Begitu menapaki lantai IGD, aku tahu ada sesuatu yang berbeda. IGD, yang biasanya super sibuk, kali ini terkesan sepi. Hanya ada beberapa pasien yang sedang menunggu untuk dilakukan tindakan. Perawat dan dokter tidak banyak. Ada beberapa anak magang yang sedang berjalan di lorong koridor, tetapi aku tidak melihat Pak Seno ataupun perawat dan dokter senior lainnya, yang biasanya bergerak cepat mengitari sudut-sudut ruangan yang luas ini.
Mbak Sunia, resepsionis kami pun telihat sedang santai, sambil mengulum permen karetnya. Untungnya Ia tidak membuat balon di sekitar mulutnya, karena mungkin akan pecah beberapa detik kemudian kalau saja aku mengagetkannya.
“Rein, dicariin, tuh, di ruang meeting!”, Mbak Sunia agak berteriak karena aku langsung melesat menuju pantry. Aku lapar sekali.
Aku mengangkat alisku, bertanya ada apa. Mbak Sunia hanya mengangkat bahunya.
Destinasi langkahku membelok menuju ruang meeting. Aku salah apa? Tadi aku sempat ijin sebentar kepada Pak Seno untuk menemui papa di klinik mata, ya meskipun ujung-ujungnya agak lama, sih. Tapi, sedikit sekali kemungkinan aku dimarahi karena itu.
Makin mendekati ruang meeting, hatiku makin tak keruan. Apalagi, pintu ruang meeting terbuka sedikit dan aku bisa melihat hampir semua perawat senior dan dokter IGD sedang berada di situ.
Aku berusaha mengembangkan senyum sebisaku begitu membuka pintu.
“Rein!”, Pak Seno menepuk kursi kosong disampingnya. “Sini, sini. Duduk.”
Alih-alih melanjutkan diskusi mereka, semua mata bergeming melihatku.
Fiks.
Yang telah, sedang, dan akan menjadi topik pembicaraan di ruang ini adalah aku.
“Halo, Rein,” Dokter Norman menyunggingkan senyumnya. Dokter internis yang biasanya sangat dingin padaku itu—kuulangi—menyunggingkan senyumnya. Itu malah membuatku mendadak mual. Ada apa ini?
Aku duduk di kursi yang sepertinya sudah disediakan khusus untukku.
“Jadi begini, Reindita,” Pak Seno mnegangkat suara lagi. Kali ini ekspresi wajahnya lebih serius.
“Akan ada Nursing Exchange—sederhananya bisa dibilang begitu—di klinik kecil di Cikalong Wetan. Baru saja kami melakukan voting, yang terpilih adalah kamu.”
Telapak tanganku menghangat. Hanya Nursing Exchange.
“Cikalong Wetan, Pak?”, nama yang asing tapi tak asing. Setidaknya aku pernah mendengarnya meskipun tidak tahu itu dimana.
Pak Seno mengangguk. “Masih daerah Bandung, dua jam-an lah, dari sini.”
“Berapa minggu, Pak?”, tanyaku kalem.
Mereka saling berpandangan satu sama lain.
“Satu setengah tahun, Rein,” Pak Seno menjawab pertanyaanku.
Kepalaku mendadak nyut-nyutan.
“Maaf, pak.. Maksudnya dengan satu setengah tahun itu.. saya kerja disana, pak?”
“Bisa kurang, Rein. Kalau kamu tidak betah, bisa dipersingkat menjadi satu tahun tiga bulan,” Pak Seno terlihat berusaha menenangkan. Jemariku mendingin lagi.
Bagaimana mereka bisa mengajukan namaku untuk dijadikan nominasi, sementara yang bersangkutan tidak ada disitu?
“Ya, kamu kerja disana. Tapi kamu punya misi. Memajukan pelayanan kesehatan lini pertama di daerah itu, bersama dengan utusan dari rumah sakit lain. Ini merupakan program pemerintah daerah yang dimulai tahun ini. Rencananya, klinik itu akan menjadi salah satu klinik percontohan, yang nantinya akan dibandingkan dengan klinik percontohan dari provinsi lain. Prinsipnya, bagaimana memberikan pelayanan yang menyeluruh dan optimal dengan mengedepankan “sistem pelayanan secara berkesinambungan”,” Pak Seno mengambil nafas, lalu lanjut menjelaskan, “Tetapi, dengan adanya kegiatan ini, pemerintah juga dapat meningkatkan sarana prasarana di fasilitas pelayanan kesehatan di daerah, tentunya dari usulan-usulan dan ide-ide pioneer seperti kamu ini,” kata-katanya meluncur mulus seperti sudah dipersiapkan sebelumnya. Seperti sebuah tugas besar kenegaraan yang memang hanya untukku.
‘Dan Pak Seno menyebut itu Nursing Exchange?’, batinku.
Dokter Norman berdehem. “Gajimu akan diberikan tiga kali lipat dari gajimu sekarang.”
Bukan masalah gaji!, hatiku protes lagi. Kenapa semua orang selalu menyangkutpautkan pelayanan dengan uang?, teriakku gusar, dalam hati tentunya.
“Lalu, mengapa disebut Nursing Exchange, Rein?”, kata Pak Seno seolah mengetahui isi hatiku. “Rumah sakit di sini pun tak sepenuhnya terfasilitasi dengan baik. Akan ada banyak pemikiran-pemikiran dan ilmu-ilmu baru yang dapat kamu pelajari disana, dan akan ada gunanya untuk kamu aplikasikan disini, saat kamu kembali nanti.”
Ingin sekali aku menyela. Akan ada banyak pemikiran dan ilmu baru. Itu berarti akupun harus sharing ide-ide, gagasan, ilmu—apapun itu—kepada para perawat lain yang bekerja disana juga.
Take, and also, give.
“Ilmu saya belum banyak, Pak. Saya baru saja mulai belajar disini,” aku sedikit menekankan nada pada kalimat terakhirku.
“Tak perlu mengetahui semuanya. Ilmu akan bertambah dengan sendirinya. Lagipula, waktu dua tahun bekerja sudah cukup untuk menambah perbendaharaan skill dan pengalamanmu. Saya bisa menilaimu. Kamu sudah cukup membuktikan kepada saya bahwa kamu adalah seseorang yang mau berkembang.”
Aku melihat sekeliling. Ada Kak Liliana, Dokter Prayudi, Dokter Sarah, Kak Jo, Kak Orita, Mas Bimo, Dokter Maxi, Kak Donita, dan ada Tari, sahabat dekatku di IGD. Ngapain dia nyelip disitu? Mana sekarang matanya berkaca-kaca, lagi. Aku mengalihkan pandanganku darinya agar air mataku tidak ikut menetes juga.
Aku kembali menatap mata Pak Seno. Ada sebuah keyakinan disana.
“Bagaimana, Rein?”
“Boleh beri saya waktu untuk berpikir, pak?”
“Tentu saja,” Pak Seno tersenyum. “Sekalian saya berikan waktu untuk ijin sama Bapak Ibu,” tambahnya. Halus, tetapi memaksa.
Dan semua masih terpatung, menatapku dengan tatapan yang campur aduk, nyaris tak bisa kutebak apa yang sedang menari-nari dalam pikiran mereka.
¼
Cikalong Wetan.
Bermimpi bekerja disana pun, aku tak pernah.
Sambil menggerogoti apel pemberian Echo ketika makan siang tadi, pikiranku mengawang-ngawang. Aku sedang di hutan kota, menunggu kedatangan Jack, tetapi pikiranku sungguh tak disini. Aku mencoba membayangkan bagaimana suasana klinik disana, dan kira-kira aku akan berperan sebagai apa? Perawat pelaksana kah? Atau bekerja di belakang tumpukan kertas lagi? Ah, memikirkannya saja aku enggan.
Omong-omong Echo, aku belum memberitahu dia tentang hal ini. Padahal aku bisa memulai perbincangan ringan dengan teh hangat dan biskuit di sore hari, di depanku ada Echo dan Papa—dan disela-sela pembicaraan mereka tentang sepak bola, aku akan menyela sebentar dengan senyum ringan, “Bulan depan aku dipindahtugaskan ke Cikalong Wetan.” Dan itu seperti sebuah intermezo, semacam iklan singkat, mereka akan berkata “Baik-baik kamu disana,” dan kemudian mereka akan membahas kembali tentang Liverpool—thing kesukaan mereka itu, setelahnya.
Tetapi, tidak begitu adanya.
Makan siang kami tadi dipenuhi dengan cerita Echo mengenai operasi mata papa kemarin. Bagaimana Papa bingung memakai baju operasi yang bertali-tali itu, tetapi begitu santainya masuk ke ruang operasi. Bagaimana Echo sampai mengantuk menunggu papa di ruang recovery, dan mendapati papa setelah operasi, dengan mata ditutup seperti Kakashi Hatake. “Aku Luffy si bajak laut!”, kata Papa, tak terlalu peduli dengan efek anastesinya. Lagipula, Luffy tak memakai penutup mata. Echo hanya mengangguk-angguk kalem saja. Aku ngakak mendengar bagian cerita ini.
Echo mengantar papa sampai penginapan, dan baru aku temui papa setelah pulang dinas pada malam hari. Dan aku mendapati Echo masih ada disana, sedang mengobrol dengan papa tentang dampak hiperinflasi mata uang Dollar terhadap Rupiah.
Pantas Papa tak pernah bosan dengan laki-laki satu ini.
Dan, kesimpulannya, aku belum memberitahu tentang kepindahanku satu bulan lagi.
Seseorang menepuk pundakku.
“Masih bisa bengong kau,” Jack melewati kursiku dengan celana super gombrang nya. Mungkin celana itu bisa dipakai untuk sarung bocah sunat. Jack membawa buku tebal-tebal di tangan kirinya. “Kamu bisa baca itu, selesai berapa hari?”, tanyaku penasaran.
“Tiga jam jadi, lah,” Jack mengangkat buku itu agak tinggi. “Tapi bagian mikirnya aku lewatkan. Yang serunya aku ulang,” tambahnya lalu tergelak. Aku melihat covernya. Hitam putih. Terlihat sebuah punggung mungil yang tak berkain terpampang disitu, dan sebuah tangan kekar melingkari pundaknya. Selebihnya gelap. Judulnya Sex till Dawn. Pantas saja.
“Jadi, sudah baca buku apa saja?”, Jack mengalihkan pandangkanku.
“Em,” aku mengeluarkan beberapa buku dari tasku. “ Ini,” aku memberikannya pada Jack. Buku-bukuku tak setebal buku yang Jack bawa, tetapi setidaknya menandakan kalau aku sudah berusaha.
“History of Sexuality?”, Jack mengangkat alis. “Dari mana dapat ini? Kamu punya Jilid II-nya?”
“Ada jilid II-nya?”, aku balik bertanya, excited.
Jack mengangguk. “Ini dari mana? Aku cari di mana-mana enggak ketemu.”
“Dari temannya temanku,” begitu jawabanku. Percuma juga aku menjelaskan perihal Echo, Dokter Dave, dan keintiman mereka berdua kepada Jack. Bukan karena aku takut Jack akan bertanya macam-macam, tetapi aku takut perbincanganku dengan Jack menjadi out of the box, menjadi bahasan tentang kehidupanku, kehidupan mereka, dan mungkin kepindahanku ke Cikalong Wetan. Mulut ini kadang tidak bisa kukontrol dengan bijak.
“Kamu sudah lebih pintar dariku, sepertinya,” Jack membolak-balikkan buku kedua, berjudul Éros et Civilisation, Neil dan Herbert Marcuse. Aku tersenyum, geli. Dia tak tahu saja, kalau aku harus meminjam alfa link Vita—bekas ujian sekolah dulu, katanya—sampai baterainya hampir habis. Bahasanya berat sekali. Mungkin Jack tertawa kalau dia tahu aku sempat diare 3 hari karena menerjemahkan buku ini.
“And the last one, De la Liberte, John Stuart Mill,” Jack mengacungkan buku terakhir.
“Buku ini yang sudah pernah aku baca,” jelas Jack. “Ada yang kamu tentang?”
“Banyak,” ujarku sedih. Setelah aku membaca buku ini, kusimpulkan bahwa otakku nyaris bertolak belakang dengan otak Mr. John. “Bagian mananya?”, tanya Jack.
“Em.. Contohnya.. tentang kebebasan individu,” aku menggigit bibir.
“Kebebasan individu?”
Aku mengangguk lirih. “Kebebasan individu yang dapat membentuk kebahagiaan milik bersama. Disitu dibilang bahwa kita enggak bisa memaksakan suatu model orientasi seksual untuk bersama, karena tiap orang punya apa yang dinamakan dengan kebebasan individu. Tapi, Jack,” aku mengumpulkan tenagaku untuk menyanggah Mr. John, “Pernah denger tentang sistem androsentrik? Dimana laki-laki—sejak dahulu—secara kodrati, selalu menjadi pusat, selalu mendominasi?”
Jack berdehem. “Tapi enggak menutup kemungkinan lho, Rein, wanita masa kini menjadi sentral dan dominasi. Dari dulu, banyak pejuang wanita yang menomorsatukan sosok wanita, bukan?”
“R. A Kartini, contohnya? R.A Kartini menjunjung tinggi emansipasi wanita, Jack. Tujuan Kartini adalah bukan membuat wanita mendominasi laki-laki, tetapi untuk menjadikan wanita lebih setara dengan laki-laki. Kartini punya latar belakang bahwa wanita tidak dihargai harkat dan martabatnya pada masa itu. Bukan untuk dijadikan dominan.”
Jack terlihat berpikir. “Rein, sorry. Sebenarnya maksudku adalah, dampak dari hal itu pada masa sekarang sedikit banyak mempengaruhi pergeseran peran laki-laki dan wanita, Rein. Emansipasi membuat wanita tidak seutuhnya tunduk kepada laki-laki, dan dan kali ini ‘kedudukan’ ikut berubah. Kamu pernah dengar jargon cewek engga pernah salah? Suami-suami takut istri? Jaman dulu? Mana ada?”
Aku memaksakan tertawa.
“Kamu menyambungkan emansipasinya R. A Kartini sama kata-kata iseng di akun Twitter?”
“Rein, engga gitu.”
Apa maksudnya?
“Dengerin aku, sekali ini aja.” Jack lurus-lurus menatap mataku. “Kalau kamu mau bikin perubahan, pikiran kamu harus berkembang dulu. Satu-satunya cara biar pikiran kamu berkembang adalah open your mind. Buka pikiran kamu. Jangan cuma ngandelin pikiran kamu semata. Si jenius Alan Turing juga butuh Christoper Morcom buat buka pikiran dia. Kita harus terima perubahan jaman. Terima masukan orang.”
Aku terdiam.
Lembar-lembar buku John Stuart Mill tersapu perlahan, oleh angin senja yang bertiup cukup kencang dari luar sana.
Aku terpaku menatap mata Jack yang masih menatapku.
“Bagaimana?”, Jack tersenyum, aura matanya menghangat. “Sudah lelah? Cukup untuk hari ini?”
Aku menggeleng kuat.
“Yang benar saja, Jack. Aku baru saja mengosongkan isi otakku untuk menerima beberapa teori darimu.”
Jack tertawa, menepuk punggungku.
“Kita makan dulu. Isi amunisi. Abis itu lanjut lagi sampai kamu ngantuk.”
¼
Pukul 01:00 pagi, aku baru pulang. Motorku berbelok ke tempat papa menginap. Mungkin aku harus meminta maaf padanya karena tidak langsung pulang hari ini. Bahasanku dengan Jack tadi benar-benar membuatku lupa waktu, sehingga tak sadar sudah menjelang subuh saja.
Bahasan yang masih menggantung. Tetapi banyak yang lebih aku bisa pahami.
And you absolutely know, lebih banyak yang kita pahami, lebih banyak lagi yang akan kita pertanyakan.
Papa memberikan Lock Card nya padaku. Mungkin dia berharap aku menemaninya malam ini sebelum besok papa kembali ke Bogor. Mama, si ratu cantik yang cerewet itu tidak betah ditinggal sendiri. Sudah kuduga.
Suara nit-nit mengawali langkahku masuk ke kamar papa. Karpet dalam hal ini membantu sekali agar suara decitan sepatuku tersamarkan. Aku menyalakan lampu tidur karena ruangan ini gelap sekali. Satu-satunya cahaya yang terlihat adalah itupun sinar lampu yang tembus dari lampu taman samping kamar papa.
Aku melihat wajah papa yang tertidur pulas. Disampingnya ada mogu-mogu rasa strawberry dan melon, lalu kacang atom berbagai rasa. Rasa sapi panggang dan ayam bawang. Jajanan anak kelas 5 SD. Pasti Echo yang mencekokinya sembari mereka bermain Dragon Nest.
Aku mencari sosok Echo. Sepatunya sih ada, tadi aku menemukannya di samping daun pintu. Mungkin dia tidur di sofa satunya, dekat pantry. Anak itu tidak pilih-pilih untuk urusan tidur. Di toilet saja ia bisa tertidur. Agak-agak ajaib memang, jika mengingat dia mengikuti program akselerasi untuk studi kedokterannya plus predikat cumlaude. Otaknya sepintar otak papa, tetapi kelakuannya sama denganku. Aku masih nyaris lebih mending.
Jendela teras terbuka. Aku mampir kesitu untuk menutupnya.
Cahaya lampu taman yang temaram membuat sosok laki-laki itu tak begitu jelas terlihat. Aku melihat asap halus keluar dari mulutnya, yang kian atas kian memudar.
Aku termangu. Dengan asap yang kubenci, dan hanya dengan melihat rambut kecokelatannya yang ditimpa lampu malam pun, Echo terlihat adorable.
Echo tiba-tiba berbalik. Sudah kuduga, bau keringatku tak bisa kusembunyikan lama-lama darinya. Sudah menjadi ciri khas Echo kalau dia dapat langsung menyadari kehadiranku didekatnya.
“Tumben, merokok?”, aku mendekat. “Katanya mau jadi spesialis paru-paru.”
“Ganti deh, kalo gitu. Spesialis obsetri ginekologi aja. Biar bantuin mamak-mamak cantik ngelahirin. Kayaknya lebih berpahala.”
Aku tergelak. “Takut kali, mamak-mamak sama kamu. Salah-salah anaknya dijadiin papan karambol,” aku teringat Echo mengoleksi papan karambol di rumahnya, dulu ketika kita masih SMA. Entah untuk apa.
“Takut. Iya sih, kayaknya bakal takut. Tapi takut jatuh cinta sama dokternya.”
Aku mencibir.
“So?”
“So, what?”
“Ngapain begini-beginian?”, aku menyentil ujung rokoknya.
“Ngga boleh?”
“Bukannya enggak boleh. Tapi kamu enggak bisa,” aku melihatnya ngeri. Menghisap asap rokok saja dia sudah batuk-batuk. Apalagi untuk menghisapnya. Pernah suatu kali dia habis memaki-maki seorang laki-laki yang kedapatan merokok di area no smoking di sebuah kafe.
Echo tergelak, menghisap lagi. Kali ini dia menghisap kuat-kuat, sampai-sampai pipinya tirus.
“Kirain elu langsung pulang ke kost,” Echo mengalihkan perbincangan kami.
“Ada masalah, Cho?”, langsung kuluruskan lagi.
“Sedikit.”
“Adek gue masuk rumah sakit lagi, Re,” Echo menyulut batang berikutnya.
“Ngedrop lagi?”, tanyaku. Echo mengangguk.
“Bandel dia, makan obatnya enggak teratur,” Echo mematikan puntung yang berapi. Kemudian mengambil satu batang lagi.
Aku merebut kotak rokok dari tangannya. “That’s should be the last for today. Kamu mau bikin nyokap kewalahan ngerawat kamu dan Geris?”
Echo menelan ludah. “Gue balik dulu. Kabarin ke gue kalo ada apa-apa sama bokap elu.”
“Cho—” aku menarik tangannya. “Aku bisa bantu apa?”
Echo menyulut rokok terakhirnya.
“Bantuin gue bikinin susu anget buat bokap elu besok pagi. Tadi dia mabuk mogu-mogu.”
Aku tak sedikitpun tertawa akan leluconnya barusan. Hanya gumpalan asap rokok yang menjawab pertanyaanku kemudian.
Punggung berjaket kulit itu sudah menutup pintu.
¼
Biasanya, pertanggal 28 saldo tabunganku bartambah. Itu kucatat sebagai tabungan Echo di bulan itu. Ia mengikuti semacam program “autodebet” yang Ia kirim ke rekeningku setiap bulannya. Mengapa dia tidak membuat rekening baru saja? Entahlah. Tanyakan saja padanya. Bulan ini, aku tidak menemukan jumlah tabunganku bertambah, ketika aku print sisa saldo di rekeningku.
Apa karena Geris?, batinku sambil mengenggam kartu ATM yang baru saja kucabut dari mesin. Geris, adiknya, terkena meningitis TB sejak sebulan yang lalu. Tadinya hanya suspek, tetapi dokter menjadikan penyakit ini menjadi the main diagnose beberapa hari setelah itu. Sudah lama Geris berteman dengan Rimfapycin, Izoniazide dan beberapa gram kortikosteroid. Kudengar, beberapa bulan terakhir sebelum masa penyembuhan usai, Geris mulai malas meminum obat. Bosan, katanya. Padahal, jika pengobatan terlewat, maka pengobatan harus diulangi dari awal kembali. Itulah yang membuat Echo gemas setengah mati.
Kali ini, batuknya Geris kambuh lagi. Keringat dingin di malam hari semakin sering saja, dan berat badannya kembali menurun.
Setelah itu, aku tidak lagi mendengar kabar Geris. Echo lebih terkesan bungkam setiap kali pembicaraan kami mengarah pada kesehatan Geris. Jadi, sejak itu aku agak sungkan menanyakan kabar Geris pada Echo.
Disamping dompet, kulihat nametag-ku terselip diantara tumpukan struk belanja. Mengingatkanku pada IGD dan perbincangan kami tempo hari.
“Gajimu akan diberikan tiga kali lipat dari gajimu sekarang,” kata-kata Dokter Norman kembali bergaung di telingaku. Aku menelan ludah.