempol dan telunjukku. “By the way, tar. Dokter Dave punya buku tentang homoseksualitas enggak sih?”
“Em, Dave, ya? Okelah, nanti gue sekalian tanya dia, deh.”
“Makasih, Echo ganteng!”
“Ganjen.”
¼
“Jadi elu pikir, ada hubungannya antara DM dan homoseksual? Maksud gue, orang yang menderita DM itu lebih mempunyai kecenderungan mengidap gay atau lesbian? Kakek gue, dong?”, kata Echo sambil menguliti apel bekal makan siangnya dengan pisau. Dia nyengir.
Aku manyun. “Yee, enggak, bukan itu maksudku,” aku meletakkan cangkir teh. “Gini, Cho. Kamu tahu diabetes kan ada tipe I dan tipe II. Begitu juga dengan homoseksualitas. HS, kita bikin itu jadi singkatan dari homoseksual, juga punya tipe I dan tipe II,” jelasku.
Echo berhenti mengupas apelnya.
“Gimana gimana?”
Echo adalah tipikal cowok yang detail. Untuk bahasan seperti ini, ia hobi menyamakan presepsi. Tujuannya agar tak terjadi “wasting time”—sebuah kesia-siaan waktu membahas kesalahpahaman yang sebenarnya tidak perlu.
“HS tipe I, anggep aja kelainan genetik, deh. Emang dari brojol dia udah dilahirkan untuk jadi homo. Sedangkan HS tipe II itu seseorang yang mendapatkan kehomoseksualitasannya setelah dia lahir. Karena lingkungan sekitar dia, misalnya. Dan,” aku membuka tab-ku, “dari seluruh kasus DM, 90% nya adalah pasien dengan DM tipe 2. Presentase DM paling besar terjadi terjadi karena pola hidup setelah lahir. DM yang seharusnya dapat dikendalikan oleh perbaikan pola hidup. Bukan sesuatu yang mutlak enggak bisa dikendalikan!”
“Dan, gitu juga dengan HS tipe 2, gitu maksud lu?”
Mataku membulat, mengangguk dengan bersemangat.
Echo terdiam.
“Jadi, sama-sama butuh support insulin, baik itu DM tipe I dan II, gitu juga dengan homoseksualitas. Aku engga bilang homoseksual itu penyakit seperti DM, ya, Cho. Yang aku mau sharingkan disini bahwa bisa aja ada dua tipe itu. Dan semuanya butuh ‘insulin’,” aku menyertakan tanda petik dengan mengacungkan dua jari, pada kata insulin.
“What kind of insulin, then?”, lanjut Echo.
“Yang aku baca sih terapi psikologis, spiritual, tapi aku belum pahami lebih jauh tentang itu, Cho,” jelasku.
Echo mengangguk. “Pelan-pelan aja. Elu suka ambisius kalo lagi riset sesuatu.”
“Gitu ya mas..” aku berkedip. Echo memasang wajah jijik. Aku tertawa geli.
“Eh, dokter Dave punya buku tentang homoseksualitas?”
“Ada nih, satu,” Echo mengeluarkan buku setebal novel Gelombang nya Dee lah, kira-kira. Di cover depannya terdapat tulisan “Mematahkan Belenggu LGBTQ” sebagai judulnya.
“Q nya itu..”
“Queer,” jawab Echo. “Ternyata Dave punya beberapa buah di rumah. Itu buat elu aja, katanya,” Echo angkat bicara lagi.
Aku senyum-senyum sendiri. Beberapa hari belakangan ini, aku mencari buku tentang homoseksualitas di toko buku—bahkan di toko buku bekas, jarang sekali ada yang jual. Ada, tapi teenlit, atau novel fiksi. Aku terpaksa pesan on line. Buku “Mematahkan Belenggu LGBTQ” ini benar-benar seperti sebuah harta karun bagiku. Aku tersenyum pada Echo, mewakili sebuah ucapan terima kasih.
“Kerja keras, ya,” Echo menaruh matanya dalam-dalam ke dalam mataku.
Aku balas menatapnya, entah kerja keras untuk apa. Mungkin karena isi bukunya berat, jadi aku harus kerja keras untuk menyesuaikannya dengan kemampuan otakku. Begitu membatin demikian, aku cuma bisa nyengir lebar.
¼
Aku menyukai taman bacaan.
Bagiku, itu seperti sebuah “hutan” alami di tengah kota. Sebuah ruangan yang hanya berisi tumpukan buku-buku rapi. Karakter cover buku yang seringkali dibuat sesuai dengan karakter penulisnya. Semuanya alami. Tidak ada yang dibuat-buat, dan tak ada yang perlu dibuat-buat. Hanya buku, rak buku, dan beragam ekspresi “pure” manusia-manusia yang tenggelam dalam bacaannya.
Lembar-lembar itu dapat menimbulkan beragam reaksi unik. Aku beruntung bisa melihat keunikannya dalam sebuah guratan wajah—merengut, geli, sedih, gemas, ataupun marah—dan bagiku, aura wajah-wajah seperti itu melebihi ketertarikanku mengamati wanita dengan alis tegas atau pria yang bermata tajam.
Aku beruntung menjadi anggota taman bacaan ini. Echo yang mempromosikannya padaku sebulan lalu. Aku ingat ketika dia—dengan semangat Pattimura—menjelaskan dengan rinci tentang begitu dekatnya tempat itu dengan kost-ku, lalu buku-buku yang lengkap (dia melengkapi promosinya dengan menyebutkan beberapa penulis novel favoritku yang bukunya terpajang disana) dan harga peminjaman yang sangat murah. Aku curiga dia mendapatkan komisi dari ownernya, karena Echo tidak pernah sesemangat itu menjelaskan sesuatu. Siang itu juga, aku—ditemani Echo—mendaftarkan diri sebagai member baru disana.
Hari ini hanya ada aku sendiri. Echo sedang menghadiri evaluasi tahunan dengan seniornya. Tidak benar-benar sendiri, sih. Seorang laki-laki berjanggut tipis sedari tadi duduk disampingku, tapi sayangnya aku tidak mengenalnya. Satu hal yang aku tahu, dia menyukai Naruto. Komik fiksi yang berisi perjalanan Hokage dari beberapa generasi bertumpuk rapi di tengah-tengah kami. Dia baru saja membaca jilid ke-17. Dua kemungkinan: dia tertinggal dari trend ‘demam’ Naruto, atau dia si pembaca super setia yang mengulang, mengulang, mengulang kembali kisah love and hate—masa lalu pahit yang mewarnai persahabatan—Naruto dan Sasuke.
Perhatianku kembali teralihkan dengan rintik-rintik hujan yang mulai membasahi kaca di depanku, semakin lama semakin berisik. Ruangan ini mendadak jadi lebih sejuk.
Bagiku, hujan seperti memberikan sebuah pemaksaan yang menyenangkan setiap kali aku berada disini. Air-air hujan yang lewat di depanku berteriak, “Jangan pulang sekarang. Kami akan menyerang bumi lebih bertubi-tubi!”
Akan ada waktu lebih lama bagiku untuk membenamkan diri disini, menyendiri diantara tumpukan buku-buku.
Hutan kota—aku menyebut taman bacaan ini dengan sebutan itu—merupakan tempat tersunyi saat situasi bagaimanapun. Aku tak harus menanggapi obrolan tentang kemeja mahal yang kemarin didapati dengan label diskon dari sebuah distro. Bukannya tak suka, tapi kadang jemu saja.
Disini kudapati kesunyian yang cozy, kalau aku boleh meminjam bahasa Echo. Hanya ada celetukan kecil seperti ketika kakak admin yang mengambil kain pel bergagang untuk membersihkan sisa tanah dari jejak sepatu yang tercetak jelas di keramik, laki-laki berjanggut di sebelahku berceloteh, “Mau terbang, mbak?”
“Iya, mau nemenin Harry Potter nih.”